Pada 21 Nopember 2017, Timur Tengah menyambut sebuah momen penting: Negara Islam Irak dan Iran mengumumkan hancurnya kelompok eksrimis yang dikenal "ISIS".
Rusia juga mengabarkan kabar ini. Hal ini membuat Eropa dan seluruh dunia bernafas lega.
Pengumuman resmi dihancurkannya "ISIS" oleh Iran dan Irak ini terutama ditandai dengan telah direbut kembalinya basis terakhir "ISIS" di kota Rawa di Irak, dan basis Abu Kamal di Suriah.
Dengan berhasil diberantasnya organisasi militer kelompok ekstrimis "ISIS" di medan perang Irak dan Suriah, ini menunjukkan bahwa wujud "negara kuasi (quasi-state)" yang memiliki wilayah yang luas telah hancur.
Tapi apakah bayangan kelompok ekstremis yang masih tersisa hidup di Timur Tengah, benar-benar bubar dengan penghancurannya kali ini?
PM Irak, Haider al-Abadi mengatakan: Dari sudut pandang militer, kita telah berhasil mengakhiri eskistensi ekstrimis "ISIS" di Irak.
Hassan Rouhani, Presiden Iran mengatakan: Bersama-sama, kita telah memberantas sebuah organsiasi jahat, destruktif, pembunuh dan babar.
Vladimir Putin Presiden Rusia mengatakan: Aksi militer berskala besar melawan kelompok teroris di Suriah dan untuk kelompok teroris di Suriah akan segera berakhir.
Pada 19 Nopember 2017, pemerintah Suriah mengumumkan bahwa mereka telah berhasil merebut kembali basis penting terakhir "ISIS" di Suriah - Abu Kamal.
Dengan kata lain, ketika Abu Bakr al-Baghdadi mengumumkan pembentukan "Khilafah Negara Islam" pada 29 Juni 2014, sekitar 260.000 kilometer wilayah yang dia andalkan untuk membuat pengumuman ini sekarang benar-benar hilang.
"ISIS" Yang Mengejutkan Dunia
Pada 29 Juni 2014, ketika pada hari pertama Ramadhan untuk Muslim di seluruh dunia, organisasi ekstremis "Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL) mengumumkan bahwa mereka mengganti namanya dan membentuk "Negara Islam (ISIS)", dengan Raqqa sebagai ibukota "ISIS.".
Kecepatan tumbuhnya "ISIS" yang menjadi lebih kuat sungguh tak terbayangkan.
Pada 10 Juni 2014, dengan kekuatan kecil sebanyak 800 orang tentara "ISIS" berhasil merebut kota terbesar ketiga Irak---Mosul, yang dipertahankan oleh 30.000 tentara Irak, tindakan ini sungguh mengejutkan dunia.
Pada Juli 2014, satu dari dua divisi lapis baja militer Irak, Divisi Lapis Baja ke-9, dikalahkan oleh "ISIS" dalam sebuah pertempuran di Bagdad utara.
Pada 24 Agustus 2014, "ISIS" menduduki markas besar penting al-Taqqa di Suriah, dan mengedalikan semua Provinsi Raqqa di Suriah.
Seperti apa yang lukiskan oleh majalah "Time" yang mendeskripkan, didorong oleh ambisi "ISIS" telah dapat mulai menghapuskan peta yang dibuat orang Eropa untuk Timur Tengah seabad lalu secepat kilat.
Dimulai pada musim panas 2014, "ISIS" mulai berkembang dalam ledakan yang hiruk pikuk. Yang paling penting, mereka berhasil menguasai area seluas lebih dari 200.000 kilometer persegi, dan mempengaruhi populasi beberapa juta orang.
Selama dalam masa jaya "ISIS" menguasai sekitar 40% wilayah nasional Irak dan sepertiga wilayah nasional Suriah.
Bahkan dikatakan memiliki puluhan ribu tentara, dan sejumlah besar senjata dari militer AS dan militer negara lain, seperti senjata ringan, artileri, dan tank.
Beberapa media ada yang menunjukkan bahwa banyak tentara yang sebelumnya berada di bawah bendera Saddam Hussien bergabung dengan kelompok ini setelah mereka kehilangan pekerjaan pada tahun 2003. Oleh karena itu, tentara kelompok ini memiliki karakter militer, peralatan yang baik, dan terbiasa dengan bumi dan lingkungan Irak.
Selain itu, kelompok ini juga memiliki banyak militan yang bergabung dari luar negeri. Selama masa puncak "ISIS", mereka mendirikan sebuah pemerintahan di wilayah yang dikuasainya, dan mengumumkan undang-undangnya sendiri. Tentu saja, undang-undang ini didasarkan pada hukum Islam dan hukum Syariah, dan bentuk organisasi adalah masing-masing daerah berperang secara independen.
Kebrutalan "ISIS"
Kelompok ekstremis yang mengklaim membangun negaranya sendiri menciptakan banyak kasus, kekejaman, warga sipil yang disembelih, situs-situs budaya yang dihancurkan, dan terlibat dalam serangan bom bunuh diri.
Pada bulan Desember 2014, "ISIS" melakukan eksekusi dengan membakar yang mengejutkan dunia.
Pilot Yordania Moaz al-Kasasbeh melakukan misi serangan udara melawan "ISIS" di Suriah utara saat jet tempurnya jatuh, dan dia ditangkap setelah terjun payung.
Pada 3 Februari 2015, "ISIS" merilis sebuah video. Dalam video ini, al-Kasasbeh dibakar hidup-hidup.
Penduduk sipil yang tidak bersalah dari semua negara di dunia bahkan diculik dan dibunuh oleh "ISIS", dan kemudian video-video itu diupload ke internet.
Pada 19 Agustus dan 2 September 2014, jurnalis AS James Foley dan Steven Sotloff dipancung dan video tersebut dirilis.
Pada 14 September 2014, video sandera Inggris David Haines dipenggal telah diunggah di internet.
Pada bulan Januari 2015, dua warga Jepang dibunuh, dan eksekusi videonya mereka upload di internet.
Selama dalam perang, insiden "ISIS" yang melakukan eksekusi massal juga sering terjadi. Pada 15 Juni 2014, "ISIS" menyerang Tal Afar, di Provinsi Niniwe, kemudian mereka mengeksekusi massal 1.700 perwira Irak dan tentara yang mereka tangkap.
Pada 17 Juli 2014, "ISIS" menduduki ladang gas Jabal Shaer di Provinsi Homs, dan melakukan eksekusi massal terhadap 270 perwira dan tentara Suriah yang tertangkap.
Pada 28 Juli 2014, saat Ramadan berakhir, "ISIS" menayangkan rekaman 30 menit di internet yang menunjukkan bahwa mereka menghancurkan masjid-masjid Syiah di pinggiran kota Mosul dan Baghdad, serta gambar-gambar berdarah dari banyak warga sipil Syiah yang telah dieksekusi.
Mulai dari 5 Agustus 2014, "ISIS" terlibat dalam pembersihan etnik orang Yazidi di Distrik Sinjar Irak, dan membunuh semua orang yang menolak masuk Islam. Para wanita itu semua dipaksa menjadi budak seks dan "didistribusikan" ke teroris, dan sekitar 50.000 orang Yazidi terpaksa melarikan diri ke pegunungan.
Kelakuan dan tindakan "ISIS" yang sangat kejam dan brutal tersebut, bahkan membuat Al Qaeda merasa sulit untuk menerimanya. Pada bulan Februari 2014, Al Qaeda secara terbuka menyebut "perilaku 'ISIS' sangat  ekstrem dan  kejam, serta barbar," dan memotong semua hubungannya dengan mereka.
"ISIS" Menjadi Musuh Utama Negara-Negara Utama
Dewan Keamanan PBB menegaskan kelompok ekstremis "ISIS" sebagai organisasi teroris internasional pada 30 Juli 2014.
Pada 13 November 2015, serangan teroris "ISIS" di Paris menjadi serangan teroris paling parah di dunia Barat setelah serangan 11 September 2001 di AS.
"ISIS" bahkan mengancam akan meledakkan Gedung Putih, dan kemudian membunuh Presiden AS Barack Obama dan kemudian Presiden Prancis Francois Hollande.
Perancis menyatakan keadaan darurat perang, dan negara-negara Eropa secara aktif mendukungnya. "ISIS" akhirnya menjadi musuh utama negara-negara Eropa, melebihi Rusia dan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Baru pada saat itulah mereka membentuk sebuah kerjasama internasional yang luas dari beberapa negara yang berfokus untuk menyerang "ISIS" dan mulai terlibat dalam operasi serangan militer yang praktis.
Ketika koalisi internasional memiliki koordinasi yang pasti, semua pihak telah menganggap "ISIS" sebagai musuh bersama satu demi satu, dan menunjukkan daerah-daerah tempat mereka yang bertanggung jawab. Ketika itulah mereka baru secara serentak melancarkan serangan terhadapnya, makan sejak itu hari-hari "ISIS" sudah berakhir.
Suriah dan Irak telah menderita kehancuran dan kemiskinan. Pada saat itu, beberapa komentar percaya bahwa wilayah politik Timur Tengah telah runtuh, dan Timur Tengah mengalami kekacauan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam 100 tahun terakhir.
Bagaimana mungkin sebuah organisasi teroris masih begitu sombong dan eksis selama ini meski menghadapi tekanan dan serangan dari koalisi kontraterorisme yang dibentuk oleh belasan negara di seluruh dunia?
Pelajaran Bagi Masyarakat Internasional Atas Lahirnya "ISIS"
Pada bulan Desember 2011, angkatan terakhir tentara AS ditarik dari Irak. Kemudian-Presiden AS Obama mengatakan bahwa dengan berakhirnya Perang Irak, masa depan Irak akan berada di tangan rakyat Irak. Tapi tidak ada yang bisa membayangkan bahaya macam apa yang tersembunyi di masa depan Irak di balik kepergian militer AS.
Hanya ada satu alasan mengapa "ISIS" bisa begitu cepat menyebar, karena adanya kekosongan untuk diisi. Kenyataannya, dalam masa jabatan kedua George W. Bush, tatanan Irak cukup stabil, namun saat Obama berkuasa, dia menerapkan sebuah kebijakan baru untuk menarik militer keluar dari Irak tidak peduli apapun yang akan terjadi.
Ketika Obama berkuasa, Obama menarik militer keluar dari Irak, Irak utara dengan cepat kembali menjadi kacau keadaannya. Ini disebabkan oleh kebijakan salah Amerika Serikat.
Demikian juga terjadi kekosongan di Suriah akibat dari gerakan "Musim Semi Arab" (yang ditenggarai atas prakarsa AS), sehingga melemparkan Suriah ke dalam keadaan kacau, daerah yang sebelumnya dikendalikan pemerintah Suriah satu per satu secara tajam menjadi kacau balau.
Think-tank yang berbasis di AS, RAND Corporation merilis sebuah laporan yang mengatakan bahwa dari tahun 2011 sampai 2013 saja, jumlah kelompok ekstremis Irak meningkat menjadi sebesar 58%, jumlah anggota dua kali lipat, dan jumlah serangan teroris meningkat tiga kali lipat. Kelompok teroris juga memperluas basis mereka di Suriah, Pakistan, dan Yaman.
Aspek lain, setelah munculnya gerakan "Musim Semi Arab," gerakan tersebut mempengaruhi Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah, yang menciptakan turbulensi akut di pemerintahan mereka.
Pada tahun 2011, perang saudara meletus di Suriah. "ISIS" memanfaatkan kesempatan ini untuk tumbuh di wilayah tersebut sepanjang perbatasan Suriah-Irak.
Semua ini menyebabkan keseimbangan kekuasaan di Timur Tengah terganggu, dan mekanisme nasional yang sebelumnya stabil menjadi hancur.
Dengan tidak adanya kekuatan keseimbangan yang sebelum sudah ada, latar belakang terciptanya "ISIS" sebagian besar terkait dengan perubahan keseimbangan kekuasaan di Timur Tengah. Itu adalah presentasi tentang kekuatan teroris atau ekstrimis yang sudah mapan. Aspek lain adalah bahwa ini adalah perluasan pemikiran ekstremis, dan proliferasi yang cepat. (Suatu pelajaran juga bagi tokoh-tokoh politik di negara kita sekarang yang sedang bersiap melakukan kontes pemilu di tahun-tahun yang akan datang ini, isu sara bukanlah suatu kampanye yang tepat dan membangun).
Banyak analis yang berpikir "ISIS adalah produk yang sangat aneh yang dibuat dalam kondisi historis tertentu.
Pada bulan September 2014, AS dengan cepat mengumpulkan kekuatan kontra terorisme dengan lebih dari 50 negara, termasuk Inggris, dan Prancis, serta Uni Eropa, NATO, dan Liga Arab untuk melawan "ISIS."
Namun, kontraterorisme pimpinan AS ini hanya menciptakan lebih banyak terorisme, dan semakin banyak terorisme yang terjadi.
Pada musim panas 2015, di medan perang Irak, sekitar 80% wilayah Provinsi Al Anbar diduduki oleh "ISIS." Hampir setengah dari wilayah nasional Suriah juga dikuasai oleh "ISIS." Karena itulah, kehebatan koalisi kontraterorisme pimpinan AS diragukan.Â
Seorang analis dari sebuah think tank AS mengatakan, "Untuk meningkatkan efektivitas serangan udara, mereka harus dipandu dan dikoordinasikan dengan pasukan darat." Namun strategi AS untuk melawan "ISIS" memiliki "redline/garis merah" yang kritis, tidak boleh melintasi garis merah, Â yang berarti sama sekali tidak akan mengirim pasukan darat apapun.
Selain itu, AS jauh lebih tertarik untuk menggulingkan pemerintahan al-Assad daripada melawan "ISIS", dan bahkan ingin memanfaatkan berbagai kekuatan oposisi campuran yang baik dan jahat di Suriah untuk menggulingkan pemerintahan al-Assad.
Hal ini menyebabkan AS pikirannya bercabang dua ketika menghadapi "ISIS".
Negara-negara Eropa juga mendukung tujuan utama pasukan oposisi Suriah untuk menggulingkan pemerintahan al-Assad, dan tidak menganggap bahwa "ISIS" sebagai prioritas utama mereka.
Di antara koalisi, masing-masing negara dalam koalisi memiliki gagasan sendiri, dan mereka tidak bersatu dalam tujuan mereka. Misalnya, dari mereka yang ikut serta dalam pertempuran, kita dapat melihat bahwa Australia dan Inggris memiliki gagasan yang berbeda dari AS. Jadi perbedaan semacam ini dalam tujuan mereka juga menyebabkan mereka terganggu dalam tujuan melawan "ISIS".
Beberapa negara Teluk juga memiliki sikap yang sangat rumit terhadap nasib kelompok ekstremis "ISIS", karena menganggap kekalahan "IS" akan berarti kemenangan bagi Iran dan Suriah.
Negara kritis lainnya adalah Turki. Ketika menghadapi keputusan apakah akan membantu orang Kurdi saat melakukan baku tembak dengan "ISIS" di perbatasan Turki-Suriah, mereka tidak dapat mengambil keputusan.
Lagi pula, AS mengawasi terus Suriah dan Iran yang memiliki keinginan terkuat untuk memerangi terorisme di Timur Tengah dan memiliki militer yang relatif kuat diluar dari koalisi kontraterorisme saat melawan "ISIS" yang secara umum dan utama akan mempengaruhi efektivitas kontraterorismenya.
Selama periode ekspansi liarnya "ISIS", tidak ada militer tingkat nasional yang benar-benar melawan "ISIS." Itu karena kurangnya perlawanan terorganisir yang dapat secara kolektif berkembang dalam waktu yang sangat singkat.
Keadaan Berubah Setelah Ruisa Intervensi
Dimulai pada 30 September 2015, Angkatan Udara Rusia mulai melakukan serangan melawan "ISIS" di dalam wilayah Suriah. Permintaan, Persetujuan dan Serangan Udara dilakukan pada hari yang sama (secara simultan dilakukan dalam satu hari yang sama). Serangan kilat ini menyebabkan AS ditinggalkan menjadi abu.
Vladimir Putin menyatakan: Saat ini, ada aktivitas teroris internasional di Suriah dan negara-negara tetangganya, dan satu-satunya metode yang tepat untuk menyerang terorisme internasional adalah serangan pre-emptive (pendadakan).
Menurut catatan statistik Kementerian Pertahanan Rusia, dalam waktu tiga bulan, jet tempur Rusia melakukan 5.240 penerbangan, 145 di antaranya adalah pesawat tempur jarak jauh dan penerbangan rudal strategis, dan menghancurkan infrastruktur, basis pelatihan, peralatan militer, dan efektivitas dari terorisme "ISIS."
Selain itu, Kementerian Pertahanan Rusia juga membentuk sistem pengintaian multi-tier (lapis-ganda) untuk memastikan bahwa target tersebut akurat dan tidak ada kesalahan yang dilakukan.
Meskipun Barat percaya bahwa kontraterorisme Rusia palsu, dan bertujuan menyerang pasukan oposisi Suriah untuk membantu menstabilkan pemerintahan sekutunya, dengan tujuan untuk mempertahankan kepentingannya sendiri di Timur Tengah, tapi walaupun bagaimanapun situasi kontraterorisme di Timur Tengah benar-benar berubah.
Campur tangan Putin yang kuat ini telah menjadikan situasi tidak saja lebih dari sekedar negara-negara Barat yang memberantas "ISIS," Â negara-negara Barat juga harus bersaing dengan koalisi kontraterorisme pimpinan-Rusia. Jadi pada saat itu, kita bisa melihat, terutama setelah 30 September 2015, situasi kontraterorisme di seluruh Timur Tengah dan situasi pertempuran pasukan ekstremis "ISIS" mengalami perubahan yang terbalik.
Dalam pertempuran di Timur Tengah melawan terorisme, Rusia juga memiliki dua sekutu, pada awal 24 Agustus 2016, Turki meluncurkan sebuah operasi militer dengan kode sandi "Operasi Perisai Efrat (Operation Euphrates Shield)" dan melancarkan serangan militer terhadap "ISIS" di wilayah perbatasan Turki-Suriah Ini meletakkan dasar bagi militer Suriah untuk merebut Aleppo.
Menurut laporan dari banyak media, Iran juga mengirim sukarelawan ke Suriah untuk membantu pertarungan militer Suriah.
Baru-baru ini, Korps Garda Revolusi Islam Iran menerbitkan sebuah laporan di situsnya. Laporan tersebut mengatakan bahwa penasihat militer yang dikirim oleh Iran telah memainkan peran penting dalam pertarungan untuk mengalahkan "ISIS".
Pada 22 November, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Erdogan, dan Presiden Iran Hassan Rouhani mengadakan pertemuan trilateral mengenai masalah Suriah di Sochi, Rusia. Topik utama pertemuan tersebut adalah kemajuan terakhir di Suriah dan situasi regional.
Jadi jika kita melihat situasi regional Timteng sekarang, sudah jelas---kamp-kamp tersebut terbagi secara jelas. Di satu sisi adalah aliansi AS, Arab Saudi, dan Israel. Kamp lainnya adalah kombinasi antara kepentingan Rusia, Turki, dan Iran, yang pengaruhnya semakin meningkat seiring perkembangannya.
Setelah berakhirnya Perang Dingin, kini Rusia telah berhasil menembus dan kembali ke wilayah ini dengan cara yang ampuh. Karena itu, kita bisa melihat situasi AS yang menyatukan Timur Tengah dan seluruh dunia telah gagal total, dan tidak akan dapat pulih lagi di masa depan. Demikian menurut banyak analis dunia luar.
Apakah "ISIS" Telah Punah?
Meskipun banyak negara menyatakan telah berhasil membrantas "ISIS", namun yang jelas dunia masih tidak tenang dan damai, karena kekhawatiran pelimpahan dari para teroris.
Awalnya, ketika kelompok ekstremis Timur Tengah ini dengan cepat bangkit dan semakin kuat, banyak kelompok teroris di seluruh dunia mengindikasikan mereka sebagai bagian dari mereka, dan beberapa kelompok lain mengatakan bahwa mereka akan "belajar dari pengalaman sukses ISIS."
Sekarang setelah "ISIS" telah dikalahkan, banyak ekstremis lainnya mulai melarikan diri dan bersembunyi di seluruh penjuru. Di dunia ini yang masih penuh dengan pertentangan dan intrik konspirasi, bisakah "ISIS" benar-benar larut seperti es?
Suara tembakan di Mesir, 24 November lalu, tampaknya telah menjawab pertanyaan itu.
Pada sore hari 24 November, waktu setempat, sebuah serangan teroris terjadi di sebuah masjid di Arish, di Semenanjung Sinai di Mesir. Para teroris meledakkan bahan peledak, lalu melepaskan tembakan ke kerumunan orang tak berdosa dengan senapan mesin.
Serangan teroris ini menyebabkan 305 orang meninggal, termasuk 27 anak-anak, dan ratusan lainnya terluka.
Moh. Abdel Fattah, imam dari mesjid yang diserang yang terluka menceritakan: Baru saja beberapa menit saya meninggalkan mimbar, ketika tiba-tiba mendengar ledakan, kemudian datang dari luar mesjid sekelompok orang bersenjata mulai melakukan berondongan tembakan ke umat yang baru selesai sholat.
Saat serangan terjadi, sejumlah besar orang baru saja menyelesaikan sholat  Jumat mereka. Seorang saksi menceritakan bahwa selain penyerang yang masuk ke masjid, ada yang menembaki masjid dari jendela -- "teroris telah kehilangan rasa kemanusiaan mereka," dan seperti pembantaian.
Media Mesir melaporkan bahwa ini adalah "serangan paling mematikan di Mesir modern."
Presiden Mesir Abdel el-Sisi mengatakan setelah serangan tersebut bahwa mereka akan meluncurkan "serangan kejam" terhadap para teroris. Pada saat yang sama, menurut laporan dari "The New York Times," "ISIS" mengumumkan bertanggung jawab atas serangan ini.
Kita dapat melihat serangan yang terjadi terhadap mesjid di Mesir ini, sebenarnya terkait dengan keseluruhan proses kontraterorisme di Timur Tengah. Jadi dapat disimpulkan kekuatan ekstremis belum sepenuhnya diberantas, termasuk "ISIS" yang baru saja bubar, dan penyebarannya juga telah ditekan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Eropa dan AS telah mengalami banyak serangan teroris selama Natal. Pada bulan Desember 2015, dua anggota kelompok ekstremis melakukan penembakan di San Berbardino di California, AS, menewaskan 14 orang di sebuah pesta natal lokal.
Pada tahun 2016, seorang anggota "ISIS" mengemudikan sebuah truk ke sebuah pasar Natal di pusat kota Berlin, Jerman, mengakibatkan 12 kematian dan sekitar 50 luka-luka.
Pada bulan Januari 2017, "ISIS" menembaki klub malam di Istanbul, Turki pada Malam Tahun Baru, menewaskan 39 orang dan melukai lebih dari 60 lainnya.
Dengan penyebaran media sosial yang meluas, mereka dapat menyebarkan pemikiran ekstremis ke seluruh pelosok dunia. Inilah tantangan terbesar dalam situasi modern dari kontraterorisme internasional - bagaimana menghentikan proliferasi dan pengaruh kekuatan ekstremis semacam ini pada sumbernya.
Karena ketika sebuah negara atau masyarakat mengalami ekonomi yang buruk, dan banyak pengangguran, akan sulit bagi "pecundang" ini, seperti etnis minoritas, imigran, atau pengungsi untuk berintegrasi dalam kehidupan masyarakat ini, dan menjadi bagian dari masyarakat, jadi mereka terpinggirkan. Jika pemikiran ekstremis semacam ini menyebar, mudah diterima mereka.
Msialnya saja seperti di Eropa, sudah untuk waktu yang lama Eropa telah menjadi sinonim untuk kenyamanan dan ketenangan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, gelombang demi gelombang serangan teroris telah benar-benar menghancurkan ketenangan ini. Mereka seperti tumor yang terus-menerus menyiksa saraf orang Eropa.
Sejak awal tahun ini, meski negara-negara Eropa terus meningkatkan kekuatan kontraterorisme mereka, aktivitas teroris di Eropa tetap pada tingkat prevalensi yang tinggi. Teroris juga sengaja memilih tempat di mana ada banyak turis dan kerumunan orang yang padat untuk diserang.
Statistik awal menunjukkan bahwa dalam delapan bulan pertama tahun ini, di Eropa terdapat setidaknya 13 serangan teroris termasuk di Prancis, Inggris, Jerman, Spanyol, Belgia, Swedia, dan Finlandia, yang menewaskan 58 orang dan lebih dari 300 orang terluka.
Berkaitan dengan hal ini, PM Lybia, Fayez al-Sarraj memperingatkan bahwa meningkatnya jumlah teroris mereka akan dengan sengaja menyamar sebagai pengungsi dan memasuki Eropa melalui Laut Mediterania, yang meningkatkan krisis serangan teroris di Eropa.
Analis dunia luar juga percaya keadaan perang melawan teror masih suram dan kompleks. Kompleksitas ini terutama hadir sebagai koneksi "ISIS" ke dunia luar dan berkembang ke Asia, Afrika dan Eropa. Pada saat yang sama, sebuah laporan baru-baru ini dari sebuah organisasi riset internasional menunjukkan bahwa "ISIS" ada di lima belas negara. Dengan kata lain, "ISIS" dikonfirmasikan telah mendirikan cabang di lima belas negara, dan telah melakukan kegiatan yang sesuai dengan kemauan mereka.
Beberapa analis percaya bahwa setelah kekalahan "ISiS," arus balik sejumlah besar ekstremis akan menjadi masalah keamanan baru bagi masyarakat internasional.
Sebuah perusahaan konsultan intelijen AS baru-baru ini menerbitkan sebuah laporan yang percaya bahwa ribuan militan "ISIS" dari setidaknya 33 negara telah meninggalkan medan perang di Suriah dan Irak dan kembali ke negara asal mereka.
Menurut data dari "The New York Times" dan "The Washington Post," sejak awal tahun ini, Amerika Serikat, Australia, Inggris, Denmark, Italia, Spanyol, dan negara-negara lain telah menemukan plot untuk "serigala tunggal" serangan yang dilakukan atas nama "ISIS", beberapa di antaranya telah berhasil dilakukannya, dan pelakunya tampaknya semua adalah lahir dan dibesarkan di negara-negara tersebut (Indonesia juga tidak terkecuali).
Kedua, sulit untuk memastikan bahwa pihak keamanan dapat menangkap 100% dari mereka. Jika kita ingin mencegahnya, kita harus mencegahnya dari segala sudut, dan jika hanya menyerang dari satu sudut saja, maka setiap sudut pertahanan kita akan terganggu. Jadi ini adalah situasi yang cukup nyata dan cukup mengerikan.
Seiring kekuatan pertarungan internasional melawan "ISIS" telah meningkat, dan "ISIS" telah memasuki fase kekalahan total. Namun, ini tidak berarti bahwa akar "ISIS" telah tercabut. Pada kenyataannya, pengaruh inti dari "ISIS" adalah dalam permeasi/perembesan dan kekuatan propagasi dari ideologi ekstremisnya.
Jalal Alabbadi, sorang pakar militer dari Timteng mengatakan: Operasi untuk melawan "ISIS" akan segera berakhir. Mereka telah membunuh banyak dari mereka, tapi itu tidak cukup. Jika kita ingin melawan Daesh (ISIS), bukan di Yordania, bahkan di Suriah, mereka berada di AS, dan bahkan di Filipina, bahkan di Afrika, bahkan di Eropa sekalipun. Daesh berada di sini (sambil menunjuk otak). Jika kita ingin melawan mereka, kita harus memberitahu semua orang bahwa mereka salah, dan ini bukan dengan senjata, bukan dengan pesawat terbang.
Selama teori teroris dan ideologi teroris ada di dunia ini, mereka bisa terdengar oleh banyak orang. Selama teori teroris dan ideologi teroris tidak diberantas, terorisme tidak akan pernah diberantas. Karena itu, kontraterorisme di seluruh dunia, perang melawan teror dan ideologi teroris di semua negara di dunia ini telah dinormalisasi, dan harus dijaga.
Mungkinkah "ISIS" di Timur Tengah kembali timbul lagi? Sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi kita tahu bahwa turbulensi dan perang adalah sarang bagi pemikiran ekstremis, dan untuk mengalahkan "ISIS," di luar serangan militer, bumi di mana merreka bertahan harus dilepaskan.
Dengan kata lain, ketika orang-orang dan rakyat Timur Tengah dapat hidup dan bekerja dengan damai dan puas, barulah kelompok ekstremis seperti "ISIS" baru benar-benar bisa dieliminasi. Namun, melihat keadaan Timur Tengah saat ini, jalan panjang untuk mencapai tujuan ini masih jauh untuk bisa tercapai....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H