Dalam telegram, Wakil Komandan Luo Shunchu bahkan menggunakn istilah "logam rosongkan" untuk menggambarkan kapal perusak lama ini. Menurut catatan statistik kapal-kapal ini dihargai setara dengan 17 ton emas pada harga masa itu. Sehingga membuat Luo Shuchu mejadi begitu terperanjat dan menjadi ragu.
Tapi empat hari kemudian, dia menerima telegram dari Koandan Xiao Jinguang dengan keputusan "Barang rongsokan juga tidak masalah!"
Pada 4 Juni 1953, meskipun mengalami kesulitan keuangan yang besar, pemerintah Tiongkok pusat mengalokasikan sejumlah besar uang untuk membeli kapal perusak Kotlin-class yang seharusnya sudah dipensiunkan oleh Uni Soviet.
"Empat Kapal Perang" AL-PLA waktu itu semua orang tahu bahwa kapal perang itu adalah yang sudah seharusnya akan dipensiunkan oleh Uni Soviet, dan kapal perusak itu merupakan yang pertama kali dimiliki AL Tiongkok serta digunakan  sampai tahun 1990an.
Namun Tiongkok bagaimanapun harus memiliki "Empat Kapal Perang" Â yang sudah ketinggalan zaman, versi kapal perang yang sudah ditarik dari AL Uni Soviet. Semua pihak tahu dengan jelas memiliki kapal-kapal ini hanya untuk sementara megurangi tekanan pertahanan AL-Tiongkok.
Pada saat itu, negara maju Barat telah memperbarui sama total kapal destroyer mereka, mulai dari artileri AL hingga kapal destroyer rudal yang dilengkapai dengan rudal anti-kapal, sehingga unggul dalam transformasi efektifitas tempur kapal destroyer.
Untuk mempertahankan teritorial maritim, AL-PLA menyadari harus mengejar ketinggalan dari rivalnya negara Barat dengan mengembangkan  destroyer (kapal perusak) sendiri. Tapi saat itu keadaan negara tidak memungkinkan mendukung perkembangan ini.
Pada tahun 1960, Uni Soviet pecah dengan Tiongkok. Uni Soviet secara sepihak membatalkan "Kesepakatan 4 Juni" yang sudah ditanda-tangani antara Uni Soviet dan Tiongkok dalam membantu Tiongkok Alutsista Angkatan Laut Tiongkok, dan menarik semua tenaga ahli dan kerjasama militer dengan Tiongkok dalam meberi bantuan teknis kepada Tiongkok.
AL-PLA tidak lagi dapat mengimpor teknologi dan peraltan canggih dari Uni Soviet. Maka satu-satunya jalan keluar adalah membangun kapal perang sendiri secara mandiri.
Dengan Negara Tiongkok yang pada waktu itu baru berdiri, hampir tidak ada keahlian dalam merancang kapal perang. Apalagi, tidak ada lembaga khusus yang didirikan dalam industri perkapalan, lebih lagi tidak mempunyai sama sekali teknologi dan talenta untuk bidang ini.
Berkenaan dengan masalah ini, pada tahun 1961, Marsekal Nie Rongzhen memberi saran ke Komite Sentral Tiongkok, untuk merekrut semua tim riset kapal diaspora negara-negara luar untuk membentuk institusi kelas atas--Akademi Penelitian dan Pengembangan Kapal Tiongkok atau yang sekarang disebut China Ship Research and Development Academy (CSRDA).