Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Berbincang Demokrasi Menurut Pandangan Dunia Luar

3 Februari 2022   17:16 Diperbarui: 3 Februari 2022   18:04 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 9-10 Desember 2021, Presiden AS Biden mengadakan KTT Demokrasi, yang mempertemukan para pemimpin dari pemerintah negara-negara, masyarakat sipil, dan sektor swasta dalam upaya bersama untuk menetapkan agenda afirmatif untuk pembaruan demokrasi dan untuk mengatasi ancaman terbesar yang dihadapi oleh demokrasi saat ini melalui aksi kolektif.

Peserta KTT ada 111 negara termasuk Indonesia, diadakan secara virtual. KTT ini mempertemukan lebih dari 275 peserta, yang mewakili pemerintah, lembaga multilateral, aktivis, jurnalis, anggota parlemen, pembela hak asasi manusia, walikota, pemimpin bisnis dan tenaga kerja, dan aktor penting lain bagi pemerintahan yang akuntabel, inklusif, dan transparan serta supremasi hukum.


Sudut Pandang Tentang Demokrasi Menurut Beberapa Cendikiawan Terkenal Dunia

Sumber: china-embassy.org
Sumber: china-embassy.org

Disini akan dikemukakan pandangan dari beberapa pakar dunia sbb:

Le Yucheng, Wakil Menlu Tiongkok

Eric Li S.M, Wakil Ketua Forum Tiongkok, Pusat Keamanan dan Strategi Internasional, Universitas Tsinghua

Zhang Weiwei, Dekan Institut China, Universitas Fudan

Kishore Mahbubani, tokoh terhormat mantan diplomat kawakan dari Asia Research Institute, National University of Singapore

Martin Jacques, tokoh senior terkenal mantan dari Departemen Politik dan Studi Internasional, Universitas Cambridge

John Ross, Mantan direktur kebijakan ekonomi dan bisnis untuk Walikota London.

Apa itu demokrasi? Siapa yang mendefinisikan demokrasi? Disini akan dikemukakan pandangan para cendekiawan dan pejabat terkemuka di atas ini untuk mencari tahu lebih banyak tentang definisi demokrasi dan narasi yang bersaing di baliknya.


Menurut Le Yucheng, mengatakan bahwa sistem demokrasi tidak bisa menjadi "flying peak/terbang ke puncak" dan pembangunan demokrasi tidak membutuhkan "guru". Melihat kembali sejarah Tiongkok dalam mengeksplorasi demokrasi sejak zaman modern, Tiongkok telah mengalami banyak penderitaan dan membayar harga yang mahal karena sekadar meniru model demokrasi asing.

Menurut cendekiawan Singapura Kishore Mahbubani, dengan mengutip mendiang pemimpin Lee Kuan Yew, mengatakan antara lain: Ujian akhir dari sebuah sistem politik adalah apakah sistem itu dapat meningkatkan standar hidup mayoritas rakyatnya.

Menurut Kishore, dia belum melihat ini di AS, dari sejumlah besar data menunjukkan bahwa standar hidup lebih dari setengah rakyat AS tidak berubah dalam 30 tahun terakhir, tetapi 1% orang AS terkaya memiliki kekayaan mayoritas sumber daya. Jika AS yang seperti itu masih bisa menjadi model bagi dunia, maka akan menjadi masalah yang sangat besar. 

Sistem demokrasi AS telah gagal dan secara bertahap menjadi pemerintahan chaebol (chaebol = salah satu dari lebih dari dua lusin konglomerat yang dikendalikan keluarga yang mendominasi ekonomi Korea Selatan. Sementara keluarga pendiri tidak selalu memiliki saham mayoritas di perusahaan, keturunan pendiri sering mempertahankan kendali berdasarkan hubungan lama dengan bisnis).

Menurut hasil jajak pendapat terbaru Harvard University Kennedy School, yang dirilis menunjukkan bahwa 52% anak muda AS percaya bahwa demokrasi AS sedang bermasalah, dan hanya 7% anak muda AS yang percaya bahwa demokrasi AS itu sehat.

Ini adalah salah satu peringatan,  karena orang muda cenderung memiliki mata yang lebih cerah dan tajam daripada generasi tua.

Menurut Eric Li S.M mengatakan: Demokrasi tidak boleh  hanya peduli pada keadilan prosedural seperti model Barat. Dia mengumpamakan seperti perusahaan, sebagai contoh untuk menggambarkan sudut pandangnya. 

Dia mengatakan bahwa seseorang mengatakan kepadanya bahwa ada perusahaan yang merugi selama 20 tahun, tanpa pelanggan, dan teknologi juga kurang bagus, tapi prosedur manajemennya bagus, direksinya standar banget, kalian harus beli saham perusahaan ini, apakah bukan konyol (absurd) katanya.

Memang prosedur demokrasi setiap negara berbeda, tetapi hasil dari pemerintahan yang demokratis setidaknya harus memuaskan kebanyakan rakyatnya. 

Jika proses demokrasi mengarah pada hasil yang tidak demokratis, maka pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak kompeten, proses peradilan hanya proses perlindungan, dan kebebasan berbicara mengarah pada perpecahan dan kecacatan, jika demikian, apa gunanya proses demokrasi seperti itu?

Dia menyerukan untuk mengukur tingkat (demokrasi) dari hasilnya, yaitu, apakah rakyat puas dengan (demokrasi) berdasar logokanya, apakah mereka optimis tentang masa depannya, dan apakah kehidupan mereka lebih baik atau lebih buruk dari sebelumnya, lalu apakah masyarakat ini dapat menfasolitasi untuk dirinya sendiri demi kesejahteraan generasi mendatang, dengan menginvestasikan sumber daya dan sebagainya. Jadi demokrasi harus dinilai dari kreteria ini. Demikian menurut Eric Li.

Menurut cedikiawan Inggris, Matin Jacque, dia percaya bahwa pemerintah AS sebenarnya mengadakan "KTT Demokrasi Dunia", seolah-olah di AS tidak ada yang terjadi dalam beberapa tahun ini, seolah-olah Trump tidak pernah berkuasa, seolah-olah Kongres AS tidak pernah diduduki oleh pengunjuk rasa pada Januari 2021, Tampaknya AS telah melakukan pekerjaan yang baik dalam mencegah dan mengendalikan pandemi Covid-19, dan tampaknya sebagian besar orang Amerika memiliki kepercayaan pada sistem politik mereka. Maaf, dunia berbeda, tetapi AS mengira negara-negara masih berpikir bahwa dunia masih sama seperti dulu.

Dia mengatakan bahwa AS sejak Perang Saudara pada abad ke-19, demokrasi AS tidak tampak rapuh seperti sekarang ini. Ia percaya bahwa sejak tahun 1995, sistem demokrasi Barat mengalami kemunduran, dan ketidakpuasan masyarakat Barat terhadap sistem demokrasi Barat secara umum meningkat. Ini juga merupakan tanda tanya besar apakah sistem demokrasi Barat dapat dipertahankan?

Cendekiawan Inggris John Ross mantan penasihat ekonomi Walikota London Ken Livingstone saat itu, dan direktur Kantor Kebijakan Ekonomi dan Komersial Kota London, mengatakan bahwa arti asli dari "demokrasi" terutama harus "pemerintahan untuk rakyat", dalam analisis akhir, sejauh mana hak-hak rakyat dapat diwujudkan. Fakta telah membuktikan bahwa sistem Tiongkok telah melakukan pekerjaan yang sangat jauh lebih baik dalam melayani rakyat daripada negara-negara Barat.

Secara khusus, dia membandingkan Tiongkok dan India. Wanita Tiongkok memiliki hak lebih dari wanita India. Harapan hidup rata-rata wanita Tiongkok 10 tahun lebih lama daripada wanita India. Tetapi menurut apa yang disebut "standar demokrasi" AS, karena India telah menerapkan sistem demokrasi Barat/AS, semestinya hak-hak wanita India harus lebih besar daripada wanita Tiongkok. Namun kenapa dengan sistem demokrasi AS justru mendapat kesimpulan demikian?

Zhang Weiwei membandingkan membandingkan demokrasi Tiongkok dan demokrasi Amerika secara komprehensif dari lima dimensi. Tiga dimensi pertama adalah "dimiliki oleh rakyat, diatur oleh rakyat, dan dinikmati oleh rakyat", yang dalam bahasa Inggris disebut "of the people, by the people, for the people". Seperti yang kita semua tahu, ini adalah kutipan terkenal dari mendiang Presiden AS, Lincoln.

Dari sini Zhang menemukan dua konsep Tiongkok, satu disebut "kebijakan untuk rakyat", yang dalam bahasa Inggris "to the people". Adapun proses pengambilan keputusan demokratis yang "datang dari massa, untuk massa", atau "from the people to the people". Yang lain adalah "bergantung pada rakyat" yang berarti bergantung pada rakyat dan bersama-sama dengan rakyat atau "from the people to the people and with the people".

Zhang memulai dari pengertian "disukai rakyat" dengan mengutip laporan jajak pendapat terbaru dari Institut "Dalia Research" Jerman, yang menunjukkan bahwa lebih dari 80% orang Tiongkok percaya bahwa pemerintah mereka sendiri melayani mayoritas rakyat.

Tetapi di AS, lebih dari separuh orang AS, tepatnya 52% yang percaya bahwa pemerintah AS hanya melayani segelintir orang. Dengan mengambil contoh pandemi covid-19, dengan mengutip pendapat Akademisi Zhong Nanshan pada 23 November 2021, jika "derajat kebebasan dari kematian akibat Covid-19" digunakan sebagai standar, derajat kebebasan Tiongkok adalah 606 kali lebih besar dari AS.

Alasannya sangat sederhana. Jumlah absolut kematian di AS akibat Covid-19 lebih dari 170 kali lipat dari Tiongkok, sedangkan populasi Tiongkok lebih dari empat kali lipat dari AS. Oleh karena itu, kebebasan dan rasa keamanan "dari kematian akibat Covid-19" lebih dari 606 kali lipat dari AS. Adapun kebebasan dan keamanan "bebas dari tertular pneumonia mahkota baru", itu lebih dari 1.678 kali lipat dari AS.

Sumber: cifu.fudan.edu.cn
Sumber: cifu.fudan.edu.cn

Selain itu Zhang juga menggunakan grafik untuk membandingkan median kekayaan bersih rumah tangga kedua negara di Tiongkok dan AS. Meskipun kekayaan bersih rata-rata rumah tangga di AS lebih tinggi daripada di Tiongkok, itu jauh lebih tinggi, tetapi ini menunjukkan bahwa karena rata-rata, kesenjangan antara si kaya dan si miskin di AS jauh lebih besar daripada di Tiongkok.

Jika kita hanya melihat median kekayaan bersih rumah tangga, median kekayaan bersih rumah tangga perkotaan di Tiongkok saat ini telah jauh melampaui AS. 

Saat ini Zhang tidak memiliki data median kekayaan bersih rumah tangga pedesaan Tiongkok, diharapkan bisa memperolehnya mungkin tahun depan atau tahun berikutnya, agar bisa membandingkan kekayaan penduduk pedesaan Tiongkok tampaknya juga meningkat cukup pesat.

Sumber: cifu.fudan.edu.cn
Sumber: cifu.fudan.edu.cn

Selain itu Zhang juga mengutip jajak pendapat 2019 oleh Ipsos, yang menunjukkan bahwa 91% orang Tiongkok berpikir negara mereka berada di jalur yang benar, dibandingkan dengan 41% di AS, 21% di Inggris, dan 20% di Prancis. Dan hal ini terjadi menurut Zhang karena adanya masalah HAM di AS, Inggris dan Prancis, sehingga rakyatnya berpikir negaranya salah jalan, oleh kaena itu ada begitu banyak rakyatnya yang berpikir demikian.

Survei Pew Research Center yang terkenal, survei serupa dapat ditelusuri kembali lima atau sepuluh tahun yang lalu. Di antara mereka, pada tahun 2019, 91% responden di Tiongkok percaya bahwa Tiongkok berada di jalur yang benar, dan 41% responden di AS percaya bahwa AS berada di jalur yang benar, sementara hanya 21% di Inggris dan 20 % di Perancis. 

Negara-negara ini pasti banyak masalah hak asasi manusia, jika dilihat dari hasil polling bahwa mereka tidak puas dengan arah negara. Ini adalah hasil yang diberikan oleh lembaga survei terkenal internasional. Jadi dapat dikatakan bahwa model dan sistem politik Tiongkok, dan sistem demokrasinya telah dilakukan jauh lebih baik daripada model AS dalam hal "disukai bagi rakyatnya".

Sumber: cifu.fudan.com
Sumber: cifu.fudan.com

Dalam hal "milik rakyat", Zhang menggunakan data yang sangat sederhana, dengan mengatakan bahwa 90% pegawai negeri di Tiongkok berasal dari keluarga biasa. Dan peraih Nobel Stiglitz berkata---sebuah ungkapan yang sekarang terkenal---bahwa Amerika "dimiliki oleh 1%, dimiliki oleh 1%, diperintah oleh 1%." "dari 1%, oleh 1%, untuk 1% ".

Sumber: cifu.fudan.com
Sumber: cifu.fudan.com

Adapun untuk masalah "kedaulatan rakyat", dalam wacana Barat, sistem multi-partai plus hak pilih universal hampir sama dengan "kedaulatan rakyat". Tetapi dari sudut pandang orang Tiongkok, ini hanylah demokrasi prosedural terbaik, dan tidak terkait dengan demokrasi substantif. Demokrasi substantif adalah untuk mencapai pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang baik adalah kriteria yang paling penting. Tiongkok secara umum telah melakukan pekerjaan ini dengan baik.

Argumen Zhang berdasarkan hasil jajak pendapat lembaga servei global Dalia, yang menemukan bahwa 57% responden percaya bahwa AS dulunya adalah model demokrasi, tetapi sekarang tidak lagi. Lebih penting lagi, 72% responden AS percaya bahwa demokrasi AS tidak lagi menjadi panutan bagi negara lain.

Sumber: cifu.fudan.com
Sumber: cifu.fudan.com

AS Mengapa Mengadakan "Pertemuan Pucak Demokrasi"?

AS mengadakan "pertemuan puncak demokrasi" untuk membahas topik seperti "Apa yang salah dengan demokrasi Barat atau demokrasi AS?" Hal ini masuk akal, karena pada tahun 2014, sebuah artikel muncul di sampul majalah Inggris "The Economist" dengan tajuk "What's Wrong with Western Democracy". Pada saat itu, artikel itu juga mengatakan, "Demokrasi AS memiliki terlalu banyak masalah, dan selalu memilih pemimpin kelas dua." Tapi itu kutipan yang tidak akurat, atau bahkan "selalu memilih pemimpin kelas tiga", dan itu tampaknya kenyataan AS saat ini. Menurut pendapat pakar dunia luar.

Setelah membanding tentang hal di atas, Zhang membahas tentag "Kebijakan untuk Rakyat" dalam berdemokrasi, "kebijakan untuk rakyat", "to the people", semestinya adalah, "berasal dari massa untuk massa" dalam proses pengambilan keputusan yang demokratis.

Zhang ketika membandingkan banyak keputusan yang diambil antara Tiongkok dan AS, dia berpandangan bahwa kualitas pengambilan keputusan Tiongkok secara signifikan lebih tinggi daripada AS.

Menurut Zhang di bawah sistem "kebijakan rakyat" sentralisme demokrasi Tiongkok, tidak mungkin akan terjadi terjadi dua "perang bodoh", Perang Afghanistan dan Perang Irak, setelah Bush Jr berkuasa. Akibat dari hal ini masih bisa dirasakan sampai sekarang, namun tidak akan membuat keputusan bodoh sekali lagi seperti yang dilakukan Trump untuk memulai perang dagang antara Tiongkok dan AS.

Terakhir, Zhang juga berbicara tentang "rakyat yang  mengandalkan (with the people)", "bergantung pada rakyat, bersama-sama dengan rakyat". Ini bukan omong kosong.

Setiap anggota Politbiro Tiongkok memiliki kontak mereka sendiri, dan mereka harus mengunjungi tempat-tempat ini secara teratur untuk menyelidiki dan memahami situasinya. Tujuan dari "ketergantungan pada rakyat" adalah untuk memastikan bahwa kekuatan politik, kekuatan sosial, dan kekuatan modal Tiongkok mencapai keseimbangan yang menguntungkan sebagian besar rakyat.

Oleh karena itu, AS harus melakukan reformasi politik yang serius dan substantif, jika tidak negara ini akan merosot habis-habisan. Dan Zhang telah menekankan hal ini selama bertahun-tahun.

Zhang juga membandingkan pengentasan kemiskinan Tiongkok dengan perang AS di Afghanistan. Dalam 20 tahun terakhir, AS telah menyia-nyiakan 2,3 triliun dolar AS dalam perang di Afghanistan, dengan membunuh, merusak, menghancurkan, dan menginjak-injak hAM.

Sebaliknya, sejak Kongres Nasional Tiongkok ke-18, Tiongkok telah menghabiskan hampir 1,6 triliun yuan, atau sekitar US$250 miliar, atau sekitar sepersepuluh dari biaya perang AS di Afghanistan, untuk mengangkat hampir 100 juta orang miskin. keluar dari kemiskinan dan menghilangkan kemiskinan ekstrim terakhir di Tiongkok.

Sehingga banyak pakar dan cendiawan luar yang bertanya, mengapa AS tidak bisa menghabiskan US$ 2,3 triliun untuk pengentasan kemiskinan di AS? Untuk memberantas kemiskinan di dunia? Jadi dapat berasumsi bahwa jika kita dapat belajar dari pengalaman pengentasan kemiskinan Tiongkok dikombinasikan dengan situasi aktual, secara teori, US$ 2,3 triliun dapat menghilangkan kemiskinan di dunia.

Tetapi AS memilih untuk menggunakan uang ini untuk perang di Afghanistan, untuk membunuh, menghancurkan, dan melanggar hak asasi manusia. mengapa? Di belakangnya adalah penculikan sistem demokrasi Amerika oleh kompleks industri militer AS dan kekuatan modal. Kompleks industri militer AS telah menghasilkan banyak uang dalam perang di Afghanistan dengan mengorbankan fakta bahwa pendapatan riil mayoritas rakyat AS tidak meningkat dalam 30 tahun terakhir. Jadi dengan situasi demikian maka diperkirakan AS akan terus melemah dan turun.

Maka banyak yang berpandangan musuh AS bukanlah Tiongkok dan Rusia, tetapi AS sendiri. Musuh demokrasi Barat atau demokrasi Amerika bukanlah Tiongkok dan Rusia, tetapi demokrasi Barat dan demokrasi Amerika itu sendiri.

Jadi kesimpulan secara sederhana, melalui perbandingan lima dimensi di atas, sistem demokrasi AS. sistem demokrasi modal yang disebut "Sumit fore Democracy" di AS sebenarnya adalah permainan usang yang menggunakan kriteria biasnya sendiri untuk memutuskan demokrasi mana, mana yang tidak, dan seterusnya.

Sangat mirip dengan kompetisi film antara Fuji dan Kodak, tapi hasilnya diambil alih oleh teknologi digital. Model sistem demokrasi rakyat lebih mirip teknologi digital, sedangkan sistem demokrasi di AS masih mentok di era perfilman masa lalu.

Jika AS atau negara lain menyukai demokrasi ala Amerika, tidak perlu iri sama sekali, tapi harusnya bersimpati, Yang kita ingin melihat demokrasi bukanlah "akhir peradaban sejarah", melainkan bukan juga dari "akhir sejarah", demokrasi adalah untuk mensejahteraan umat manusia..... Marilah kita renungkan bersama.....

Demokrasi Zaman Dulu dan Kini

Kata "demokrasi" memiliki beberapa arti: arti pertama adalah demokrasi klasik paling awal. Untuk negara-kota kecil seperti Yunani dan Athena kuno, demokrasi memiliki dua definisi. Yang pertama adalah bahwa setiap orang datang untuk berpartisipasi dalam politik, dan yang kedua adalah keputusan mayoritas, 51 orang dapat mengalahkan 49 orang, sangat sederhana; dalam kata-kata Aristoteles, itu adalah prinsip matematika.

Tapi ada banyak trik di sini, seperti orang/warga, siapa yang dianggap sebagai orang/warga? Di Athena, negara kota dengan ratusan ribu orang mungkin hanya memiliki puluhan ribu orang, jadi itu dianggap sebagai warga. Pada akhir Abad Pertengahan, republik seperti Venesia dan Florensia dikenal sebagai republik demokrasi klasik dalam sejarah Eropa. Faktanya, jumlah orang yang memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam politik mungkin hanya lebih dari 1% atau 2%. Sangat sedikit orang yang bisa berpartisipasi dalam politik.

Namun, negara-kota seperti Yunani kuno dan Venesia abad pertengahan menyebut diri mereka "negara-negara demokratis". Faktanya, dari pengalaman sejarah, "negara-negara demokratis" semacam itu hampir tidak memiliki akhir yang baik. Pada akhirnya, mereka semua mati dalam perselisihan sipil dan pertempuran faksi, dan akhirnya runtuh, atau dianeksasi oleh pihak lain.

Dalam seluruh sejarah filsafat Barat, untuk sebagian besar masa waktu, para filsuf percaya bahwa "demokrasi" bukanlah hal yang baik dan tidak dapat dihindari. Jadi ketika melihat konstitusi AS, ketika dibahas di Majelis Konstituante, tidak ada yang mengatakan bahwa negara demokrasi harus dibangun. Tidak ada kata dalam Konstitusi AS yang menyebutkan demokrasi. Padahal, dalam perdebatan saat itu, yang dipikirkan para elit politik adalah bagaimana menghindari demokrasi dan bagaimana membatasinya.

Ada pakar yang mengatakan sistem konstitusional seperti AS pada dasarnya adalah sistem yang bebas, bukan sistem demokrasi, dan sistem yang bebas dirancang untuk memastikan bahwa mereka yang memiliki hak milik memegang kekuasaan politik.

Namun makna demokrasi ini berubah, sejak dari kebangkitan kapitalisme pada abad ke-19, para pekerja di Eropa mulai merasa sangat tidak nyaman, para kapitalis menguasai negara, kekuatan politik, hukum, tentara, dan media, yang semuanya ada di tangan mereka, jadi pekerja mulai terlibat dalam gerakan sosialis, termasuk kemudian kelompok kiri. Orang-orang muncul, mengusulkan pandangan baru tentang demokrasi. Jadi "demokrasi modern" sebenarnya adalah panji gerakan sosialis Eropa.

Namun, demokrasi sosialis ini merupakan ancaman besar bagi negara-negara kapitalis di Eropa, apakah mereka kerajaan atau negara bebas, sehingga para elit politik saat itu berpikir, apa yang harus mereka lakukan? Cara terbaik adalah, bagaimana agar mereka tidak bisa mengalahkannya, adalah dengan cara bergabung.

Jadi, ada serangkaian pemikir, termasuk Joseph Schumpeter, seorang ekonom Austria yang terkenal, dan kemudian Giovanni Sartori di AS, yang membuat permainan konsep, yaitu, kita kapitalisme, kalian adalah sosialisme, dan apa yang kalian kejar adalah sosialisme dan demokrasi, maka kita akan memisahkan sosialisme dan demokrasi, dan meletakkan demokrasi di atas kepala kita.

Metode khusus yang mereka ambil adalah dengan menghilangkan kandungan nilai dalam demokrasi, tidak lagi berbicara tentang kesetaraan, tidak lagi berbicara tentang hak-hak pekerja, dan mengubahnya menjadi definisi yang kadang-kadang digunakan oleh Barat dan bahkan banyak dari kita saat ini, yaitu sistem multi-partai, suatu sistem atau prosedur seperti parlemen, persaingan bebas, dan pemilihan umum. Padahal, seperangkat prosedur telah sepenuhnya menggantikan esensi demokrasi.

Tetapi rangkaian hal ini belum terlalu berhasil. Hingga tahun 1970-an dan 1980-an, orang Barat tidak berani menyebut diri mereka negara demokratis. Mari kita ingat-ingat, yang kini Korea Utara DPRK (Democratic People's Republic of Korea)  dan sebelum runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, negara mana yang memiliki kata "demokrasi" dalam namanya? Misalnya, Jerman Timur dan Barat, Barat disebut Republik Federal Jerman, dan Timur disebut GDR (German Democratic Republic). 

Itu adalah disintegrasi Uni Soviet dan kemenangan AS dalam Perang Dingin, yang memberinya rasa percaya diri, dan mulai mengatakan bahwa "demokrasi" adalah sesuatu yang juga dapat AS gunakan, dan bahwa AS dapat menggunakannya untuk menaklukkan dunia dan menumbangkan rezim orang lain di mana-mana, jadi sebenarnya hanya dalam beberapa dekade, kata "demokrasi" telah terdistorsi.

Hal yang sangat penting yang perlu kita lakukan hari ini sebenarnya menurut beberapa pakar adalah mengembalikan kata "demokrasi" pada makna aslinya.

Namun perlu ditambahkan dalam membahas Demokrasi Barat. Ada tiga negara yang harus disebutkan, satu adalah Yunani kuno, tempat kelahiran demokrasi Barat, satu adalah Inggris, tempat kelahiran demokrasi parlementer, dan yang lainnya adalah AS, yang setiap hari mengumandangkan demokrasi ke dunia.

Lihatlah situasi ketiga negara ini terakhir ini: Yunani pernah bangkrut, Inggris "Brexit" dan AS yang pernah memiliki Presiden Trump.....

Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri

https://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjbxw/202112/t20211203_10462053.html

https://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjbxw/202112/t20211203_10462033.html

https://www.state.gov/summit-for-democracy/

http://www.china-embassy.org/eng/zgyw/202112/t20211203_10462162.htm

https://www.cfr.org/councilofcouncils/global-memos/global-perspectives-bidens-democracy-summit

http://www.cifu.fudan.edu.cn/96/17/c412a431639/page.htm

http://www.cifu.fudan.edu.cn/76/ef/c413a423663/page.htm

https://www.brookings.edu/blog/fixgov/2021/12/21/the-biden-democracy-summit-will-it-actually-work/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun