Setiap hari beliau tidak ada kata lelah, beliau habiskan sisa hidupnya untuk mengabdi kepada keluarga, pulang dari sawah, beliau menjadi tukang cukur keliling, selesai shalat magrib beliau menyempatkan diri mengajar anak-anak kampung untuk mengaji.
Saya tinggal di daerah pemukiman nelayan, rumah kami tidak jauh dari laut, kurang lebih sekitar 1 Km jaraknya dari bibir pantai. Sehingga rumah masyarakat kebanyakan terbuat dari kayu yang sering disebut dengan rumah panggung. Mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai nelayan dan pedagang.
Sesekali saya sempat melihat beliau mencukur anak-anak kampung yang datang untuk merapikan rambut mereka ke rumah, memang orang kampung kebanyakan mempercayakan ayah untuk mencukur mereka. Disamping karena hasilnya bagus dan rapi, tarip yang diberikan ayah jauh lebih murah dari barbershop lainya. Tangan tua itu sesekali terlihat gemetaran memegang gunting dan alat cukur manual yang sedang menari di atas kepala pelanggannya, saya berpikir mungkin karena alat yang digunakan masih manual, kemudian saya berinisiatif untuk membelikan ayah alat cukur listrik dari hasil menjual ayam. Tapi tetap saja tangan beliau gemetaran.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H