Mohon tunggu...
Muhamad Alfani Husen
Muhamad Alfani Husen Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP UNSIKA

Orang yang senang makan pecel lele, doyan rebahan, penggemar berat Squidward Tentacles

Selanjutnya

Tutup

Politik

Polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila, Salah Kaprah Pemahaman Trisila dan Ekasila

8 Juli 2020   17:03 Diperbarui: 8 Juli 2020   18:28 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila. Polemik terhadap RUU HIP menimbulkan sebuah gejolak dan keresahan yang ada di masyarakat. Bahkan pada  Rabu (24/06/2020) beberapa kelompok ormas melakukan aksi demontrasi menolak RUU ini dan meminta DPR RI mencabut RUU ini dari prolegnas yang selanjutnya diikuti aksi serupa di beberapa daerah.

Beberapa kelompok menilai dalam RUU HIP perasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila merupakan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara,selain itu RUU HIP dianggap dapat membuka celah bangkitnya Komunisme di Indonesia. 

Tapi, apakah benar RUU HIP merupakan sebuah pengkhianatan dan dapat membuka celah bangkitnya komunisme di Indonesia?

Dalam mengidentifikasi sebuah masalah tentunya kita harus tahu terlebih dulu suatu masalah yang ada ditengah masyarakat terlebih dahulu. Dalam RUU HIP polemik yang timbul di masyarakat bermula pada pasal 7 draft RUU HIP yang terdiri dari 3 ayat dan berbunyi:

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan demokrasi ekonomi dalam kesatuan;
(2) Ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong royong.

Kalau kita telaah lebih lanjut tentu ayat tersebut akan mengingatkan kita terhadap pidato Bung Karno didepan sidang BPUPKI, pada 1 Juni 1945. Yang akhirnya kita kenal tanggal tersebut sebagai hari lahirnya Pancasila. 

Mungkin seandainya Bung Karno masih hidup ia pasti tidak habis pikir bahwa gagasan pemikirannya tentang Pancasila, Trisila dan Ekasila dapat menjadi polemik bagi bangsanya sendiri. 

Oke, mari kita bahas Trisila terlebih dahulu. Dalam pidato 1 Juni didepan anggota sidang BPUPKI, Bung Karno menawarkan konsep Pancasila. Namun, apabila para anggota sidang BPUPKI tidak setuju dengan konsep lima sila tersebut Bung Karno pun menawarkan konsep Trisila yang merupakan perasan dari Pancasila. Trisila sendiri terdiri dari Sosio-Nasionalisme yang merupakan perasan dari sila kebangsaan dan kemanusiaan, Sosio-Demokrasi yang merupakan perasan dari sila kerakyatan dan keadilan sosial, dan tentunya sila terakhir tentang ketuhanan. Tapi, apakah kata sosio dalam pemikiran Bung Karno tentang nasionalisme dan demokrasi merujuk pada sosialisme atau pun komunisme? Tentu saja tidak. 

Pertama kita pahami dulu apa itu Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Sosio-Nasionalisme Soekarno mendefinisikan kata sosio sebagai masyarakat. Karena itu, Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi yang ia maksud menjadi nasionalisme masyarakat dan demokrasi masyarakat. 

Lalu, apa makna masyarakat di sini? Masyarakat di sini diartikan Bung Karno sebagai kondisi nyata di masyarakat yang dalam konteks Indonesia era kolonial merujuk pada penindasan, kemelaratan, dan ketimpangan. Inilah arti dari ucapan Bung Karno bahwa nasionalisme kita bukanlah nasionalisme melamun, nasionalisme kemenyan, sebuah corak nasionalisme yang melamunkan kemerdekaan sebagai cita-cita ideal.

Bukan nasionalisme yang membasiskan diri pada harapan rakyat untuk bisa merdeka, bisa makan dengan kenyang dan hidup dengan layak. Dengan demikian, sosio-nasionalisme merupakan nasionalisme yang mendasarkan diri pada kesadaran akan ketertindasan masyarakat. Demikian pula demokrasi, bagi Bung Karno, demokrasi tidak boleh hanya memenuhi hak-hak politik. Ia harus mampu memenuhi hak-hak ekonomi rakyat. Pertanyaannya, apakah ide seperti itu berbahaya? Bukankah ujung dari Pancasila ialah keadilan sosial? Artinya, ide Bung Karno ini memang sesuatu dengan nature Pancasila.

Polemik lain dari RUU HIP adalah pasal ke 3 yang berbunyi " Ketuhanan yang berkebudayan " Banyak kelompok masyarakat mengganggap pasal ini mendorong ke arah sekularisme. Namun, harus kita ketahui bahwa Ketuhanan yang berkebudayaan itu bukan berarti menuhankan budaya atau pun menyetarakan Tuhan dengan budaya. 

"Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Prinsip Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan!" Selanjutnya ia menambahkan, "Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan... ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. " - kutipan pidato 1 Juni Sukarno. 

Apabila kita berpatokan kembali kepada pidato 1 Juni Ketuhanan yang keberbudayan itu berarti sebuah cara menyembah Tuhan dengan mengedepankan budaya budi pekerti yang luhur yang artinya dalam menjalankan ajaran agama kita harus mengedepankan nilai toleransi dan menghilangkan sebuah egoisme dalam beragama. Oleh karena itu, ketuhanan berkebudayaan bukan mazhab keagamaan, melainkan praktik beragama yang berbudaya. 

Oke, yang terakhir mari kita bahas Ekasila. Mungkin Ekasila bisa dikatakan pembahasan yang paling ramai diperbincangkan karena di dalam Ekasila hanya ada " Gotong Royong " Saja dan tidak ada kata " Ketuhanan " Di dalamnya. Hal ini membuat beberapa golongan menganggap paham ini membawa kita kepada paham negara Komunis karena tidak ada Ketuhanan dalam paham Ekasila ini.

Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong Royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara Gotong Royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong! - Bung Karno (Pidato 1 Juni) 

Oke, yang menjadi pertanyaan saya apakah paham gotong royong atau Ekasila melenceng dari nilai ketuhanan? 

Bung Karno dalam pidato 1 Juni menjelaskan bahwa gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. 

Selain itu dalam Al-quran dikatakan bahwa;

“… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah : 2)

Selain itu ada hadist yang mengatakan bahwa;

 “Barangsiapa menolong saudaranya, maka Allah akan selalu menolongnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi kalau kita kaji kembali tentang paham Ekasila ( gotong royong) dengan nilai keagamaan/ketuhanan apakah paham ini saling bertentangan? Tentu jawabannya adalah tidak. 

Konsepsi Gotong Royong, seperti saat gagasan ini pertama kali diungkapkan, tentunya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya ialah nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai yang membawa selamatnya manusia. Termasuk membawa selamatnya manusia dari exploitation de l’homme par l’homme (eksploitasi manusia atas manusia), membawa selamatnya manusia dari permasalahan ekonomi dan penindasan lainnya. Itulah Gotong Royong yang murni, yang sesuai dengan nilainya yaitu masayarakat yang adil dan makmur. Seperti yang ditulis oleh BungKarno pada sebuah artikel berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka”.

“maksud pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang tidak ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imprealisme.”

Gotong royong mengingatkan kita pada suatu nilai yang disebut Hablumminannas ( hubungan antar manusia). Ada perkataan yang berkata bahwa puncak dari ketuhanan adalah kemanusiaan. Dalam nilai gotong royong tentu mengajarkan nilai kemanusiaan. Kemanusiaan mengajarkan kita tentang cinta kasih yang merupakan salah satu sifat Tuhan. Jadi, paham Ekasila sebenarnya tidak bertentangan dengan nilai ketuhanan apabila kita telaah lebih jauh tentang maksud dan esensi Ekasila itu sendiri. 

Melihat keputusan pemerintah yang meminta DPR untuk menunda pembahasan RUU HIP di tengah banyaknya aksi penolakan terhadap RUU HIP merupakan sebuah keputusan yang tepat. Dilain sisi DPR yang menggagas RUU ini harus bisa membuka komunikasi dengan pihak yang kontra terhadap RUU ini guna menemukan jalan tengah untuk menyelesaikan polemik yang terjadi saat ini. Namun, kita sebagai generasi muda juga harus peka terhadap banyak isu yang ada di negeri ini. Jangan kita hanya fokus terhadap satu dua isu saja. Dan yang terpenting jangan sampai kita terkecoh dengan drama pertarungan politik yang sering terjadi di negeri ini. 

Referensi:

https://m.mediaindonesia.com/read/detail/321964-soekarno-trisila-dan-pancasila

https://medium.com/@jagatpatria/membumikan-ajaran-bung-karno-gotong-royong-ruh-bangsa-bagian-1-85b883e36912

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun