"Arief ayo makan!"
"Nak, Ayo Makan, Kamu sedang mikirin apa sayang?" kata bunda, menyadarkanku dari lamunan.
"Eh, iya ada apa bun? dengan suara terbata-bata.
"Kamu menghayal ya?" goda bunda.
"Ngak kok bun, ayo kita makan", ajakku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Saya tidak mau jika bunda bertanya lebih panjang lagi, malu dong, jika bunda tahu saya menghayalkan suasana berumah tangga. Lah wong Sekarang, baru saja masuk SMA.
memang plecing buatan bunda sangat The Best, rasanya selalu pas di lidah, Â cocok dengan lidah saya yang tidak suka pedas. Sebenarnya ingin rasanya nambah nasi, tapi nasi sudah di bagi-bagi sama bunda dan bunda selalu mengajarin kita untuk tidak serakah dan selalu bersyukur dengan apa yang kita punya. Bunda selalu bilang jangan banyak makan, nanti ngantuk pas belajar, nasi yang harus dimakan 1/3, sayuran 1/3 dan sisakan ruang untuk air minum dan udara.
Setelah menghabiskan sarapan, saya mencuci piring sendiri, hal ini sudah biasa saya lakukan pada saat mondok selama 3 tahun. Dan kemudian tikar alas untuk makan dilipat kembali dan kemudian saya taruh di tempat semula di sudut pojok dapur.
Setelah perpamitan dengan bunda, saya berangkat ke sekolah dengan semangat. O ya, sekolah saya cukup jauh. Â Sekitar 11 Km.
Jadi untuk bisa sampai ke sekolah saya harus menaiki kedaraan umum, yang sering kami sebut bemo kota. Berkat kebaikan dan kasih sayang Ayah, yang selalu menyisihkan uang untuk ongkos bemo hingga saya bisa sampai ke sekolah.
Setiap hari beliau tidak ada kata lelah, beliau habiskan sisa hidupnya untuk mengabdi kepada keluarga, pulang dari sawah, beliau menjadi tukang cukur keliling, selesai shalat magrib beliau menyempatkan diri mengajar anak-anak kampung untuk mengaji.
Saya tinggal di daerah pemukiman nelayan, rumah kami tidak jauh dari laut, kurang lebih sekitar 1 Km jaraknya dari bibir pantai. Sehingga rumah masyarakat kebanyakan terbuat dari kayu yang sering disebut dengan rumah panggung. Mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai nelayan dan pedagang.
Sesekali saya sempat melihat beliau mencukur anak-anak kampung yang datang untuk merapikan rambut mereka ke rumah, memang orang kampung kebanyakan mempercayakan ayah untuk mencukur mereka. Disamping karena hasilnya bagus dan rapi, tarip yang diberikan ayah jauh lebih murah dari barbershop lainya. Tangan tua itu sesekali terlihat gemetaran memegang gunting dan alat cukur manual yang sedang menari di atas kepala pelanggannya, saya berpikir mungkin karena alat yang digunakan masih manual, kemudian saya berinisiatif untuk membelikan ayah alat cukur listrik dari hasil menjual ayam. Tapi tetap saja tangan beliau gemetaran.
Bersambung...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI