Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Membahas Friksi AS-Turki Terkini

29 Agustus 2018   16:42 Diperbarui: 29 Agustus 2018   17:16 1341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini dunia sedang ramai memberitakan tentang krisis valuta Turki yang terdepresiasi terhadap USD hingga hampir 20%, sanksi ekonomi yang dijatuhkan pemerintahan Trump terhadap Turki yang menaikan tarif impor baja dan aluminium Turki hingga 50% dan 20%. Sehingga friksi antara AS-Turki memanas.

Apakah Turki yang merupakan salah satu anggota NATO benar-benar akan terpisah dari AS dan berpihak pada Rusia? Marilah kita bahas disini berdasar fakta kejadian yang dapat kita lihat selama ini.

Sumber: twitter.com/realdonaldtrump
Sumber: twitter.com/realdonaldtrump
Pada 10 Agustus, Trump mempublikasi dalam twitternya: "Saya baru saja mengesahkan kenaikan tarif pada baja dan aluminium sehubungan dengan mata uang Turki, lira meluncur turun dengan cepat terhadap dolar kita yang sangat kuat! Aluminium sekarang akan menjadi 20% dan baja 50%. Hubungan kita dengan Turki tidak bagus saat ini!"

Setelah tarif naik lipat ganda, nilai tukar lira Turki dengan USD anjlok lebih dari 18% dalam satu hari, hingga 22%, dan menguapkan hampir setengah dari PDB Turki. Hal ini secara langsung menyebabkan lira merosot. Mata uang Turki merosot lebih dari 40%, atau turun sekitar setengah, sehingga menyebabkan kepanikan baru.

Dalam keadaan ini, Presiden Turki -- Recep Tayyib Erdogan berpidato di depan pendukungnya dengan mengatakan: "Hari ini, beberapa pihak mencoba mengancam Turki melalui ekonomi, sanksi, pertukaran mata uang asing, suku bunga, dan inflasi. Kami memberi tahu mereka: kami dapat melihat permaian kalian dan kami menantang kalian."

Pada 15 Agustus, Presiden Turki mengeluarkan perintah eksekutif (peraturan pemerintah) yang meningkatkan tarif impor untuk beberapa barang buatan AS. Menurut peraturan ini, komoditas AS yang terkena kenaikan tarif termasuk mobil, minuman keras, tembakau, make-up, beras dan batu bara.

Pada 20 Agustus, Kedutaan Besar AS di Turki mengalami penembakan. Peristiwa ini terjadi ketika ketegangan meningkat antara dua sekutu NATO pimpinan AS,  Turki dan AS. Beberapa pengamat menyatakan bahwa penembakan ini terkait dengan friksi yang terus meningkat antara AS dan Turki.

Benarkah hubungan dua aliansi NATO sedang pada titik pecah?

Sejak awal 2018, lira Turki telah mengalami depresiasi. Pada bulan Juni, total turun sekitar 20% dibandingkan dengan USD.

Sumbe: La Stampa
Sumbe: La Stampa
Namun sebenarya hal itu bukanlah hujan yang turun dengan tiba-tiba. Pada bulan Agustus ini, lira anjlok sekali lagi. Menurut beberapa analis, alasan langsung  penurunan ini dikarenakan Turki dan AS telah gagal mencapai konsensus untuk melepaskan pendeta AS Andrew Brunson, sehingga AS melakukan tindakan membekukan aset AS dari dua pejabat pemerintah Turki, dan memberikan pukulan berat ke Turki di sektor ekonomi dengan menggandakan tarif impor pada baja dan aluminium Turki.

Pukulan keras AS ini menyebabkan penurunan lira Turki, dan Turki mengalami gejolak keuangan yang parah. Sebagai tanggapan, Turki membuat serangan balik yang kuat dengan mengambil serangkaian tindakan balasan. Dapat dikatakan bahwa aliansi tradisional antara AS dan Turki yang dibangun setelah PD II ini menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Berbagai Penyebab Lira Anjlok

Dalam sebulan terakhir, lira Turki anjlok, menyebabkan kekhawatiran umum dari investor mengenai pasar yang sedang berkembang. Organisasi regulator Turki telah mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan mata uang Turki seperti membatasi perdagangan berjangka oleh investor asing dan membatasi pertukaran cadangan asing.

Namun, sebagian besar orang yang terlibat di industri ini percaya bahwa langkah-langkah ini tidak dapat sepenuhnya menstabilkan pasar. Menurut perhitungan dari Societe General, pada bulan Oktober tahun ini, Turki dan perusahaannya harus membayar kembali hampir 3,8 milyar USD untuk obligasi mata uang asing, dan 180 milyar USD hutang luar negeri jangka pendek dan total hutang luar negerinya akan sebesar 460 miliar USD, terbesar di antara negara-negara berkembang utama.

Dan Turki sendiri membutuhkan pendanaan eksternal yang besar, karena seperti yang sudah kemukakan sebelumnya, Turki berhutang kepada luar negeri sebesar 455 miliar dolar, dan sekitar 250 miliar dolar AS akan perlu membiayai kembali untuk tahun depan. Tetapi koalisi keuangan internasional tidak mendukung Turki.

Namun, manajer umum bank terbesar di Turki, Isbank, mengatakan: "Depresiasi lira sebagian karena alasan keuangan, tetapi data keuangan tidak dapat sepenuhnya menjelaskan keadaan lira saat ini."

Pada 20 Agustus, Presiden Turki Erdogan mengatakan dalam pidatonya di depan publik bahwa Turki sedang menghadapi perang ekonomi dan menuduh itu dikerjai AS.

Erdogan mengatakan: Kami telah mengalami kelompok-kelompok teror, mereka yang akan mengkhianati kami dari dalam, dengan ribuan trik, rayuan, dan perangkap, tetapi kami belum menyerah. Mereka yang percaya bahwa mereka dapat membuat Turki tunduk melalui kurs.

Andrew Brunson telah dipandang sebagai tokoh kunci dalam memicu krisis Turki saat ini. Brunson, yang berumur 50 tahun, berasal dari North Carolina, AS, dan telah tinggal di Turki selama lebih dari 20 tahun. Presiden AS Trump percaya bahwa dia adalah seorang Kristen, suami, dan ayah yang sangat baik. Namun dia ditahan oleh pemerintah Turki karena dicurigai mendukung kudeta gagal 2016 dan Partai Pekerja Kurdistan (PKK/ Kurdistan Workers' Party).

AS menuntut beberapa kali untuk membebaskannya tanpa hasil, bahkan Prsiden Trump secara pribadi meminta bantuan untuk dibebaskan, namun Presiden Turki Erdogan tidak menunjukkan rasa hormat kepadanya.

Sarah Sanders, Juru Bicara Gedung Putih AS memberi pernyataan: Presiden terus mengikuti situasi yang sedang berlangsung di Turki yang melibatkan Pastor Andrew Brunson. Kami tidak melihat bukti bahwa pendeta Brunson telah melakukan kesalahan dan kami yakin dia adalah korban dari perlakuan yang tidak adil dari pemerintah Turki. Atas arahan Presiden, Departemen Keuangan memberi sanksi kepada Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri Turki, yang keduanya memainkan peran utama dalam penangkapan dan penahanan pendeta Brunson. Atas alasan itu, setiap properti atau yang berkaitan dengan properti kedua Menteri ini yang berada dalam yurisdiksi AS diblokir, dan semua orang AS dilarang melakukan transaksi dengan mereka berdua.

Sumber: DW
Sumber: DW
Pada tanggal 1 Agustus, AS mengumumkan sanksi terhadap menteri dalam negeri Turki dan menteri kehakiman atas penahan Brunson. Senat AS meloloskan RUU yang menangguhkan pinjaman internasional ke Turki sampai Brunson dibebaskan.

Dua pejabat senior Turki menjadi sasaran AS, dan tindakan ini menjadi preseden bagi AS dalam sekutu NATO.

Bloomberg News mengungkapkan bahwa AS telah memformulasikan daftar sanksi, dan selain anggota kabinet Erdogan, daftar itu juga termasuk menantu Erdogan, dan Menteri Keuangan dan Bendahara Turki saat ini, Berat Albayrak, serta putra bungsu Erdogan, Bilal Erdogan.

Edieis Kardsh, Kepala Pusat Ekonomi dan Politik Universitas Istinye, Turki mengatakan: Sanksi ini tidak hanya tentang kasus Brunson, tapi tentang hubungan buruk AS dan Turki.

Sumber: CCTV News
Sumber: CCTV News
Juga banyak analis yang percaya akar konflik Turki-AS adalah politik, bukan ekonomi. Ekonomi hanyalah tanda gesekan, tetapi politik adalah akar sesungguhnya.

Sebenarnya, karena mereka telah terpengaruh oleh situasi Timur Tengah dan perubahan dalam politik domestik Turki, antara Turki dan AS terus terdapat ketidak setujuan, dan kedua negara telah mengalami konflik yang tidak dapat didamaikan, antara lain masalah gerakan Gulen, dan isu-isu lainnya. Karenanya, hubungan AS-Turki menjadi semakin renggang, jadi tidak mengherankan krisis diplomatik bisa pecah kapan saja.

Analis percaya bahwa perselisihan tentang apakah pastor AS Brunson harus dibebaskan adalah masalah sampingan dari krisis hubungan AS-Turki. Bukan pokok masalah.

Jadi persilihan apa yang membuat AS dan Turki tidak dapat didamaikan? Mengapa AS memutuskan untuk memberikan sanksi pada Turki saat ini?

Pada 15 Juli, di Istanbul, Turki, banyak warga melambaikan bendera nasional Turki saat mereka memperingati ulang tahun kedua kudeta yang gagal. Presiden Turki Erdogan berjalan ke panggung dan berbicara kepada kerumunan pendukungnya.

Erdogan dalam pidatonya mengatakan: Kami akan terus berjuang dalam batas-batas hukum sampai pengkhianat terakhir dari Organisasi Teror Gulenist (FETO) dieksekusi.

Pemerintah Turki selalu percaya bahwa tokoh agama Fethullah Gulen, yang tinggal di AS, adalah dalang di balik kudeta yang gagal, dan telah menuntut Gulen diekstradisi ke Turki, tetapi sealau ditolak AS.

Beberapa pihak di Turki bahkan percaya bahwa AS diam-diam mendukung kudeta 2016. Pada saat yang sama, banyak warga Amerika ditahan di Turki. Selain dari pendeta Brunson, ada juga ilmuwan dari NASA, wartawan, dan pekerja kedutaan dan konsulat.

Turki percaya bahwa kudeta ini diprakarsai oleh pemimpin gerakan Gulen yang tinggal di AS, dan beberapa bahkan menduga bahwa pemerintah AS mendukungnya, jadi ini yang menjadi konflik saat ini yang sedang mereka hadapi.

Edieis Kardsh mengatakan: Jadi setiap krisis terkait dengan ini (kudeta gagal), sehingga mereka (AS-Turki) tidak saling mempercayai.

Dengan adanya perbedaan dalam kepentingan nasional dan tujuan kebijakan, AS dan Turki juga memiliki masalah ketika menghadapi isu-isu Kurdi.

Perang sipil Suriah menyebabkan bangkitnya suku Kurdi, yang membuat Turki merasa terancam secara tersendiri, sehingga perlu menekan pasukan Kurdi menjadi tujuan utama kebijakan regional Turki.

Tetapi AS memandang Kurdi sebagai sekutu dalam kontraterorisme, dan memberi mereka banyak dukungan.

Turki jelas-jelas mengutuk AS beberapa kali atas dukungannya kepada Partai Persatuan Demokratik Kurdi (PYD/Kurdish Democratic Union Party) dan "Unit Perlindungan Rakyat" (YPG/People's Protection Units) yang berafiliasi dengannya di Suriah, dan menuntut agar AS mengubah nada suaranya, dan menarik garis pemisah antara partai itu dan organisasi itu dengan jelas.

Tapi setelah Trump menjabat presiden, dukungan terhadap Kurdi justru meningkat dan tidak menurun.

Pada bulan Januari tahun ini, AS mengumumkan bahwa mereka akan berkoordinasi dengan Kurdi di Suriah untuk membentuk "pasukan keamanan perbatasan," yang menyebabkan Turki dengan marah memobilisasi pasukan untuk menyerang dan mengambil Afrin.

Karena dengan iritasi masalah Kurdi membuat Turki salah satu anggota penting NATO, tampaknya berbalik ke arah Rusia dan Iran pada isu-isu hangat Timur Tengah seperti masalah Suriah, kesepakatan nuklir Iran dan masalah Jerusalem.

Dan serangkaian tindakan Erdogan telah terus-menerus mengkhawatirkan AS dan dunia Barat, sehingga ketidaksenangan dan tekanan AS terhadap Turki terus meningkat.

Pendeta yang dipenjara adalah pemicu langsung dalam hubungan Turki-AS yang memburuk, tetapi pemicu ini tidak begitu jelas. Insiden ini tidak pernah terjadi di mata Trump, akumulasi konflik antara Turki dan AS adalah karena Turki yang dipimpin Erdogan dianggap telah membuat serangkaian kesalahan. Trump percaya bahwa sudah waktunya untuk serangkaian kesalahan ini dipertanggungjawabkan.

Faktanya, AS tidak ingin memukul Turki hingga mati dan sepenuhnya menghancurkan jantungnya --- yang dengan pasti ini bukan tujuan AS. AS hanya ingin memberi Turki sebuah pelajaran, dengan menyakitinya sedikit, agar kembali bersikap pro-AS secara tradisional, dan bersikap pro-Barat, dan menjadi pengikut setia AS di Eropa Tenggara dan Timur Tengah.

Bagi AS, perilaku Turki dalam beberapa tahun terakhir semakin tidak seperti sekutu. Sikap keras Presiden Turki Erdogan, sikap tidak kooperatif telah memberikan pukulan hebat bagi citra AS sebagai "pemimpin aliansi".

Ketidakpuasan dan kegeraman kedua negara meningkat, maka dari itu strategis saling percaya mereka terus menurun.

Konsep Presiden AS Trump yang memprioritaskan kepentingannya sendiri, dengan tindakan sepihaknya, dan preferensinya untuk menggunakan sanksi dengan menerapkan tekanan terus meningkat, menyebabkan ketidakpastian terhadap hubungan AS-Turki. Upaya AS untuk secara terbuka memberikan sanksi kepada Turki melalui cara-cara ekonomi, dan pola ini terus dipertahankan.

Manuver Dalam Negeri Erdogan Dan Ambisi

Erdogan mengatakan: Hari ini, Turki telah membuat pilihan bersejarah ketika menghadapi sistem politik yang telah diperdebatkan selama 200 tahun. Pilihan ini bukan urusan biasa.

Pada 16 April 2017, Turki mengadakan referendum nasional untuk mengamandemen konstitusinya dan lolos dengan persetujuan sebesar 51,4%. Meskipun hasilnya masih diperdebatkan, apa yang tidak dapat disangkal adalah Erdogan telah menang lagi.

Sejak 2003, sejak mulai menjadi PM, Erdogan telah menguasai ranah politik Turki. Dan melakukan amandemen konstitusi yang berhasil, yang memperkuat kekuasaan pemerintahan Turki secara besar-besaran dan melemahkan kekuasaan Majelis Nasional Agung (Grand National Assembly) yang diciptakan pada abad ke-20 oleh "bapak pendiri" Turki, Mustafa Kemal Ataturk, dan kini Turki berubah menjadi sistem presidensial.

Pada 24 Juni, Turki mengadakan pemilihan umum pertamanya setelah menerapkan sistem kepresidensial. Erdogan memenangkan pemilihan kembali sebagai presiden dengan 52,59% dari total suara.

Ambisi politik pribadinya adalah menjadi presiden seumur hidup, dan pada dasarnya telah mencapai tujuan. Ambisi nasionalnya adalah untuk mengembalikan Turki ke kejayaan Kekaisaran Ottoman tradisional.

Tentu saja, akan secara pelan-pelan membangun kekaisaran seperti sebelumnya, tetapi Erdogan berharap menjadi pemimpin yang diakui oleh dunia Islam, dan menjadi pemimpin dari 1,6 miliar Muslim dunia.

Selain memulihkan agama tradisional, Erdogan juga perlu bisa berbicara untuk warga Palestina, dan menjadi pemimpin opini publik, dan selain itu juga perlu meningkatkan ekonomi.

Dalam laporan berjudul "Masa Depan Industri Pertahanan Turki --- Daya Tarik Pasar, Lanskap Kompetitif, dan Prakiraan hingga 2023" ("Future of the Turkish Defense Industry---Market Attractiveness, Competitive Landscape and Forecasts to 2023") yang diterbitkan oleh situs Intelijen Pertahanan (SDI) Inggris, bahwa Erdogan yang bersemangat tinggi mengajukan dua visi strategis untuk 2023 dan 2053. Erdogan berharap untuk menggerakkan kekuatan nasional ekonomi dan komprehensif Turki ke dalam 10 besar dunia pada 2023, dan membuat Turki menjadi kekuatan global pada 2053. (baca: Dilema Amerika Menyerahkan Jet Tempur F-35 Kontrak Turki dan Rusia S-400)

Sebelumnya selama 11 tahun ketika Erdogan menjabat sebagai PM, Turki mencapai "keajaiban ekonomi" karena PDB-nya meningkat tiga kali lipat dan itu membuat jalannya menuju G20, menjadi salah satu kekuatan menengah yang muncul paling cepat di dunia.

Pada tahun 2015, Erdogan meluncurkan "major engineering plan (rencana teknologi utama)" untuk berinvestasi 400 miliar USD dalam membangun bandara baru, pusat keuangan baru, terowongan baru melintasi selat, dan kereta api berkecepatan tinggi terpanjang kedua, dan membangun kembali perumahan.

Erdogan ingin merevitalisasi Turki. Dia ingin membangun bandara terbesar, menggali kanal baru, dan membangun terowongan bawah laut baru. Dia ingin benar-benar menghubungkan Eropa dan Asia, dan mengendalikan saluran pipa minyak di Laut Kaspia.

Juga, secara geografis, Erdogan memiliki kebutuhan semacam ini, kelayakan semacam ini, dan kemungkinan semacam ini. Tetapi jika Anda melakukan ini dalam situasi yang tepat dan membuat semua negara menerima Anda dan merasa bahwa Anda bukan ancaman, Anda mungkin memiliki kemungkinan untuk mencapai ini, tetapi situasinya tidak seperti itu sekarang. Demikian pandangan para analis.

Untuk masalah Erdogan, majalah "Times" AS mengatakan: Erdogan adalah seorang sekuler di permukaan, tetapi di bawahnya adalah seorang konservatif Islam.

Memang dalam kenyataannya, setelah Erdogan berkuasa, dia berusaha menarik Turki dari strateginya yang hanya tadinya berpihak pada Barat, dan memulihkan agama Islam tradisional.

Turki dengan populasinya yang lebih dari 98% adalah Muslim, segera mendapat dukungan luas. Dan ini jelas bertentangan dengan niat asli AS untuk mendukung Turki menjadi negara Muslim yang sekuler.

Kemalisme

Negara Turki saat ini didirikan oleh Mustafa Kemal Ataturk, dan mereka menggunakan Kemalisme. Sifat-sifat unik Kemalisme mendorong untuk secara skala penuh "mem-Baratkan/Westernisasi" dunia Islam.

Pada titik ini, Turki adalah negara yang cukup sekuler di dunia Muslim. Ada lebih dari 50 negara Islam berpenduduk 1,6 miliar orang di dunia. Jadi untuk waktu yang lama, AS telah berharap untuk menggunakan Turki sebagai patrun untuk membimbing semua muslim dunia ke arah menjadi "Barat/Westernized."

Tapi, saat ini, Erdogan menentang semua filosofi politik itu, dan memperkuat Turki, dan mempromosikan neo-Ottomanisme secara internasional. Jadi analis pikir hal ini yang lebih mungkin penyebab yang tidak dapat diterima oleh AS.

CNN AS berkomentar dengan mengatakan bahwa pemerintah AS berharap untuk menekan Turki untuk memaksanya membuat konsesi dalam beberapa masalah, tetapi Presiden Turki Erdogan berbalik dan mengkontak Presiden Rusia Vladimir Putin, dan mengatakan bahwa dia akan mencari sekutu baru untuk mengganti AS.

Dalam kenyataannya, sejak ketegangan Turki-Uni Eropa dimulai tahun lalu, strategi Turki untuk "melihat ke arah timur" telah menjadi semakin jelas. Jadi apakah Turki benar-benar akan meninggalkan AS untuk bersekutu dengan sekutu baru? Ke arah mana tujuan dari hubungan AS-Turki?

Pada 11 Agustus, Erdogan menerbitkan sebuah artikel di "The New York Times" bahwa tindakan sepihak AS hanya akan melemahkan kepentingan dan keamanan Amerika. Dan bahwa jika AS gagal membalikkan tren unilateralisme dan tidak menghormati ini, Turki perlu untuk mulai mencari teman dan sekutu baru.

Erdogan mengatakan: Kami sedang mempersiapkan untuk menggunakan mata uang nasional kami sendiri dengan mitra dagang terbesar kami, seperti Tiongkok, Rusia, dan Ukraina. Jika negara-negara Eropa ingin keluar dari penggunaan dolar AS maka kami siap untuk mengatur sistem tersebut dengan mereka juga.

Sebenarnya, pada 10 Agustus, hari ketika AS menaikkan tarif pada baja dan aluminium Turki, Erdogan segera menelepon Presiden Rusia Putin. Dikatakan bahwa keduanya menyatakan kepuasan dengan hubungan perdagangan negara mereka.

Pada 14 Agustus, Menlu Rusia Sergey Lavrov tiba di Ankara, dia bertemu dengan Menlu Turki, Mevlut Cavusoglu. Kedua menteri luar negeri membahas berbagai hal termasuk krisis Suriah, posisi meletakkan pipa gas alam dari Rusia ke Turki, dan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di Turki.

Nadir Deviet, Prof. Hubungan Internasional dari Universitas Istanbul Aydin mengatakan: Karena dua negara sekarang menderita inflasi dolar. Mungkin kedua negara akan mencoba mencari solusi untuk masalah ini.

Bukan hanya Turki dan Rusia --- Turki dan Iran juga mulai sering berinteraksi. Setelah AS mengumumkan sanksi terhadap Turki, Menlu Iran Mohammad Javad Zarif juga mengatakan di Twitter bahwa Iran akan mendukung Turki seperti yang yang lalu. Qatar juga mengirim bantuan yang sangat dibutuhkan ke Turki karena menghadapi krisis nilai tukar dan sanksi AS.

Sumber: twitter.com/jzarif
Sumber: twitter.com/jzarif
Pada 15 Agustus, berita dari kantor presiden Turki mengatakan bahwa Qatar telah mengumumkan akan menginfus Turki dengan 15 miliar USD sebagai pendorong untuk membantu lira rebound.

Selain itu, pemerintah Turki juga berusaha meningkatkan hubungannya dengan beberapa negara Uni Eropa untuk meringankan krisis lira.

Pengadilan Turki baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan membebaskan dua tentara Yunani yang telah ditahan yang dituduh mata-mata setelah melintasi perbatasan pada bulan Maret tahun ini.

Presiden Turki Erdogan juga menghubungi Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan kedua pemimpin itu menyatakan bahwa mereka akan memperkuat hubungan bilateral dengan Turki dan mencapai kesepakatan untuk mengadakan pertemuan menteri keuangannya dengan Jerman dan Perancis segera.

Emre Gonen, Dosen Departemen Hubungan Internasional Istanbul Bilgl University mengatakan: Uni Eropa dan Turki memiliki hubungan yang tercela, terutama selama empat atau lima tahun terakhir, dan tiba-tiba kini mereka menemukan kembali bahwa mereka sangat saling membutuhkan, terutama pada saat terpaksa dan tertekan.

Ketika menyangkut interaksi Turki dengan banyak negara, beberapa analis percaya bahwa Turki dianggap mitra NATO yang tidak dapat diandalkan.

Pada tahun 2003 ketika Perang Irak pecah. Tepatnya sebelum Perang Irak, AS mengindikasikan bahwa mereka ingin mengerahkan puluhan ribu pasukan ke Turki dan menjadikan "pos terdepan" untuk maju perang. Tetapi mayoritas parlemen Turki, yang merupakan bagian dari partai Erdogan, tidak mengizinkan militer AS lewat.

Sebagai sekutu AS, Amerika Serikat merasa tersandung dan tidak bisa bekerja sama, yang memaksa Divisi Infanteri ke-3 (pasukan zeni) harus mutar ke Terusan Suez dari Laut Mediterania, dan kemudian ke Teluk Persia melalui Bab-el-Mandeb. Jika pemerintahan Saddam Hussein saat itu belum terlalu lemah pada, dan jika militer AS tidak dapat menyapu semua rintangan dengan kerja sama dengan Syiah di Irak, dan seandainya AS tidak bisa merebut Baghdad dalam beberapa hari, maka tindakan ini dikarenakan oleh Turki,  hal itu akan sangat menyakiti AS.

Beberapa analis percaya bahwa Turki bisa menjadi mitra, teman, dan kooperator dengan Rusia, dan juga mitra, teman, dan kooperator dengan Iran, tetapi Turki tidak mungkin menjadi sekutu.

Jika ingin menjadi sekutu, maka dalam sekutu harus mempunyai kewajiban. Dengan identitasnya sebagai anggota NATO, dan sekutu dari AS dan Eropa, mustahil bagi Turki untuk dapat membentuk aliansi dengan Rusia dan Iran.

Hubungannya dengan Rusia dan Iran akan terbatas. Mereka hanyalah interaksi normal di tingkat internasional. Ketika Iran dijatuhi sanksi, dan tidak diizinkan mengekspor minyak, Turki ternyata masih terlalu takut untuk mengimpor minyak Iran.

Beberapa analis percaya bahwa identitas Turki sebagai negara NATO telah memperkuat pengaruh Turki di Timur Tengah, dan bahwa kerja sama ekonomi, perdagangan, dan militer Turki dengan Barat masih merupakan titik pusat penting bagi hubungan timbal balik mereka; ini telah menentukan bahwa baik secara strategis dan teknologi, akan sangat tidak mungkin bahwa Turki membentuk aliansi sejati dengan Rusia atau negara lain.

Tindakan Turki akhir-akhir ini telah dilakukan hanya untuk menekan AS dan menurunkan standar untuk dialog. Hal itu akan menjadi semacam ancaman, tetapi diragukan ancaman ini akan memiliki banyak efek. AS tidak akan benar-benar peduli, karena AS akan berpikir Turki tidak akan meninggalkannya ---  jika dibiarkan, risikonya akan terlalu besar. Jika pergi ke sisi Rusia, secara ekonomi, Rusia tidak bisa menolong, jadi banyak analis berpandangan itu tidak lebih hanya sekedar untuk gagahan, dan kita tidak perlu melihatnya sebagai terlalu serius.

Saat ini, ketika melihat rangkaian ekspresi dan tindakan Turki, Turki tidak menunjukkan tanda-tanda kompromi, jadi tidak mungkin hubungan Turki-AS akan membaik dalam waktu dekat.

Namun, karena kedua belah pihak memiliki banyak kepentingan bersama di sektor geopolitik dan keamanan, mereka juga tidak akan dengan mudah berpisah dan mengambil jalan mereka sendiri.

Turki adalah sekutu AS di NATO, dan wilayahnya menghubungkan Eropa dan Asia; mereka mengontrol satu-satunya saluran antara Laut Hitam dan Laut Mediterania, sehingga memiliki nilai strategis yang penting bagi gerakan AS di Timur Tengah dan Eropa.

Meskipun kedua negara berkonflik, namun ketika menyangkut urusan keamanan dalam negeri, tidak ada yang namanya teman tetap, yang ada hanyalah kepentingan permanen.

Apakah Isu Kurdi akan menjadi Kunci Konflik?

Isu Kurdi, yang dikhawatirkan dunia akan menjadi salah satu kunci konflik antara AS dan Turki mungkin telah menjadi pengorbanan dalam permainan kejam antara negara-negara besar. AS menyadari ketika mereka harus memilih Turki atau Kurdi, mudah dapat ditebak apa pilihannya.

Ketika Turki menyerang Afrin, AS menyatakan menentang dengan keras, tetapi AS tidak brusaha menghentikan mereka. Di wilayah Afrin juga terdapat beberapa kekuatan Amerika. Jika AS dengan gigih menentang, itu bisa mengirim bala bantuan, dan bisa saja terlibat dalam konflik langsung dengan militer Turki, tetapi AS tidak melakukan itu. AS memutuskan untuk membiarkannya. AS menganggap itu berada dalam lingkungan atau lingkup keamanan Turki.

Saat ini, banyak pihak yang mengatakan tentang isu Kurdi, dan konflik antara AS dan Turki terlalu dibesar-besarkan.

Sudah nampak AS hanya menggunakan Kurdi. Untuk jangka lama, sangat mungkin Amerika akan meninggalkan mereka, karena mereka memiliki tradisi meninggalkan sekutu mereka. Jadi untuk hal yang menyangkut masalah Kurdi, pada akhirnya itu tidak akan menjadi masalah bagi AS untuk mengorbankan kepentingan suku Kurdi untuk melayani Turki.

Amanda Slot, peneliti senior di "Center on the US dan Europe of the Brookings Institution" AS, menunjukkan bahwa jika konflik AS-Turki menjadi parah, itu akan membuat Turki "berbelok ke timur," dan memberi keuntungan bagi Rusia dan memberi kawan kepada lawan AS secara gratis, hal itu bukanlah yang diinginkan AS. Dan jika Turki terus memancing kemarahan AS, itu akan membuat AS untuk menjatuhkan sanksi baru dan akan menghantam lebih lanjut ekonomi Turki, yang dapat memperburuk konflik domestik Turki dan mempengaruhi stablitasnya. Karena itu, kedua negara harus mempunyai motif untuk memulai kembali berunding.

Meskipun AS dan Turki sering saling mengotot dan menarik urat leher satu sama lain, tapi kepentingan dan kebutuhan kedua negara ini saling kait mengait satu sama lain juga.

Namun pada akhirnya, Turki sangat bergantung pada NATO untuk urusan militer, dan juga memiliki jaringan ikatan dengan negara-negara NATO untuk urusan ekonominya. Dari krisis lira kali ini, kita dapat melihat bahwa para pemimpin Prancis dan Jerman secara berurutan menyatakan bahwa mereka akan mendukung Turki dalam menstabilkan situasi ekonominya.

Aspek lain, sejak awal tahun, ketika AS terus memberikan konsesi ke Turki dalam isu Kurdi, dapat dilihat bahwa Amerika tahu di mana kepentingan strategis jangka panjang AS berada.

Jadi, meskipun mereka tampaknya dipermukaan berada dalam pertarungan yang sengit, di bawahnya, sangat tidak mungkin kedua negara akan putus.

Mudah-mudahan masalah Kurdi ini bisa juga menjadi cerminan bagi kita Indonesia ...

Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri

***

cnbc.com
lastampa.it
al-monitor.com
dailysabah.com
nytimes.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun