Dari 24-25 Mei, dalam 24 jam, dan terus berlanjut hingga hari ini situasi Semenanjung Korea mengalami pasang surut seperti roller coaster.
Pada hampir jam 10 pagi pada 24 Mei, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa karena adanya "permusuhan terbuka" yang baru-baru ini diungkapkan oleh DPRK, dia memutuskan untuk membatalkan pertemuan dengan Kim Jong-un.
Pengumuman Trump ini hanya sekitar 6 jam setelah pembongkaran Situs Uji Nuklir Punggye-ri.
Dalam surat terbuka Trump kepada Kim Jong-un yang dirilis Gedung Putih, Trump memang sangat berkeinginan untuk bertemu dengan Kim Jong-un tetapi dengan "kemarahan luar biasa dan permusuhan terbuka" yang ditampilkan oleh DPRK baru-baru ini, dia percaya itu tidak pantas untuk mengadakan pertemuan yang sudah direncanakan lama saat ini.
Trump mengatakan: Dialog hingga baru-baru ini  sangat bagus, dan saya pikir saya mengerti mengapa itu bisa terjadi. Kenapa begitu? Saya tidak akan mengatakan itu. Suatu hari saya akan memberitahukannya kepada Anda, Anda dapat menulisnya di sebuah buku.Â
Tetapi saya benar-benar percaya kami memiliki peluang besar. Kami akan melihat apakah peluang itu diambil oleh Korea Utara atau tidak. Jika itu, bagus untuk mereka, dan bagus untuk dunia, jika tidak ya akan baik-baik sajalah. Terima kasih banyak.
Sehubungan dengan surat terbuka dadakan AS, DPRK membuat tanggapan cepat. Menurut laporan dari Kantor Berita Pusat Korea, Wakil Menlu DPRK Kim Kye-gwan menyatakan pada 25 Mei bahwa DPRK dan para pemimpin AS sangat perlu untuk bertemu, dan Pemimpin Tertinggi DPRK Kim Jong-un telah berusaha sekeras mungkin untuk membuat pertemuan dengan Presiden AS Trump terjadi, tetapi AS mengumumkan pembatalan pertemuan, itu bertentangan dengan keinginan seluruh dunia.
Situasi kemudian berubah secara dramatis. Dalam waktu kurang dari 24 jam setelah Trump mengumumkan penghentian KTT Trump-Kim yang dijadwalkan pada 12 Juni, pada 25 Mei, Presiden AS Trump mengatakan bahwa dialog dengan DPRK sedang dilakukan dan KTT DPRK-AS dapat diadakan seperti yang dijadwalkan pada bulan Juni.
Pengamat melihat hal ini terjadi karena, kedua pihak belum mencapai konsensus tertentu tentang jadwal tertentu dan apa yang harus dibicarakan, maka dari itu mereka belum menyiapkannya dengan baik. Selain itu, untuk isu-isu seperti bagaimana cara menghapuskan senjata nuklir dan rudal-rudal di masa depan, kedua pihak belum mencapai konsensus.
Sedang di AS sendiri ada semacam kritik yang menegaskan bahwa Trump telah berjalan terlalu jauh. Seperti yang kita bisa melihat bahwa tidak ada pemimpin Amerika dalam sejarah yang pernah berbicara dengan pemimpin DPRK secara langsung, karena mereka masih dalam keadaan situasi perang.Â
Karena kita semua tahu saat ini perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani, AS dan DPRK masih dalam kondisi situasi perang dan mereka tidak pernah mencapai kesepakatan damai. Maka pengamat melihat dari aspek persiapan, percaya kedua belah pihak belum mempersiapkannya dengan baik.
Karena KTT AS-DPRK terutama berhubungan dengan peduli dan masa depan akan Semenajung Korea, maka sejak awal sudah menjadi perhatian seluruh dunia.
Pemimpin Tertinggi DPRK Kim Jong-un tampaknya telah memenuhi semua janji yang dia buat agar pertemuan ini terjadi. Dialog menjadi jalur yang diperlukan untuk menyelesaikan isu nuklir DPRK, dan Rusia berharap bahwa pertemuan antara pemimpin AS dan DPRK dapat dicapai pada akhirnya.
Guterres, Sekretaris Jenderal PBB menyerukan: Saya mendesak kedua pihak untuk melanjutkan dialog, untuk mencari metode dalam mencapai perdamaian dan denuklirisasi yang dapat diverifikasi di Semenanjung Korea.
Lu Kang juru bicara Menlu Tiongkok menyatakan: Posisi pemerintah Tiongkok dalam isu semenanjung ini sangat jelas dan konsisten. Kami percaya bahwa sebagai pihak yang relevan dari masalah nuklir Semenanjung, KTT DPRK-AS akan memainkan peran penting dalam mempromosikan proses denuklirisasi Semenanjung. Dalam situasi saat ini, kami sangat berharap DPRK dan AS akan menghargai kemajuan positif yang telah dibuat selama ini.
Menurut situasi saat ini, baik dari pernyataan Trump atau dari tanggapan pemerintah DPRK, sangat mungkin kedua belah pihak akan terus menjalin kontak dan bahkan mengadakan pertemuan puncak.Â
Tetapi pengamat mengharapkan kedua belah pihak harus mempertimbangkan kembali orientasi strategis mereka sendiri dan mempertimbangkan kembali sejauh mana mereka dapat berkompromi, membuat konsesi dan harga untung rugi yang harus dibayar.
Misalnya, apakah DPRK harus memaksa AS dan ROK menghentikan latihan militer berskala besar, karena latihan semacam itu telah diadakan di kawasan ini selama bertahun-tahun.Â
Jika mereka benar-benar menghentikan dengan tiba-tiba suatu hari di masa depan, analis dan pengamat yakin Trump tidak bisa membuat keputusan juga. Dia harus secara bertahap membuat beberapa anggota kongres konservatif di AS, termasuk mereka yang ada di Capitol AS, mau menerima kenyataan seperti itu.
Demikian juga dengan DPRK akan seperti AS, tidak mungkin DPRK mau menghapuskan sepenuhnya semua senjata nuklir dan teknologi rudalnya. Hal itu akan melalui proses panjang.Â
Maka dari itu baik bagi AS dan DPRK harus mau duduk bersama dan membuat konsensus terlebih dahulu. Dengan konsensus, mereka dapat membuat roadmap yang masuk akal dan layak. Kemudian bergerak maju dengan mengikuti roadmap yang layak seperti itu, sehingga masalah akhirnya bisa diselesaikan.
Situs Uji Coba Nuklir Punggye-ri terletak di Punggye-ri, Desa Kilju, Provinsi Hamgyong Utara, Â saat ini satu-satunya situs uji nuklir Korea yang dikenal dan diketahui di dunia luar. Dari uji coba nuklir pertama pada 9 Oktober 2006, hingga 3 September 2017, DPRK telah melakukan semua enam uji coba nuklirnya di sini.
Melalui analisis, media ROK percaya bahwa menghapuskan situs uji coba nuklir di Punggye-ri dapat membuktikan resolusi DPRK untuk menghapuskan senjata nuklir dari satu aspek denuklirisasi merupakan suatu signifikansi besar.
Pada 24 Mei lalu, disaksikan oleh para wartawan dari berbagai negara, DPRK secara resmi menghancurkan tempat uji coba nuklir di Punggye-ri dan meledakan terowongan bawah tanah dan beberapa fasilitas tanah yang berafiliasi. Menurut informasi yang ada, penghancuran berlangsung selama beberapa jam.
Meledakkan tempat uji coba nuklir di Punggye-ri, lebih mungkin sikap politik, yang menunjukkan bahwa DPRK bersedia bekerja sama dengan komunitas internasional dan menghapuskan senjata nuklirnya.
Penghapusan senjata nuklir adalah proses yang sangat rumit. Hanya meledakkan beberapa pintu masuk terowongan, dipercaya hanyalah sebuah permulaan. Masih ada tindakan yang sangat panjang untuk sunguh-sungguh menghapuskan senjata nuklir di masa depan.Â
Karena itu, masyarakat internasional harus memberi waktu lebih banyak kepada DPRK dan memberikan dukungan positif dan penegasan terhadap DPRK yang dipimpin oleh Kim Jong-un atas upaya atau sikapnya menghapuskan senjata nuklir. Bagaimanapun, ini adalah langkah maju yang penting dalam tindakan menghapuskan senjata nuklir.
Menghancurkan Situs Uji Coba Punggye-ri tidak diragukan lagi memiliki dampak positif pada denuklirisasi Semenanjung Korea. Sejak awal tahun ini, DPRK telah menunjukkan keramahan dan ketulusan besar dalam hal menghapuskan senjata nuklir.
Namun, DPRK percaya bahwa ketulusan ini tidak mendapatkan respon yang setara. Beberapa analis percaya bahwa apa yang menyebabkan DPRK meragukan ketulusan AS adalah "model Libya" yang diusulkan AS untuk "rencana denuklirisasi DPRK."
Model Licik AS Dalam Denuklirisasi "Model Libia"
Jadi, model seperti apa yang dimaksud dengan "model Libya," dan mengapa tanggapan DPRK begitu ekstrem? Akankah perbedaan antara DPRK dan AS dalam rencana denuklirisasi menjadi kendala terbesar yang mempengaruhi pertemuan puncak antara AS dan DPRK?
Pada 9 April tahun ini, John Bolton diangkat menjadi Penasihat Keamanan Nasional dari Presiden AS Donald Trump. Pada 29 April, selama wawancara televisi pertama setelah ia mengambil posisi, Bolton menekankan "model Libya." John Bolton mengatakan: "Kami sangat ingat akan model Libya dari tahun 2003, 2004."
Lalu apa itu denuklirisasi "Model Libya"? Yang telah ditekankan AS dan merupakan gagasan AS. Mereka telah meminta DPRK untuk terlebih dahulu menghapuskan senjata nuklir, dan mengatakan akan menjamin keamanan nasional negara itu, dalam kegiatan ekonominya akan normal, dan hal-hal lain.
Tapi hasilnya tidak seperti itu, karena hal ini telah terjadi baru-baru ini, jadi kita semua bisa mengingatnya seperti kejadian kemarin ini.
Gaddafi-Libya Yang Diperdayai AS Dan Barat
Pada Maret 2003, setelah militer AS menyerbu Irak, pemimpin Libya saat itu Muammar Gaddafi mengadakan perundingan rahasia dengan Barat, setelah itu dia mengumumkan bahwa dia secara sukarela bersedia menghapuskan senjata nuklir, dan mengangkut sejumlah besar peralatan dan bahan nuklir ke Oak Ridge, Tennessee, di AS.
Namun, pada tahun 2011, AS dan beberapa negara NATO memberikan dukungan militer kepada pasukan oposisi di Libya untuk menggulingkan pemerintahan Gaddafi, dan Gaddafi dibunuh di jalanan, dan Libya telah terjebak dalam pergolakan hingga hari ini.
Dan orang yang mengusulkan model denuklirisasi ini pertama kali menghapuskan senjata nuklir dengan kompensasi keamanan kelak adalah John Bolton.
Pada 13 Mei, saat wawancara dengan ABC AS, Bolton secara terbuka mendiskusikan DPRK untuk menyerahkan semua senjata nuklir dan tempat pemrosesan bahan nuklir untuk pertama kalinya.Â
Bolton mengatakan: "Yah, saya pikir pelaksanaan keputusan berarti menyingkirkan semua senjata nuklir, membongkar senjata, membawa senjata nuklir ini ke Oak Ridge, Tennessee, itu berarti menyingkirkan pengayaan uranium dan kemampuan pemrosesan ulang plutonium, itu berarti mengatasi masalah rudal balistik."
Mengirimkan senjata nuklir yang telah dibuang ke Oak Ridge akan menjadi tindakan yang sama persis seperti model Denuklirisasi Libya.
Bolton mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Fox News AS bahwa isu mendasar adalah apakah DPRK akan membuat keputusan strategis untuk menyerahkan senjata pemusnah massal, dan berjanji bahwa mereka tidak akan berkompromi dengan tujuan denuklirisasi yang "lengkap, dapat diverifikasi, dan tidak dapat diubah lagi." (complete, verifiable, irreversible)
Pada 16 Mei, Senator AS, Rand Paul mengatakan bahwa DPRK telah membebaskan tiga warga AS dan mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan uji coba rudal nuklir. DPRK telah membuat konsesi, tetapi AS tidak membuat kemajuan apa pun.
Juga pada 16 Mei, Kantor Berita Pusat Korea menyiarkan pernyataan media Wakil Menlu Pertama Kim Kye-gwan, yang mengatakan bahwa beberapa pejabat senior Gedung Putih dan pejabat Departemen Luar Negeri AS, termasuk John Bolton, telah membuat beberapa pernyataan mengenai denuklirisasi yang tidak berusaha untuk memecahkan masalah melalui dialog, dan akan mencoba untuk menciptakan kembali nasib Libya dan Irak yang runtuh, setelah benar-benar menyerahkan negara mereka kepada negara-negara utama bagi DPRK.
Seperti kita semua tahu, setelah Libya menyerahkan semua teknologi untuk pengembangan nuklirnya, tetapi pada saat itu, AS tetap tidak saja belum puas dan mencari segala alasan untuk menyerang Libya dan bahkan membunuh Gaddafi di jalanan, sampai negara Libya hancur dan kacau serta membuat sengasara rakyatnya hingga kini.
Jadi mengapa DPRK dengan tegas menolak untuk menggunakan model Libya, dan telah secara terbuka mengatakan: "Kita semua telah melihat bagaimana Libya berakhir, jadi pasti tidak akan mengikuti rute ini." Dan apa yang paling tidak disukai DPRK adalah bagaimana mereka telah secara aktif menyerahkan senjata nuklir, tetapi AS memandang DPRK sebagai negara yang kalah. Itu yang tidak akan diterimanya.
Menurut laporan "New York Times", Gaddafi dan nasib Libya selalu mendapat perhatian dari DPRK. Ketika militer gabungan dari berbagai negara melakukan serangan udara terhadap Libya, DPRK mengatakan bahwa negara-negara Barat menggunakan "denuklirisasi" ini sebagai taktik untuk menyerang negara-negara lain.
Dan denuklirisasi "complete, verifiable, and irreversible (lengkap, dapat diverifikasi, dan tidak dapat diubah)", juga dikenal sebagai CVID, adalah ide yang diusulkan oleh Bolton pada tahun 2003.
CVID kependekan dari  "Complete, Verifiable, Irreversible and Dismantling."
Tidak seperti John Bolton, mantan Direktur CIA AS Mike Pompeo menyebutkan "PVID" untuk pertama kalinya ketika dilantik sebagai Menteri Luar Negeri AS pada 2 Mei 2018.
Pomeo mengatakan: "Kami berkomitmen untuk pembongkaran senjata pemusnah massal permanen, dapat diverifikasi, dan tidak dapat dibatalkan, dan melakukannya tanpa penundaan."
Meskipun PVID dan CVID hanya berbeda satu huruf, "complete (lengkap)" diganti oleh "permanent (permanen)" telah menarik banyak perhatian dari dunia luar.
Beberapa analis percaya bahwa "denuklirisasi permanen" bahkan lebih luas dan lebih kuat daripada "denuklirisasi lengkap", yang menunjukkan bahwa AS ingin membuat DPRK secara permanen menyerahkan senjata nuklir dan tidak pernah mengembangkannya lagi.
Tetapi apakah denuklirisasi "permanen" atau "lengkap" benar-benar dapat dicapai dalam tingkat teknis?
Topiknya dimulai dengan AS. AS telah memunculkan tuntutan pemerintahan AS yang lalu kepada DPRK, dan pemerintahan Trump ingin menciptakan standar baru dan mengubah C dalam CVID menjadi P berarti permanen.
DPRK tidak menyukai usulan ini, dan kemudian mereka kembali dengan sesuatu yang disebut CVID. Apa arti CVID? Selama prosesnya, apa yang disebut lengkap, tetapi apa artinya itu? Â Itu dapat juga diartikan tidak dapat diubah, tetapi apa artinya itu? Jadi bahkan beberapa ahli AS telah mengatakan bahwa CVID hanyalah sebuah slogan politik, tidak mungkin untuk benar-benar ditrapkannya.
"Untuk membandingkan Libya yang pada tahap awal pengembangan nuklir, dengan DPRK, yang memiliki senjata nuklir sangat bodoh." Demikian menurut Kim Kye-gwan, Wakil Pertama Menteri Luar Negeri DPRK.
Kecemasan Trump Untuk Pemilu Tengah Waktu AS
Pada 17 Mei, Trump membuat tanggapan pertamanya terhadap reaksi keras DPRK terhadap "Model denuklirisasi Libya" Trump mengatakan: "Yah model Libya bukanlah model yang kita miliki satu-satunya, ketika kita berpikir tentang Korea Utara. Di Libya, kita menghancurkan negara itu. Negara itu hancur. Tidak ada kesepakatan untuk mempertahankan Gaddafi. Model Libya yang disebutkan adalah kesepakatan yang jauh berbeda."
Analis mempertanyakan, apa yang paling perlu dilakukan Trump saat ini? Apakah mereka ada masalah yang lebih mendesak bagi Trump daripada isu nuklir DPRK?
Dipercaya memang ada. Ini berlaku untuk negara manapun, masalah internasional tidak menjadi arah utama, yang lebih penting adalah di dalam negeri. Apa yang dihadapi Trump saat ini adalah pemilu jangka menengah AS.Â
Trump harus mendapatkan peringkat persetujuan yang lebih tinggi di AS sehingga orang-orang Republikan dapat memenangkan pemilu paruh waktu kali ini. Inilah yang dia paling cemaskan sekarang. Jadi apa yang dia harapkan? Dia mengatakan bahwa isu nuklir DPRK dapat mencapai hasil dalam waktu yang sangat singkat.
DPRK ingin mencapai tujuannya dengan meninggalkan senjata nuklir. Tujuan apa itu? Untuk DPRK dan AS untuk berinteraksi secara damai. Jadi kita harus benar-benar melihat sisi lain dari proses denuklirisasi yang sama yang memiliki prospek lebih besar, dan yang diharapkan orang-orang lebih banyak lagi --- proses perdamaian Semenanjung Korea.
Jika proses denuklirisasi berakhir seperti yang kita harapkan, maka proses perdamaian akan segera dimulai sesudahnya. Dan kemudian perang yang belum berakhir akan berakhir secara resmi, yang dimaksudkan rakyat ROK Â "akhir dari deklarasi perang." Apakah ini akan menjadi segera atau bahkan tidak jadi transisi untuk menandatangani perjanjian damai bukanlah sesuatu para ahli yang dapat berpandangan bulat untuk itu sekarang.
Beberapa orang percaya bahwa mungkin ada periode interim antara deklarasi berakhirnya perang dan perjanjian damai, dan beberapa orang mengatakan tidak perlu untuk periode interim, bahwa mereka akan menandatangani perjanjian damai segera. Inilah yang perlu diperhatikan untuk DPRK.
Namun, ada perbedaan tajam di AS mengenai apakah para pemimpin AS dan DPRK harus bertemu sendiri.
Trump percaya bahwa ia memiliki kekuatan penggerak dari dalam dirinya dan ingin bertemu dengan Kim Jong-un. Kekuatan establishment AS, termasuk Bolton, yang konservatif garis keras --- dia tidak ingin melihat Trump mehancurkan tradisi AS sealma ini dan bertemu dengan pemimpin DPRK.Â
Dia tidak ingin melihat masalah DPRK dengan cepat diselesaikan, karena jika es di kawasan ini mencair, setelah es dari Perang Dingin yang tersisa mencair, akan ada masalah apakah militer AS harus mempertahankan kehadirannya di kawasan ini, dan bagaimana AS akan mendapatkan keuntungan geografis di kawasan tersebut.
Sebenarnya, setelah Presiden AS Trump menerima undangan dari DPRK untuk berdialog, kecurigaan yang luas dan kecaman terhadap niat DPRK muncul di AS, terutama di kalangan elit AS --- banyak suara percaya bahwa Trump dengan tergesa-gesa menerima sebuah pertemuan, itu akan menjadi kesalahan. Â Dan setelah DPRK membuat pernyataan keras, suara-suara oposisi dari interaksi antara AS dan DPRK di AS mulai tumbuh lebih keras.
Jadi berdasarkan interaksi baru-baru ini antara AS dan DPRK dan keputusan terbaru AS, tampaknya akan sulit untuk es atas isu Semenanjung Korea akan mencair dalam semalam.
AS dan DPRK benar-benar memiliki defisit besar-besaran untuk saling percaya. Kita tahu bahwa pada tahun 2012, DPRK mencapai kesepakatan 2-19 --- perjanjian yang dicapai dengan AS pada 29 Februari 2012, di mana pemerintahan Obama memberikan kepada DPRK dengan 240.000 ton nutrisi sebagai ganti untuk DPRK menangguhkan kegiatan rudal nuklirnya.
Namun dalam waktu kurang dari sebulan kita melihat bahwa DPRK telah melakukan lagi uji coba rudal lagi, sehingga AS benar-benar memiliki sedikit kepercayaan kepada DPRK. Dan DPRK juga tidak terlalu mempercayai AS.Â
Misalnya, setelah insiden Libya tahun 2011, salah seorang diplomat mereka menulis sebuah artikel yang mengatakan bahwa memiliki senjata nuklir adalah satu-satunya cara untuk memastikan keamanan nasional mereka, jadi ketika faktor-faktor ini terhubung.Â
Pengamat pikir ketika menyangkut hubungan antara DPRK dan AS, hambatan terbesar adalah defisit kepercayaan, kurangnya kepercayaan di antara mereka, dan bagaimana mereka berdua tidak memiliki sikap untuk menempatkan semuanya di atas meja secara setara.
Sampai hari ini, Semenanjung Korea masih masih dalam keadaan gencatan senjata, dan bukan keadaan damai, dan merupakan satu-satunya tempat di dunia yang telah memperpanjang Perang Dingin. Es yang ditinggalkan oleh Perang Dingin ini tidak akan cair semalam.
Pada pukul 00:30 pagi hari 16 Mei lalu, Ri Son Gwon perwakilan DPRK dalam pembicaraan tingkat tinggi DPRK-ROK dan Ketua Komite DPRK untuk Penyatuan Kembali Secara Damai (Ibu Pertiwi Kore), DPRK memberi tahu ROK bahwa karena latihan "Max Thunder" ROK-AS, ia memutuskan untuk menunda pembicaraan tingkat tinggi DPRK-ROK.
Dengan penundaan yang tak terbatas dari pembicaraan tingkat tinggi ROK-DPRK, apakah mereka akan dapat mengimplementasikan "Panmunjom Declaration"? Langkah-langkah tindak lanjutnya menjadi kurang transparan.
Ini jelas, tanda-tanda persahabatan dan ketulusan yang dikeluarkan oleh AS dan ROK serta DPRK tidak sama.
Jadi, ketika situasi Semenanjung Korea semakin hangat membaik, mengapa AS dan ROK masih mengadakan latihan militer, dan pada skala yang lebih besar daripada skala yang lebih kecil?
Beberpa pengamat pikir ini tidak realistik bagi AS dan ROK untuk tiba-tiba menghentikan latihan militer ini. Ini akan seperti AS meninggalkan posisinya di sini. Di permukaan, kita melihat latihan militer sebagai operasi untuk mempersiapkan perang, tetapi sebenarnya mereka memiliki dua lapisan makna.
Lapis pertama menunjukkan bahwa ini adalah untuk memberi sinyal kuat kepada DPRK, bahwa itu tidak dapat menimbulkan masalah, karena mereka memiliki kemampuan ini dan militer mereka siap. Ini adalah aspek yang diarahkan pada DPRK, tetapi sebenarnya juga untuk ROK, karena kita tahu bahwa pejabat Kementerian Pertahanan ROK baru-baru ini mengatakan bahwa pada tahun 2023, yurisdiksi komando militer mereka mungkin akan dihapuskan untuk militer ROK baik pada masa damai maupun masa perang.
Ini sinyal yang sangat kuat. Dan sebelum ini, ada isu untuk setiap garnisun. Sebagai contoh, penasihat senior Moon Jae-in, Moon Chung-in, adalah seorang profesor akademis, dan sejak Moon Jae-in menjabat pada bulan Mei tahun lalu, dia terus-menerus mengatakan bahwa AS perlu menarik pasukannya keluar dari ROK, dan baru-baru ini menulis sebuah artikel di sebuah majalah yang isinya mengharuskan AS menarik militernya keluar Korea.
Jadi dari Moon Jae-in sendiri hingga ke Kementerian Pertahanan ROK, mereka telah mencoba untuk memadamkan api. Bahkan melalui Kementerian Pertahanan ROK telah memadamkan api, apa yang dikatakan Moon Chung-in mencerminkan pikiran Moon Jae-in dan masyarakat umum dalam negeri ROK. Jika ada rekonsiliasi antara DPRK dan ROK, apa yang akan dilakukan militer AS di sana? Bukankah mereka seharusnya cepat mundur?
Penarikan pasukan bukannya ide yang datang entah dari mana. Pada 27 April, beberapa jam setelah para pemimpin DPRK dan ROK mengadakan pertemuan bersejarah di Panmunjom, pernyataan dari seorang pemimpin militer AS yang mengemukakan pernyataannya perlu lebih dalam untuk dipikirkan. Dia bertanya: "Jika perjanjian damai tercapai saat mereka berbicara di Panmunjom hari ini, apakah pasukan AS harus tetap ditempatkan di Semenanjung Korea?"
James Mattis Menhan AS menjawab: "Nah itu adalah bagian dari masalah yang akan kita bahas dalam negosiasi dengan sekutu kita terlebih dahulu, dan tentu saja dengan Korea Utara. Jadi saya pikir untuk saat ini, kita hanya harus mengikuti proses, melakukan negosiasi, dan tidak mencoba untuk membuat pra-kondisi atau praduga tentang bagaimana itu akan berjalan. Diplomat yang harus bekerja sekarang."
Masyarakat umum percaya bahwa James Mattis tidak dengan jelas menyatakan apakah militer AS akan tetap tinggal atau pergi, dan mengecualikannya dari topik pembicaraan yang secara diam-diam mengakui kemungkinan penarikan mereka.
"Semenanjung Korea saat ini dipenuhi dengan berbagai kemungkinan. Jika seseorang ingin menemukan sesuatu yang pasti dalam semua ketidakpastian ini, satu-satunya adalah Tiongkok yang tidak diragukan lagi dengan  "fondasi" yang mendukung perdamaian dan stabilitas Semenanjung Korea.
Karena untuk untuk waktu yang lama, Tiongkok telah menjadi bagian penting dari isu Semenanjung Korea, dan menjadi mediator positif dalam urusan Semenanjung Korea. Mereka telah berupaya mempertahankan keadaan "tidak ada perang, tidak ada ketidak-stabilan, dan tidak ada nuklir (no war, no instability, and no nukes)" di Semenanjung Korea. Dan dalam situasi Semenanjung Korea yang tidak dapat diprediksi, Tiongkok telah memainkan peran konstruktif yang positif dan tak tergantikan.
Kita tahu bahwa Kim Jong-un telah mengunjungi Tiongkok dua kali, sebenarnya dia juga menganggap Tiongkok sebagai negara yang sangat diperlukan untuk mempertahankan momentum pembangunan saat ini serta stabilitas dan perdamaian di Semenanjung.
Tampaknya Tiongkok pasti akan lebih proaktif untuk menjaga stabilitas di Semenanjung dan berusaha keras untuk memecahkan es padat yang tersisa dari Perang Dingin di Semenanjung, yang dipercaya cukup jelas keadaannya. Lagi pula, peran yang dimainkan Tiongkok tidak dapat digantikan oleh negara mana pun.
Alasannya karena Tiongkok selama ini dianggap telah menyerukan ke arah yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Sehari sebelumnya Tiongkok telah mengusulkan proposal "suspensi untuk suspensi" dan "pendekatasn dua jalur" (baca juga: Berharap Semenanjung Korea Menuju Perdamaian Dan Unifikasi)
Pada awal tahun ini, metode "suspensi-untuk-suspensi (penangguhan untuk penangguhan)" yang berarti bahwa DPRK tidak akan melakukan uji coba senjata nuklir dan rudal lagi, dan sekarang DPRK mengatakan bahwa mereka juga tidak akan mengembangkan senjata nuklir di masa depan lagi.
Pada awal 2018, Olimpiade Musim Dingin telah berhasil ditrapkan metode "suspensi-untuk-suspensi". DPRK menangguhkan uji coba nuklir dan rudal baru, dan AS dan ROK juga menunda latihan militer mereka.
Implementasi ini membuktikan bahwa proposal "penangguhan untuk penangguhan" Tiongkok bukanlah hanya sekedar teori, tetapi dapat ditindaklanjuti dan dapat direalisasikan, dan merupakan rencana yang sesuai dengan situasi Semenanjung Korea yang sebenarnya.
Proposal "suspensi untuk suspens" dan "pendekatan dua jalur (dual track approach)" dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan Tiongkok yang menyiapkan situasi Semenanjung Korea dengan jalur yang efektif dan positif menuju rencana perbaikan.
Seperti kita ketahui, bagaimanapun, perdamaian dan stabilitas Semenanjung Korea secara langsung terkait dengan kepentingan Tiongkok sendiri.
Jika terjadi gejolak di Semenanjung Korea, itu akan menyentuh kepentingan vital Tiongkok. Mempertahankan stabilitas regional bukan hanya untuk DPRK dan ROK, tetapi juga untuk kepentingan nasional Tiongkok sendiri.Â
Tiongkok memiliki kepentingan strategisnya sendiri, dan kepentingan strategis ini bukanlah bahwa Tiongkok ingin mengendalikan suatu negara atau kawasan ini, Tiongkok lebih ingin menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan. Dan ini berulang kali dikumandangkan oleh pihak resmi Tiongkok.
Karena perdamaian dan stabilitas kawasan ini merupakan salah satu persyaratan yang diperlukan untuk pembangunan domestik Tiongkok sendiri, jadi dari perspektif ini, mereka tidak memiliki kepentingan egois dalam hal ini, mereka tampaknya berkomitmen untuk menjaga perdamaian di Semenanjung Korea, yang juga perlu dilakukan untuk perkembangan Tiongkok sendiri.
Sedangkan untuk DPRK dan ROK, mereka adalah suku bangsa yang sama, dan memiliki keinginan yang sama untuk perdamaian dan unifikasi.
DPRK bukanlah hanya satu-satunya yang menekankan perdamaian. Tiongkok juga benar-benar perlu memperhatikan satu hal yaitu bagaimana seluruh proses seharusnya dimulai untuk hubungan DPRK-ROK di Semenanjung Korea.
ROK juga tampaknya juga berupaya untuk menuju tujuan ini, dan pertama-tama mencoba untuk mencegah perang lain di Semenanjung Korea. Bagaimana mereka akan mencegahnya?Â
Mereka merasa bahwa tindakan sementara tidak akan berhasil, karena hal-hal struktural masih ada, jadi pencapaian terbesar dalam pertemuan antara para pemimpin DPRK dan ROK pada 27 April 2018 adalah proklamasi yang sangat panjang bahwa kedua pihak mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi berperang.
Beberapa analis mengatakan bahwa ketika isu Semenanjung Korea bergerak lebih dari lingkup "rekonsiliasi nasional" ke lingkup "kontes diplomatik," "defisit kepercayaan" besar yang telah dibangun selama bertahun-tahun akan menjadi kendala terbesar.
Menghadapi lingkup wilayah yang komplek ini, perlu kiranya DPRK dan ROK sama-sama mencari solusi, dan bisa sadar diri untuk tidak dijadikan proxy untuk kepentingan negara adidaya. Demi untuk kepentingan kesejahteraan dan perdamaian rakyat sesuku sebangsa yang sama-sama sebagai suku bangsa Korea.
Marilah kita harapkan dan bantu secara moril untuk perdamaian serta unifikasi Semenanjung Korea.
Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H