Pertama-tama, mari kita perhatikan, dalam kegiatan kelompok masyarakat yang berbeda sering adanya konflik antara kelompok orang yang berbeda dalam kegiatan kelompok dalam skala kecil, seperti di pemukiman, desa, dan bahkan bahkan siswa di kelas dan asrama. Â
Dalam kehidupan kelompok yang mengatur diri sendiri seperti ini, yang skalanya sangat kecil dan tidak memiliki pusat kekuasaan, sangat mudah untuk menghadapi situasi sekelompok orang melawan sekelompok orang lainnya, bahkan ketika kita biasanya berkumpul dengan keluarga dan teman-teman, untuk memlilih makanan saja bisa timbul perbedaan pendapat.
Bahkan, negara-negara zaman kuno juga menghadapi masalah yang sama. Kemudian, dengan meningkatnya skala, di satu sisi, otoritas politik menjadi lebih terkonsentrasi dan lebih rasional, yang dapat membantu mengatasi faksionalisme tertentu, yang dapat menghasilkan otoritas negara yang terlepas dari kepentingan klik nasional lokal, dan mudah untuk tidak memihak dan tidak mementingkan diri sendiri untuk menekan perkelahian klik.
Di sisi lain, seiring dengan pertumbuhan negara, ruang lingkup kehidupan politik menjadi lebih besar dan semakin sulit untuk membentuk faksi-faksi yang berbeda. Di masa lalu, pemahaman kita tentang sistem politik dunia sering kali tidak mempertimbangkan dimensi skala.
Dulu, banyak orang mengatakan bahwa sistem Barat maju. Oleh karena itu, banyak yang menganjurkan sistem negara dengan pemisahan kekuasaan, persaingan multi-partai, federalisme, dll. Namun, bentuk-bentuk kelembagaan ini terkait erat dengan skalanya.
Ciri utama tradisi politik Barat adalah skalanya yang kecil. Misalnya, di negara-kota Yunani kuno, populasinya paling banyak puluhan atau ratusan ribu orang. Meskipun Kekaisaran Romawi yang lebih besar, kehidupan politik utamanya juga terjadi di sebuah kota kecil Romawi, tetap saja mengikuti logika negara-kota skala kecil.
Hingga pada Abad Pertengahan, negara-negara feodal dan negara-kota di tempat-tempat seperti Italia juga sangat kecil. Sampai Eropa modern mulai muncul negara-negara monarki seperti itu, meskipun lebih besar dari sebelumnya, dari perspektif orang daratan Tiongkok dan negara-negara Timur, negara-negara di Eropa itu juga dipandang sangat kecil (polulasi).
Oleh karena itu, dalam sejarah pemikiran Barat, dan para pemikir bijak tidak berani memikirkan masalah negara berskala besar, seperti Plato, filsuf Yunani kuno, berapa populasi negara ideal dalam imajinasinya? Hanya 5040 orang, dari Aristoteles hingga Rousseau dan Montesquieu di zaman modern, negara ideal di mata mereka juga sangat kecil, pada dasarnya negara hanya yang bisa dilihat dengan mata kepala secara sekilas. Jadi secara sederhananya, dalam arti tertentu, pemikiran politik Barat klasik tidak lebih dari "politik kotapraja".
Sampai hari ini pun, para sarjana Amerika masih suka berbicara tentang "Perangkap Thucydides" ketika mereka berbicara tentang hubungan Tiongkok-AS, dan mereka masih menggunakan kiasan Yunani kuno dengan negara-kota kecil berpenduduk 200.000an orang yang berjuang untuk hegemoni.
Kemudian, ketika negara AS didirikan dalam beberapa dekade berikutnya, skalanya pada waktu itu berbeda dengan AS saat ini, jumlah populasi di AS pada waktu itu kurang dari 3 juta, dan itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Tiongkok daratan, dan juga dengan Indonesia.  Tetapi pada waktu itu, skala seperti itu telah menjadi patokan bagi konstitusional AS dan itulah yang menjadi  masalah besar kini.
Saat itu ketika mereka sedang mendiskusikan sistem seperti apa yang akan mereka gunakan untuk memerintah populasi yang begitu besar jika mereka tidak memiliki monarki, hal ini merupakan pertanyaan besar yang masih ada di benak mereka.