Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Taruhan Trump untuk Mengubah Tatanan Tata Kelola Global

3 Juli 2018   13:23 Diperbarui: 3 Juli 2018   13:38 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini berita AS menarik diri dari kelompok-kelompok organisasi dan kesepakatan internasional sering terdengar.

Bulan lalu AS mengumumkan menarik diri dari perjanjian nuklir Iran, sebelum gelombang ini mereda, kini mengumumkan penarik diri dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UN Human Rights Council).

Mengapa AS "mengayunkan tongkat besar" melawan Dewan HAM PBB ini dan tidak mau berpartisipasi?

Pada 19 Juni, waktu setempat, Menlu AS Mike Pompeo dan Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley mengadakan konferensi pers yang mengumumkan bahwa AS akan mengundurkan diri dari Dewan HAM PBB.

Zbigniew Brzezinki, seorang ahli strategi AS terkenal menuliskan dalam "The Grand Chessboard" yang membandingkan politik internasional seperti "papan catur strategi besar (grand chessboard of strategy)"  dengan mengatakan setiap terjadi bagian yang hilang membutuhkan strategi lain, dan akan mempengaruhi situasi global saat itu.

Sejak Presiden Trump menjabat dan memberlakukan kebijakan "America First", telah menarik diri dari TPP, Perjanjian Paris, UNESCO, "Global Compact for Migration," Perjanjian nuklir Iran, organisasi serta kesepakatan internasional lainnya.

Apa alasan AS menarik diri dari kesepakatan dan organisasi internasioanl ini dan mengambil kembali "langkah-langkahnya"? Tidakkah langkah-langkah ini akan menyebabkan mimpi-mimpi AS akan menjadi ilusi belaka? Marilah kita lihat dari perkembang langkah-langkah AS akhir-akhir ini.

Menlu AS, Mike Pompeo mengatakan: Dewan (HAM PBB) terus saja dan mendokumenatasi melawan Israel. Sejak pembentukan dewan ini mereka telah mengadopsi lebih banyak resolusi yang mengutuk Israel daripada melawan bagian dunia lainnya.

Dewan HAM PBB dibentuk pada Maret 2006 oleh Majelis Umum PBB sebagai lembaga antar pemerintah dalam sistem PBB. Yang terdiri dari 47 negara anggota dan bertanggung jawab untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia di seluruh dunia.

Baru-baru ini, organisasi ini mulai melakukan proses pemungutan suara internal untuk penyelidikan pembantaian yang terjadi di kawasan Jalur Gaza, dimana Israel telah menggunakan kekuatan yang berlebihan.

AS dan Australia adalah satu-satunya dua negara yang menentang ini. Setelah itu, Duta Besar Israel untuk PBB di Jenewa Aviva Raz Shechter mengatakan bahwa perilaku dewan adalah "menyebarkan kebohongan terhadap Israel."

Menlu Rusia Sergey Lavrov percaya bahwa alasan AS untuk menarik diri dari Dewan HAM PBB karena tidak tahan untuk dicermati. Ia percaya bahwa keputusan yang dibuat oleh Dewan HAM PBB konsisten dengan keputusan Dewan Keamanan PBB untuk menangani konflik Palestina-Israel.

Rangkaian resolusi yang dibuat mengenai isu Palestina-Israel sesuai dengan realitas obyektif kawasan Timur Tengah, dan telah mendapat persetujuan dari mayoritas negara-negara.

Sergey Lavrove mengatakan: Seperti kita ketahui AS dipercaya bahwa dirinya sebagai juara di bidang hak asasi manusia. Jika ini benar-benar terjadi, seharusnya ada alasan untuk tetap berada di Dewan Hak Asasi Manusia, dan harus dapat bekerja sama dengan negara-negara yang memiliki pendapat tentang masalah hak asasi manusia yang berbeda dari AS.

Selain itu, waktu penarikan diri AS ini perlu direnungkan, karena pemerintah Trump sedang dalam badai opini publik untuk "kebijakan pemisahan keluarga (family separation policy)."

(Kejadian di perbatasan AS dan Meksiko, dan adegan semacam ini telah sering terjadi baru-baru ini.  Ini sebagian rekaman adegan memilukan dalam peradaban manusia modern kini: Darimana asalmu? El Salvador. Dan kau? Guatemala. Jangan menangis. Saya ingin pergi dengan bibi saya. Anda akan sampai di sana. Dia akan menjelaskannya kepada Anda, dan membantu Anda. Saya ingin papa saya.)

Anak-anak dalam rekaman semua datang bersama orang tua mereka dari Amerika Tengah dan Selatan untuk secara ilegal memasuki AS melalui Meksiko. Alasan mereka menangis adalah karena setelah mereka memasuki AS, mereka dipaksa berpisah dari orang tua mereka oleh petugas Patroli AS, dan ditempatkan di lokasi yang berbeda.

Menurut statistik dari Departemen Dalam Negeri dan Keamanan AS, dalam enam minggu berlakunya kebijakan "nol toleransi (zero tolerence)"  pada akhir Mei, 1.995 anak-anak telah dipaksa berpisah dari keluarga mereka.

Kebijakan Trump ini telah dikritik habis oleh dunia luar. Bahkan sekutu tradisional AS telah mengecam pemerintah AS untuk ini.

Justin Trudeau, PM Kanada menyatakan: Apa yang terjadi di AS itu salah. Saya tidak dapat membayangkan apa yang dialami keluarga yang ditahan selama ini. Tentunya ini bukan cara kita melakukan hal-hal itu di Kanada.

Theresa May, PM Inggris mengatakan:

Gambar-gambar anak-anak yang ditangkap dan disekap di tempat yang tampak seperti kandang sangat mengganggu. Ini salah.

Namun, ketika dunia sedang membahas "kebijakan memisah keluarga" pemerintah Trump mengumumkan mereka mundur dari Dewan HAM PBB.

Brian Becker, seorang analis politik AS mengatakan: AS memiliki catatan standar ganda yang mengerikan. Saya akan mengatakan kemunafikan, ketika menyangkut hak asasi manusia. Saya ingin mengambil negara-negara tertentu yang ditargetkan oleh AS, kadang-kadang karena untuk perubahan rezim, dan menyoroti pelanggaran hak asasi manusia, sementara teman-teman AS, atau sekutu-sekutunya, atau AS sendiri, mereka tidak mengatakan apa-apa tentang hak asasi manusia.

Dua bulan sebelum masalah ini muncul, pada 20 April, pada waktu setempat, Departemen AS merilis "Laporan Negara 2017 tentang Praktik Hak Asasi Manusia," yang menyebut Rusia, Tiongkok, negara-negara DPRK dan Iran bahwa "secara moral harus dihukum karena melakukan pelanggaran berat tentang hak asasi manusia," dan mengatakan mereka adalah "kekuatan ketidakstabilan."

Opini publik percaya bahwa sudah untuk waktu yang lama, AS telah mengambil "pendekatan bayangan (shadowy apparoach)" untuk isu-isu hak asasi manusia dan telah mengayunkan "tongkat besar hak asasi manusia" dalam kecaman untuk negara-negara lain, sementara mengabaikan isu hak asasi manusia yang ada di negara AS sendiri.

Menurut Philip Alston, UN's Special Rapporteur on Extreme Poverty and Human Rights (Pelapor Khusus PBB untuk Kemiskinan Ekstrim dan Hak Asasi Manusia) mengatakan: "Pada tahun 2016, sudah ada 40  juta orang Amerika hidup dalam kemiskinan, dan 18 juta dari mereka yang hidup dalam kemiskinan ekstrim."

Data ini berasal dari laporan tentang isu-isu hak asasi manusia di AS yang diajukan oleh Philip Alston, Pelaporan Khusus untuk Kemiskinan Ekstrim dan Hak Asasi Manusia yang ditunjuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

Barian Becker mengatakan: "Kita dapat melihat bagaimana cara AS memperlakukan aturan dan peraturan internasional dan undang-undang bahwa mereka sangat selektif dalam cara mereka menerapkannya. Pemerintahan Trump, dengan "Amerika Frist," sebenarnya mengatakan kepada seluruh dunia bahwa AS tidak akan mematuhi aturan dan regulasi serta hukum yang sama yang harus dipatuhi oleh negara-negara lain di dunia."

Para ahli percaya di mata pemerintahan Trump, sistem multilateral dan bentuk organisasi internasional setelah Perang Dunia II harus digunakan jika sesuai dengan kepentingannya, atau ditinggalkan jika sebaliknya.

AS percaya bahwa Dewan HAM PBB tidak sesuai dengan tuntutan strategisnya. Sebenarnya, AS saat ini melihat banyak organisasi internasional seolah-olah mereka itu hanyalah alat. Mereka akan menciptakan sebuah organisasi, dan menggunakannya jika sesuai dengan kepentingan nasionalnya, dan bahkan akan mendanai, tetapi jika organisasi ini mulai menjadi independen, dan tidak sesuai dengan kepentingan AS, mereka akan menarik diri keluar.

Manuver Trump Sejak Menjabat Presiden AS

Jika kita mengamati berbagai keputusan yang dibuat oleh Trump sejak ia berada di Gedung Putih, mudah untuk melihat bahwa "sikap menarik diri" tampaknya telah menjadi tema utama dari kebijakan luar negeri AS.

Dalam satu tahun lebih sejak Trump menjabat, AS mengumumkan penarikan diri dari enam organisasi internasional dan perjanjian multilateral seperti TPP, Perjanjian Paris, UNESCO, "Global Compact for Migration," perjanjian nuklir Iran, dan Dewan HAM PBB.

Trump bahkan pernah mengancam akan mundur dari G7 dan WTO atau Organisasi Perdagangan Dunia. Beberapa ahli bercanda bahwa berdasarkan tren saat ini, suatu hari, tidak mengherankan jika AS menarik diri dari PBB.

Jadi, alasan apa yang menjadi latar belakang "kecanduan" AS untuk menarik diri?

Pada 1 Juni 2017, Presiden AS Trump mengumumkan penarik diri AS dari Perjanjian Paris, mengklaim bahwa Kesepakatan Paris tidak banyak hubungannya dengan perubahan iklim, melainkan lebih banyak negara-negara lain yang mengambil keuntungan dari ekonomi AS.

Sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia, penarikan AS dari Perjanjian Paris akan berdampak besar pada model pemerintah yang digunakan dunia untuk menangani pemanasan global, dan membuat kita melihat akan adanya perubahan signifikan di negara yang paling kuat ini di dunia dari perspektif yang berbeda-beda.

Di belakang penarikan Trump dari "Perjanjian Iklim Paris" menjadi isu penting dalam struktur ekonomi. Bagi pendahulunya pemerintahan Obama sangat menghargai ekonomi hijau, termasuk pengembangan energi baru, tetapi pemerintahan Trump dan pemerintahan Republik jelas mewakili kelompok kepentingan untuk energi lama. Karena pendukung dia adalah sejumlah besar kelompok keuangan yang berasal dari perusahaan besar dan perusahaan energi.

Selain itu, basis pemilih Trump berasal dari tempat-tempat seperti tambang batubara, jadi pada kenyataannya, ia mungkin melihat ini sebagai manfaat restorasi dan pertumbuhan ekonomi AS dalam jangka pendek, tetapi ketika berhadapan dengan perubahan iklim, keputusan AS saat ini sebenarnya berbalik arah.

Selain menarik diri dari Perjanjian Paris, serangkaian penarikan AS telah menunjukkan "America First" dan unilateralisme dalam kebijakan luar negeri pemerintaahn Trump.

Sebagai seorang pebisnis elit, Trump sangat piawai dalam seni kesepakatan, dan menekankan transaksi "murah, memberi untung tinggi". Dia percaya bahwa multilateralisme dapat membatasi AS, dan karena itu lebih condong ke unilateralisme atau kerjasama bilateral.

Kebijakan luar negeri utama AS sebisa mungkin menggunakan sedikit sumber daya untuk memaksimalkan kepentingannya. Analis dan pengamat rasa ini adalah tujuan kebijakan luar negeri AS yang menggunakan unilateral, dan tidak menggunakannya dalam kesempatan multilateral, karena dalam situasi multilateral, efisiensinya cukup rendah.

AS mungkin sudah mengeluarkan banyak upaya untuk mempromosikan sesuatu di PBB, tetapi tidak dapat menyelesaikannya sama sekali, sehingga memutuskan untuk melakukannya secara unilateral atau sepihak. Ambil saja seperti isu nuklir DPRK (Korut) sebagai contoh, AS ingin melakukan tekanan maksimum dengan menggunakan perang dagang untuk menekan langsung pada negara-negara ini.

Pada kenyataannya, dilihat dari pengalaman AS terdahulu yang melakukan  unilateralisme dalam kebijakan luar negeri telah menjadi "tradisi" dari Partai Republik. Selama pemerintahan George W. Bush, AS memboikot Dewan Hak Asasi Manusia PBB selama tiga tahun dengan alasan bahwa Dewan ini dipenuhi dengan musuh-musuh Israel sebagai alasannya, hingga tahun 2009, baru kembali masuk organisasi ini ketika pemerintahan Obama.

Partai Republik biasanya selalu memiliki elemen yang jelas untuk unilateralisme, Demokrat memiliki sentimen kuat multilateralisme. Pemerintahan George W. Bush juga mengundurkan diri dari UNESCO, dan Dewan Hak Asasi Manusia PBB, dan menentang pembentukan Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

Maka untuk isu ini, Trump telah membuat terobosan tajam dari pemerintahan Demokrat (pemerintahan Obama). Tapi sebenarnya, pemerintahan Trump cukup terhubung dengan pemerintahan George W. Bush untuk isu ini, dan mereka menunjukkan nada unilateralisme yang cukup nyata.

Sumber: Illustration by Tim O'Brien for "TIME."
Sumber: Illustration by Tim O'Brien for "TIME."
Ini adalah sampul edisi baru-baru ini dari majalah "Time", Trump mengenakan setelan jas dengan mahkota saat dia melihat ke cermin, tampak anggun. Judulnya adalah "King Me."

Perilaku penarikan diri AS dari berbagai organisasi diatas sebenarnya mencerminkan semacam kesombongan atas kekuatan AS. Kita tahu bahwa AS saat ini merupakan saru-satunya adidaya di dunia, negara yang memiliki kekuatan komprehensif terbesar.

Analis memperkirakan, pemerintah Trump merasa memiliki kekuatan yang menakjubkan, dan presidennya adalah Trump. Dia berpikir bagaimana menggunakan kekuatannya ini? Ini tampaknya gelaja ini yang menjadi isu utama bagi seseorang yang berkuasa di AS.

Jadi bagi pemerintah Trump satu hal yang nampak sangat jelas adalah kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuatan yang dimilikinya, aku adalah bos dengan kekuatan besar, jadi apa yang bisa orang lain lakukan?

Beberapa pendapat percaya bahwa marginalisasi "diplomasi berbasis nilai (value-based diplomacy)" juga merupakan salah satu alasan AS di bawah Trump yang telah menarik diri dari begitu banyak badan-badan internasional.

"Diplomasi berbasis nilai" AS mengacu pada metode kebijakan luar negeri AS yang mencerminkan dengan dipandu untuk mencari nilai-nilai ideologis dan demokrasi, dan hak asasi manusia dalam pelaksanaan kebijakan luar negerinya untuk mempertahankan dan mengembangkan kepentingan strategis internasional dan basis-nilai yang berdasarkan kepentingan dan mempertahankan posisi hegemoniknya.

Diplomasi Berbasis-Nilai

Sudah lebih dari 100 tahun sejak Presiden Woodrow Wilson --- diplomasi berbasis nilai telah menjadi tema utama kebijakan luar negeri AS.

Dari sini kita mengilustrasikan, bahwa Trump tidak tertarik pada kebebasan. Dia adalah seorang pengusaha, dan begitu menekankan kepentingan praktis, dan nilai-nilai universal dalam kebijakan luar negeri AS, yang berarti bahwa ideologi masih menduduki proporsi yang cukup tinggi, tetapi bahwa orang ini, tokoh politik kunci ini tidak terlalu tertarik pada nilai semacam ini, jadi dalam kebijakannya, nilai-nilai universal dan ideologi menempati proporsi yang lebih rendah. Demikian menurut pandangan analis.

Tanpa sentimen diplomatik ideal, konsep altruisme (tidak perduli kepentingan pihak lain), upaya pemerintah Trump untuk meraih keuntungan dalam menangani urusan internasional lebih nyata, dan ia memiliki realisme yang lebih menonjol. Hal ini menyebabkan dia menarik diri dari berbagai perjanjian dan organisasi internasional dengan tanpa merasa tidak nyaman sedikit pun.

Kebijakan luar negeri AS telah secara cerdas menggabungkan nilai dengan kepentingan. Dalam hal ini lebih mempertimbangkan banyak nilai-nilainya,  dengan mempromosikan nilai-nilai untuk dapat mencapai kepentingannya, tetapi pemerintahan Trump jelas menjauh dari tradisi ini. Dan hal ini benar-benar terjadi.

Pemerintahan Trump hanya berbicara tentang minat dan kekuasaan. Misalnya, ketika mereka berbicara tentang negara lain, jika Trump percaya bahwa mereka tidak ingin mempelajari nilai-nilai mereka, dan ingin bertahan dalam nilai-nilai mereka sendiri, maka dia akan membiarkan mereka bertahan, dan AS mungkin tidak akan menghabiskan sumber daya keuangan, sumber daya manusia, dan materi untuk mengganggu dan mengubah negara itu, tetapi jika mereka mau mempelajari nilai-nilai AS, tentu itu bagus. Ini telah menunjukkan kecenderungan yang cukup jelas terhadap realisme.

Jadi harus dikatakan bahwa diplomasi berbasis nilai AS tidak terlalu jelas pada pemerintahan Trump.

Mimpi AS mungkin dengan cepat akan menjadi ilusi AS.

Pada 22 Juni lalu, dari laporan lapangan tentang hak asasi manusia AS dari Pelaporan Khusus untuk Kemiskinan Ekstrim dan Hak Asasi Manusia Philip Alston menunjukkan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh 1% orang terkaya di AS terus meningkat, dan kekayaan dan tingkat penghasilan 99% dari populasi secara umum telah menurun selama 25 tahun terakhir --- ketidaksetaraan sosial di AS meningkat, yang telah menyebabkan meningkatnya populisme di AS.

Sumber: www.theguardian.com
Sumber: www.theguardian.com
Selama 30 atau 40 tahun, neoliberalisme lazim di Inggris dan AS, dan neo-liberalisme terutama menekankan persaingan bebas, dengan persaingan bebas ini tentu akan terjadi perbedaan, yang hasil akhirnya sangat pasti para elit yang kuat dengan kekuatan kompetitif yang kuat yang berhasil mengatur negara.

Jadi, setelah lebih dari 30 tahun neo-liberalisme, para elit telah berhasil memperoleh tumpukan berjibun-jibun uang, dan kelas menengah tidak menghasilkan uang.  Tapi ketika negara berada dalam kondisi baik, konflik tidak terlalu nyata, tetapi setelah krisis keuangan pada tahun 2008, hal itu mengakibatkan kemarahan di kalangan masyarakat umum, terutama kelas menengah dan kelas menengah bawah, dan kemarahan ini menjadi yang sekarang dikenal sebagai populisme.

Beberapa analis percaya bahwa mengapa Trump mampu mengalahkan Kandidat Demokrat Hillary Clinton, karena Trump meraih "mayoritas diam (silent majority)" di masyarakat AS.

Baru-baru ini, jajak pendapat publik yang dirilis oleh perusahaan jajak pendapat publik AS Gallup menunjukkan bahwa peringkat persetujuan Trump telah meningkat kembali menjadi 45%, yang merupakan peringkat persetujuan tertinggi sejak ia menjabat presiden.

Munculnya populisme di AS menyebabkan Trump terpilih, dan kenapa Trump terpilih adalah karena kepribadian dan kebijakannya melayani sentimen para populis.

Mereka saling meningkatkan satu sama lain. Di masa lalu, seorang filsuf Jerman mengemukan teorinya bahwa jika rakyat adalah 0. Dalam data, mereka adalah 0, dan harus ada satu orang yang merupakan 1, karena meskipun terdapat tak terhitung banyaknya 0,  andaikata ditambahkan bersama-sama masih tetap juga 0. Dia mengatakan bahwa jika 0 yang tak terhitung jumlahnya memiliki 1 saja di depan mereka, itu adalah jumlah yang luar biasa besar.

Sekarang, Trump sudah sangat cerdik mengendalikan pikiran mereka, dan membantu mereka mengutarakan ide-ide mereka, sehingga mereka bersatu di bawah panji-panjinya. Biasanya, populis suka mengambil sikap keras secara diplomatis, dan orang-orang ini sangat frustrasi dan tidak senang dengan membelanjakan uang untuk kepentingan internasional, jadi para pendukungnya benar-benar mendukung tindakannya.

"Diplomasi yang tidak kooperatif" demikian "Der Spiegel" Jerman mengomentari untuk hal ini.

Sejak Trump menjabat presiden, kebijakan luar negerinya dipandu oleh penghapusan berbagai perjanjian multilateral. Sebagai pemimpin dari tatanan internasional akankah "kebijakan penarikan diri" AS dalam kerja sama internasionalnya menyebabkan efek kupu-kupu dalam politik internasional dan ekonomi?

Sumber: time.com
Sumber: time.com
Ini adalah gambar KTT G7 tahun ini yang dipublikasikan Kanselir Jerman Angela Merkel di situs media sosialnya. Ini menyebabkan ledakan komentar publik setelah dirilis.

Majalah mingguan "Focus" Jerman menunjukkan bahwa gambar ini menjadi gambaran simbolis dari KTT G7 tahun ini sebagai "G6 melawan 1."

Pertemuan G7 tahun ini telah dikatakan oleh dunia luar sebagai pertemuan puncak internasional yang paling terpecah belah dalam sejarah.

AS menolak untuk menandatangani komunike pada titik akhir, yang mencabik-cabik kesatuan superfisial dari hasil-hasil yang mempertahankan KTT G7.

Sebenarnya, bagi pihak yang mungkin telah terpukulan lebih besar mentalnya adalah para sekutu AS. Bagi sekutu AS, gen strategis tradisional mereka adalah sama. Mereka percaya bahwa nilai-nilai mereka benar, bahwa tatanan saat ini baik, bahwa tren multilateralisme saat ini sesuai dengan arus utama, dan globalisme itu sesuai dengan arus utama.

Tetapi apa yang terjadi, negara yang telah memimpin mereka kini mengundurkan diri, yang menyebabkan keretakan dalam masyarakat Barat dan antara negara-negara Barat.

Dikarenakan keretakan dengan sekutu tradisional terus memburuk, AS mungkin akan terus menarik diri dari lebih banyak kelompok-kelompok dan kesepakatan-kesepakatan dengan kecepatan yang tidak dapat distop.

Para ahli memperkirakan bahwa penarikan AS berikutnya kemungkinan akan terjadi pada Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).

Pada pertengahan Mei, AS terlibat dalam putaran dialog baru dengan anggota NAFTA lain, Kanada dan Meksiko, dan ingin merevisinya dengan kondisi yang menguntungkan bagi AS. Tetapi negosiasi berakhir dengan tidak menyenangkan dan tanpa hasil. Sedang waktu negosiasi berikutnya masih belum ditetapkan.

Jadi banyak sentimen publik di AS telah memprediksi bahwa Trump mungkin akan menarik diri dari NAFTA dalam penarikan diri berikutnya. Tampaknya sesungguhnya, dia memiliki ancang-ancang atau timeline bahwa jika dia tidak mencapai kesepakatan baru dalam setahun, maka dia akan menarik diri, dan berdasarkan negosiasi saat ini, dia pasti tidak akan mencapai kesepakatan, jadi itu adalah probabilitas yang sangat tinggi bahwa dia akan menarik diri.

Selama ini, AS selalu membanggakan tentang "kepemimpinannya", bahwa AS adalah pemimpin, atau jika Anda menyebutnya dengan istilah lain, itu adalah hegemoni. Dalam bahasa Inggris, "hegemony" sebenarnya bukanlah kata yang sangat negatif.

Secara fundamental, hegemoni AS tidak sama dengan hegemoni masa lalu. Amerika menyebut diri mereka sebagai "hegemon sistemik", bahwa AS telah menggunakan sistem internasional untuk mencapai hegemoni.

Tetapi sekarang, perilaku pemerintah AS menghancurkan hegemoni sistemik ini, dan kembali ke metode asli untuk mencapai hegemoni melalui kekuatan --- bahwa mereka memiliki kepalan yang lebih kuat, atau lengan yang lebih kuat, sehingga setiap orang harus mendengarkannya. Demkian pandangan dari analis dunia luar.

Beberapa analis telah mengklaim bahwa apa yang diinginkan oleh pemerintah Trump sebenarnya adalah mengabaikan "tanggung jawab dan tugas" AS se-bisa mungkin, mengabaikan apa yang dapat dilakukannya, meneruskan apa yang bisa, dan memilih apa yang bisa, untuk mengurangi biaya dan yang langsung bisa mendapatkan hasil dari yang diinginkan.

Perlu dicatat bahwa dalam hal ini mengurangi tanggung jawab, hal ini tidak menunjukkan bahwa kemampuan dan kemauan AS untuk mengambil bagian dalam tata kelola tatanan global akan menurun.

Meskipun Trump telah dicap sebagai "anti-globalis" sejak menjabat presiden, beberapa analis percaya bahwa pemerintahan Trump sebenarnya "ingin menggantikan aturan dengan kekuatan, dan globalisme dengan Amerikanisme."

Mereka kira AS tidak hanya akan  mengambil bagian dalam tata kelola tatanan global. Hal itu dianggap tidak masalah. Tapi AS bertindak menentang model tata kelola global, dan meninggalkannya dikarenakan alakan mencari metode tata kelola global yang baru. Misalnya, bagaimana untuk mengatur sistem perdagangan global? Apakah akan mengelolanya melalui kerangka kerja global WTO? Atau melakukannya dengan "mengalahkan" satu mitra dagang satu demi satu untuk mencapai pengaturan perdagangan yang terlihat masuk akal dari perspektif AS? Bukankah itu bentuk tata kelola? Bukankah itu bentuk tata kelola sistem perdagangan? Ini adalah bentuk tata kelola yang berbeda.

Jadi, apa metode "baru" yang digunakan AS untuk terlibat dalam tata kelola global? "Jika Dewan mulai mereformasi, AS dapat mempertimbangkan untuk kembali ke sana." Ini adalah ruangan yang diluangkan oleh pemerintahan Trump untuk AS ketika secara sepihak mengumumkan penarikannya diri dari Dewan HAM PBB. Demikian menurut analisis dari beberapa analis dunia luar.

Ada pepatah yang mengatakan, seseorang tidak boleh menyesali keputusan yang pernah dibuat, tetapi itu jelas bukan gaya Trump. Tampaknya menyesali dan membuat keputusan baru menjadi pola normal untuk pemerintahan Trump.

Pada 27 Januari tahun ini, waktu setempat, Trump pernah mengatakan dalam suatu wawancara, bahwa dia adalah "orang yang percaya dengan udara dan air yang bersih," meskipun dia telah menyatakan itu, tapi bertindak justru "sepenuhnya bertentangan" dengan Perjanjian Paris, selanjutnya Trump mengatakan bahwa AS mungkin mencari jalan untuk kembali pada Perjanjian Paris. Pernyataan ini dikemukakan dalam kurun waktu kurang dari enam bulan setelah dia dengan berani mengumumkan penarikan diri AS dari Perjanjian Paris.

"Guardian" Inggris melaporkan bahwa AS dapat kembali ke Perjanjian Paris,  tetapi kondisinya adalah "kesepakatan yang sama sekali berbeda."

Kini AS berusaha mengubah tatanan internasional dengan "menarik diri" darinya. Tatanan internasional yang sekarang ada sebenarnya didirikan setelah Perang Dunia II, dan sangat sukses setelah Perang Dingin berakhir, sekarang tampaknya memiliki masalah besar menurut pendapat AS. Mereka berpikir bahwa itu perlu direformasi dan mengubahnya.

Namun AS mungkin tidak memiliki cetak biru yang lengkap apa yang harus dilakukan untuk mereformasi dan mengubahnya, tetapi analis dan pengamat pikir melihat dengan cukup jelas bahwa mereka terlebih dahulu menarik diri darinya, tanpa mempunyai apa pun untuk menggantikannya, dan itu diharapkan akan bertindak dengan sendirinya. Jika dengan itu bisa dibangun sedikit, di masa depan, dan diharapkan sesuatu yang baru dapat muncul --- organisasi multilateral baru atau organisasi multilateral kecil kemungkinan akan muncul.

Jadi menurut beberapa analis ini telah mencerminkan semacam pengakuan atau keinginan untuk mengubah tatanan internasional oleh lingkaran diplomatik dan strategis AS.

Namun, beberapa ahli percaya bahwa metode penarikan diri ini untuk memacu perubahan dan penghancuran, dengan tujuan untuk menciptakan sesuatu yang baru pada dasarnya adalah "pertaruhan" dari pemerintahan Trump.

Perilaku ini tampaknya berjudi. Dia mengintimidasi orang lain untuk mereorganisasi berdasarkan keinginannya. 

Sehingga, sulit untuk mengatakan apakah Trump dapat mencapai tujuan ini. Perjudiannya mungkin terbayar, karena orang takut dengan kekuatan AS, sehingga ada kemungkinan bahwa AS ditinggalkan, dan kemudian mereorganisasi kelompok internasional baru, dan banyak negara berduyun-duyun ke sana.

Tetapi masih ada kemungkinan bahwa ini berbahaya baginya, bahwa begitu AS menarik diri, tidak ada yang mengikutinya, dan semua pihak tetap berada di sistem tempat mereka berada, dan mengaturnya dengan baik.

Hari ini, Dewan HAM PBB masih beroperasi secara normal tanpa AS. Pada 20 Juni lalu, waktu setempat, Vojislav Suc, Presiden Dewan Hak Asasi Manusia PBB, mengatakan di Jenewa bahwa Dewan Hak Asasi Manusia akan memilih anggota baru sesegera mungkin sesuai prosedur terkait untuk menggantikan AS, yang mengumumkan penarikannya dari Dewan tersebut.

Dan setelah AS mengumumkan penarikannya dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Rusia dengan cepat mengajukan aplikasi untuk mengambil tempatnya.

"Apakah AS secara otomatis menarik diri dari urusan dunia atau karena pihak lawan yang tiba-tiba sukses meningkat berkembang, kedua keadaan ini akan sangat mengganggu tatanan dunia. Kenyataannya, ini akan dengan cepat mengarah ke arah kekacauan global." Ahli strategi geopolitik AS Zbiniew Brzezinki membuat prediksi ini 20 tahun lalu.

Dengan pemerintahan Trump terus "mengambil kembali gerakannya" di papan catur tata tertib dunia, apakah akan menghancurkan tatanan intersional saat ini?

Trump telah menarik diri dari banyak kesepekatan dan oraganisasi kelompok internasional selama satu tahun menjabat presiden AS, sehingga menyebabkan ketidakpastian di lingkungan internasional. Banyak ahli di Eropa dan AS mengulangi frasa bahwa satu-satunya hal yang pasti adalah ketidakpastian, dan ini sebagian besar disebabkan oleh AS.

Perilaku yang dilakukan AS, yang dipilih pemerintahan Trump telah mempercepat proses penyesuaian tatanan internasional. Untuk sebagian besar, AS memainkan peran destruktif.

Dihadapkan dengan kenyataan ini, kita akan melihat kemampuan masing-masing negara untuk menanggapi tantangan ini. Dihadapkan dengan tantangan besar seperti itu, tantangan secara alami menimbulkan ancaman bagi kita, tetapi pada saat yang sama, itu juga dapat memberi kita peluang. Bagaimana kesiapan Indonesia yang kini sedang sibuk dengan "perebutan kekuasaan" dalam "tahun politik" ini, sudahkah mengantisipasi situasi global ini?

Jadi apa yang harus diselesaikan? Misalnya, ketika menyangkut Indonesia yang telah terpilih sebagai anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap PBB, dan beberapa kekuatan besar lainnya, tentu saja, bagaimana seharusnya mereka melakukan transisi dalam proses ini dan dapat memanfaatkan peluang ini untuk mendorong tatanan internasional di masa depan untuk berkembang dalam arah yang lebih adil dan lebih rasional, dan untuk secara aktif mereformasi tata tertib dan tata kelola saat ini untuk lebih melengkapi dan membangunnya untuk membuat tata tertib dan tata kelola global ini lebih baik beradaptasi dengan kenyataan? Marilah kita sama-sama amati dan harapkan yang terbaik....

Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri

1   2  3  4  5 6  7  8  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun