Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilemma Situasi Suriah Pada Eksekusi Akhir Eliminasi "ISIS"

5 Agustus 2017   12:51 Diperbarui: 5 Agustus 2017   13:53 1569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: maps.southfront.org

Akhir-akhir ini, datang kabar baik di medan perang kontraterorisme di Irak dan Suriah. Berita tentang kematian pemimpin "ISIS" Abu Bakr al-Baghdadi, dan setelah itu kamp penting di Irak---Mosul dapat direbut kembali oleh militer Irak.

Raqqa yang disebut kapital dari dari "ISIS" juga sudah terkepung oleh pasukan oposisi Suriah, Pasukan Demokratik Suriah (SDF/Syrian Democratic Force). Beberapa negara menganggapnya ini menjadi pertempuran yang menentukan untuk "ISIS" di Irak dan Suriah.

Dengan kekalahan beruntun "ISIS di dua lini di Suriah dan Irak, timbul pertanyaan. Apakah memang betul kemangan sudah ditangan? Faktor apa yang menghambat kemajuan dalam pertempuran? Apakah "ISIS" memang akan hancur pada saat ini?

Akhir-akhir ini juga terdengar sepotong berita kabur yang menambah misteri seputar kematian pemimpin "ISIS" Abu Bakr al-Baghdadi.

Pada 17 Juli bulan lalu, menurut "Inependent" terbitan Inggris, yang mengutip pernyataan sebuah pejabat kontraterrorisme dari pemerintah Kurdistan Irak di Irak Utara---Lahur Talabany, yang mengatakan bahwa dia yakin 99% pemimpin "ISIS" Abu Bakr al-Baghdadi masih hidup, dan saat ini berada di selatan Raqqa di Suriah.

Beberapa hari sebelum itu, pada 11 Juli, situs berita TV Al-Sumeria Irak, melaporkan bahwa "ISIS" mengumumkan pemimpinnya---Abu Bakr al-Bafhdadi telah meninggal dunia.

Setelah pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden dieksekusi oleh militer AS, pemimpin "ISIS" al-Baghdadi menjadi top teroris di dunia.

Pada bulan Juni lalu berita tentang ter-eksekusinya al-Baghdadi sekali lagi muncul secara luas di seluruh dunia.

Pertama, TV RTV dari Suriah melaporkan dengan mengatakan bahwa al-Baghdadi telah terbunuh oleh artileri oposisi. Kemudian, media Rusia mengutip berita dari militer Rusia bahwa serangan udara yang dilakukan oleh militer Rusia pada akhir Mei telah membunuh al-Baghdadi.

Meskipun Presiden AS Donald Trump men-tweet di tweeternya bahwa "Baghdadi's death was a big win against the IS," (kematian al-Baghdadi merupakan kemenangan besar dalam perang melawan IS) Menteri Pertahanan AS James Mattis masih mengatakan bahwa mereka saat ini tidak dapat memverifikasi apakah al-Baghdadi telah meninggal atau tidak.

Untuk membicarakan tentang al-Baghdadi, kita harus memiliki pemahaman yang jelas: pertama-tama, ini adalah nama palsu; Kedua, ini adalah al-Baghdadi yang kedua. Pada tahun 2010, yang pertama al-Baghdadi, bernama Abu Omar al-Baghdadi telah ditembak oleh militer AS.

Dalam beberapa tahun terakhir, militer AS terus-menerus membasmi para pemimpin "ISIS." Selain al-Baghdadi sendiri, mereka telah membasmi pemimpin mereka beberapa generasi. Saat ini, secara umum kita dapat mengatakan bahwa dengan pemboman yang terus berlanjut dan pemberantasan presisi, eselon atas "ISIS" hampir semuanya telah ter-eliminasi.

Beberapa media telah mengetahui bahwa kekuatan "ISIS" sudah sangat lemah, dan mereka melakukan segalanya untuk mempertahankan wilayah yang tersisa di Suriah dan Irak.  Jika al-Baghdadi benar-benar mati, ini akan menjadi pukulan terbesar bagi "ISIS".

Larut malam sehari sebelum "ISIS" mengakui bahwa Abu Bakr Al-Baghdadi telah meninggal, PM Irak Haider al-Abadi mengumumkan keberhasilan merebut kembali Mosul di stasiun TV nasional Irak. Hanya di kota ini dimana al-Baghdadi secara terbuka menunjukkan wajahnya.

Setelah sepuluh bulan pertempuran sengit, Mosul akhirnya bisa direbut dari tangan "ISIS" ke dalam kendali pemerintah Irak. Seluruh Irak merayakan kemenangan ini.

Kelompok ekstrimis "ISIS" ini bangkit didalam situasi ketika berkecamuk perang di dalam  Irak dan Suriah, dan wilayah yang dikuasai mencapai puncaknyanya pada tahun 2014.

Pada tahun 2015, AS dan Irak, dan Rusia dan Suriah bergabung untuk menyerang kelompok ekstremis "ISIS" di Irak dan Suriah.

Pada  17 Oktober tahun lalu, PM Irak al-Abadi mengumumkan dimulainya pertempuran untuk merebut kembali Mosul. Setelah itu, pasukan gabungan maju ke arah pusat Mosul dari lima arah, dan secara bertahap mengencangkan kepungannya di sekitar ekstremis di kota ini. Tapi pertempuran selalu berlangung dengan ganas.

Pada 18 Juni lalu, pasukan Irak mengalihkan pertempuran ke kota tua. Di daerah terakhir seluas 2 sampai 3 km persegi ini, dimana militer Irak mengalami pertempuran yan paling ganas.

Sumber: Xinhua.news
Sumber: Xinhua.news
Mehtar Hamid, seorang pasukan anti-terorisme Irak menceritakan kepada wartawan Xinhua, Kami harus membuat lubang di dinding-dinding-rumah untuk membebaskan orang-orang sipil yang terjebak di sini, tapi karena hampir semua pintu dipasangi bahan peledak yang ditancapkan padanya, kalau tidak kami tidak bisa memasuki gedung. Kami membuat lubang di dinding, memasuki gedung, dan menyelamatkan orang-orang. Itu sudah menjadi kasus klasik. Terkadang kita harus  menggali, dan terkadang kita menjebol tembok. Dan kami mendapati orang-orang di dalam tempat bersembunyi di ruangan lain, dan menjebol lubang seperti ini ke dinding, (sambil menunjukkan dinding yang jebol)  jika situasi di dalamnya sangat mendesak.

Pertempuran untuk merebut kembali Mosul berlangsung 267 hari, dari awal pada 17 Oktober 2016 hingga kemenangan diumumkan pada 10 Juli 2017. Meskipun tidak ada statistik resmi yang dirilis, berdasarkan statistik yang dikeluarkan dengan sangat baik, Irak mengerahkan lebih dari 60.000 tentara di Pertempuran ini, menewaskan lebih dari 16.000 militan, dan menyelamatkan 1,1 juta penduduk Mosul.

Menurut laporan "New York Times", setidaknya 6.000 tentara Irak terluka atau terbunuh dalam pertempuran Mosul.

Ketika Donald Trump baru menjabat, dia sesumbar bahwa dia bisa merebut Mosul dalam tiga hari, sedang Obama tidak dapat merebutnya dalam beberapa bulan. Pada kenyataannya, setelah dia menjabat, dia harus menghabiskan beberapa bulan untuk bertarung di sana. Itu menunjukkan betapa sulitnya untuk merebut Mosul. Perang modern tidak seperti di Perang Dunia II, dimana bisa mebombardir meratakan kota.

Kekuatan tempur militer Irak secara bertahap pulih dan beransur-ansur membaik, dan dengan dukungan militer AS, mereka mendapatkan keuntungan mutlak dari segi senjata, peralatan, sistem senjata api, dan personil. Tapi butuh waktu sembilan bulan untuk merebut kembali Mosul.

Dalam pertempuran untuk merebut kembali Mosul, militer Irak, militan Kurdi, militan suku Sunni, milisi Syiah, AS dan Iran bergabung untuk melawan "ISIS." Pihak-pihak yang terlibat dalam pertempuran ini mewakili berbagai kekuatan politik yang membatasi keleluasaan Irak.

Dengan situasi demikian, perebutan kembali Mosul, apakah berarti satu sukses akhir dari perang melawan terorisme di Irak? Apa isu sulit yang menguji Irak?

Pada 17 Juli, waktu setempat, Dewan Keamanan PBB mengadakan sebuah pertemuan untuk membahas masalah Irak, dan Jan Kubis, Wakil Khusus Sekretaris Jenderal untuk Irak dan Kepala Misi Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Irak, mengatakan bahwa pembebasan Mosul sangat penting, namun jalan di depan Irak masih penuh tantangan, dan untuk benar-benar mengalahkan "ISIS," itu menjadi masalah mendasar di Irak yang perlu dipecahkan. Jadi isu mendasar apa yang ada di Irak?

Dengan dibebaskannya Mosul berarti bahwa "ISIS" tidak lagi mengendalikan kota besar manapun di Irak. Tapi masih menguasai puluhan kota kecil dan desa-desa. Daerah yang dikuasainya lebih dari 10.000 kilometer persegi, termasuk daerah selatan dan barat Mosul. Di tempat ini, sangat sulit untuk memberantas kekuatan "ISIS". Mereka bisa berbaur dengan warga sipil dengan sangat mudah. Jadi memetakan mereka sama sulitnya seperti dengan merebut kembali Mosul.

Menurut opini Radio France Internationale, setelah Mosul pulih, faktor ketidakstabilan yang besar adalah pertengkaran pembalasan timbal balik antara Sunni dan Syiah. Dan masalah-masalah lainnya yang berasal dari Kurdistan Irak, di Irak utara.

Pada tahun 2014, setelah "ISIS" menduduki kota bagian utara Mosul yang penting, kontrol Irak terhadap Irak utara secara bertahap berkurang.

Di satu sisi, militan Kurdi yang didukung AS yang dengan keras menolak "ISIS", namun di sisi lain, mereka mengambil kesempatan untuk menduduki 70% Irak utara, dan menguasai Kirkuk yang kaya dengan cadangan minyaknya, kemudian mengumumkan bahwa mereka akan mengadakan referendum kemerdekaan pada bulan September tahun ini.

Suku Kurdi yang menuntut kemerdekaan tidak hanya menantang stabilitas Irak, ini juga bisa menjadi demonstrasi bagi orang-orang Kurdi yang tinggal di Turki dan Iran dan membuat negara-negara sekitarnya merasa sangat tidak nyaman.

Presiden Turki, Recep Erdogan menyatakan: Setiap langkah yang akan menimbulkan masalah baru di Irak, sebuah negara yang memiliki cukup banyak masalah, hanya akan meningkatkan ketidakstabilan.

AS yang telah menginvestasikan uang dan tenaga untuk mendukung militan Kurdi di Irak, juga telah menyatakan keberatannya atas tuntutan kemerdekaan suku Kurdi.

Brett McGurk, Special President Envoy for the Global Coalition to Counter ISIS (Utusan Khusus Presiden AS untuk Koalisi Global untuk Menghadapi ISIS) menyatakan: Kami telah meminta pemerintah daerah Kurdistan untuk mempertimbangkan kembali keputusan (referendum) kami mendesak mereka untuk melakukan dialog dengan pemerintah pusat atas dasar konstitusi Irak.

Setelah Perang Irak pada tahun 2003, AS mendukung pembentukan pemerintahan Syiah, yang menghacurkan keseimbangan asli tatanan politik dalam negeri Irak, dan Irak mengalami kekosongan kekuasaan sehingga menyediakan ruang yang luas bagi "ISIS" untuk berkembangkan.

14 tahun kemudian, "ISIS" dikalahkan di Mosul, dan struktur kekuasaan Irak menghadapi perombakan lain sekalinlagi. Kompetisi dan permainan kekuasaan di antara berbagai kekuatan dan berbagai faktor, telah membuatnya tidak kepastian di masa depan, hal ini mungkin akan memberi "ISIS" ruang baru untuk dieksploitasi lagi.

Strategi mereka mungkin tidak lagi bersikeras melakukan perlawanan militer, melainkan menanam benih jihad Islam, dan melakukan hibernasi (berdiam diri dulu), dan agar situasi keamanan domestik di Irak semakin memburuk, sehingga mereka dapat kembali berkuasa.

Jika pemerintah pusat Irak dan Kurdistan Irak menjadi konflik, atau terjadi bentrok militer yang parah, ini akan menjadi kesempatan penting bagi "ISIS."

Mosul, di Irak dan Raqqa, di Suriah, adalah dua kota penting yang diduduki oleh "ISIS." Sama seperti pertempuran untuk merebut kembali Mosul memasuki tahap akhir, pertempuran untuk merebut kembali Raqqa dimulai.

Saat ini, oposisi Suriah yang didukung AS telah mengepung Raqqa. Namun, sama seperti dunia luar berpikir bahwa mereka akan melakukan satu demi satu kemenangan, tapi kenyataanya pertempuran untuk membebaskan Raqqa berkembang sangat lambat.

Mengapa mereka tidak terus merangsek ke Raqqa? Kekuatan apa yang mengikat tangan dan kaki mereka dalam serangan itu?

10 Juli lalu, di Jenewa, Swiss, perundingan damai putaran ke-7 dimulai secara resmi, dan keberhasilan merebut kembali Mosul membesarkan hati para perserta perundingan.

Staffan de Mistura, Utusan Khusus PBB untuk Suriah mengatakan: Kemarin ini  telah terjadi di Mosul dan ini mungkin akan segera terjadi di Raqqa, ini adalah demontrasi prioritas bersama yang baru.

Raqqa adalah kota keenam terbesar di Suriah. Setelah diduduki oleh "ISIS" pada tahun 2014, kota itu dipandang sebagai ibukota "ISIS" di Suriah bersama dengan Mosul, menjadi satu dari dua kamp utama "ISIS" di Timur Tengah.

Pad 6 juni lalu, saat pertempuran untuk Mosul berakhir, pengepungan Raqqa mencapai sebuah crescendo, saat itu serangan dimulai. "Atas nama Komando Operasi Kemurkaan Efrat (Wrath of Euphrates Operation), saya mengumumkan sebuah pertempuran besar untuk membebaskan Raqqa, yang telah dirubah menjadi ibukota terorisme oleh bandit ini!" Seruan Panglima Pasukan Demokratik Suriah.

Serangan terhadap Raqqa terjadi dari timur, barat dan utara. Pasukan utama penyerangan terhadap Raqqa adalah Pasukan Demokrat Suriah, pasukan yang didukung oleh AS dan dipimpin oleh militan Kurdi Suriah. AS berusaha untuk mendukung berbagai militan oposisi untuk secara bertahap mengubah keseimbangan pasukan, dan menggunakan militan oposisi ini untuk menggulingkan pemerintahan Bashir al-Assad, namun saat ini, berbagai militan oposisi yang didukung oleh AS telah mengalami beberapa tahap. Awalnya, mereka mendukung Free Syrian Army, dan kemudian, mereka terbukti mengecewakan dan sedikit memberikan efek pada AS, sehingga AS beralih mendukung Pasukan Demokratik Suriah.  

Sejak tahun lalu, Pasukan Demokrat Suriah telah maju menyerang garis pertahanan kamp "ISIS" utama Raqqa. Analis percaya bahwa selain kondisi alam yang matang, AS memainkan peran penting dalam keputusan untuk bergerak melawan Raqqa.

Pada 9 Mei, Gedung Putih AS memverifikasi bahwa Presiden AS Trump telah memberi wewenang kepada Departemen Pertahanan AS untuk memberikan senjata kepada militan Kurdi di antara Pasukan Demokratik Suriah yang didukung oleh AS untuk memastikan keberhasilan merebut kembali basis utama "ISIS" Raqqa, Di Suriah. Koalisi internasional pimpinan AS juga melakukan serangan udara terhadap "ISIS" di kawasan ini.

Pada 2 Juli lalu, dengan dukungan serangan udara dari koalisi anti terorisme internasional pimpinan AS, Pasukan Demokratik Suriah maju ke Raqqa selatan, sepenuhnya mengepung Raqqa.

Pada tanggal 4 Juli, mereka menyerang daerah kota tua Raqqa, yang paling dipertahankan "ISIS" dan dipandang sebagai langkah besar pertama untuk benar-benar merebut kembali Raqqa.

Beberapa ahli percaya bahwa ini yang menjadi alasan mengapa AS sangat cemas sehingga ingin mengendalikan perubahan di Suriah sesegera mungkin setelah "ISIS" dikalahkan.

Sumber: http://www.bbc.com
Sumber: http://www.bbc.com
9 Juni lalu, sekitar 50 km timur laut kota penting al-Tanf di selatan Suriah. Enam tahun setelah krisis Suriah pecah, militer Suriah kembali ke kota ini di perbatasan Suriah dan Irak untuk pertama kalinya, ini mempunyai arti yang sangat signifikan.

Sarikis Kassargian, seorang analis politik Suriah mengatakan: Kedatangan pasukan Suriah ke perbatasan dengan Irak berarti bahwa sebuah koridor baru akan dibuka antara Suriah dan Irak. Koridor ini, dalam waktu singkat akan berarti  Irak akan lebih efektif dalam krisis Suriah, dan bagaimana mereka untuk mendukung Suriah.

Namun, meski terjadi peningkatan kekuatan senjata pada Pasukan Demokratik Suriah, tapi mereka masih menghadapi perlawanan sengit dari "ISIS", hal ini karena kedua belah pihak telah meletus dalam konflik di banyak wilayah, sehingga kemajuan Pasukan Demokratik Demokratik telah melambat.

Seorang pejabat Pasukan Demokratik Suriah memperkirakan bahwa meskipun 18% dari Raqqa sudah sepenuhnya dikuasai oleh Pasukan Demokratik Suriah, masih ada sekitar 2.000 terrois aktif dalam Raqqa.

Sama seperti Pasukan Demokrat Suriah yang terlibat dalam penyerangan di Raqqa, militer Suriah juga melakukan terobosan dalam pertempuran di sekitar Raqqa.

Pada 15 Juli, di bawah perlindungan serangan udara Rusia yang gencar, militer Suriah membebaskan beberapa ladang dan desa di daerah barat daya Provinsi Raqqa. Dalam beberapa bulan terakhir, kelompok milisi yang didukung oleh Suriah dan Iran telah merebut wilayah timur kota terbesar kedua Suriah, Aleppo, serta tanah di sebelah barat Sungai Efrat.

Analis percaya bahwa secara strategis melepaskan Raqqa adalah tindakan yang militer Suriah yang terpaksa harus lakukan. Dalam situasi seperti ini militer Suriah perlu lebih mengendalikan Deir ze-Zor, dan mempertahankan kontrol terhadap perbatasan dengan Irak.

Provinsi Deir al-Zour terletak di tepi Sungai Efrat, sebelah timur Raqqa. Saat ini, militer Suriah menguasai ibukota Deir al-Zour provinsi--- Deir al-Zour. Tapi sebagian dari wilayah lain provinsi Dier ez-Zor saat ini masih berada di bawah kendali "ISIS", media AS mengutip sebuah informasi yang mengatakan bahwa sebagian besar kepemimpinan "ISIS" telah pindah ke sini. Tepatnya kamp utama mereka di Mayadin, di wilayah timur provinsi Dire ez-Zor.

Menururt laporan dari "New York Times" yang berbasis di AS, Mayadin adalah basis utama dimana "ISIS" mempromosikan dan melakukan rekrutmen secara online.

Sarikis Kassargian analis politik Suriah mengatakan: "ISIS", jika mereka mundur dari Raqqa, pastinya  akan masuk ke Deir al-Zour, analis memperkirakan sebagian besar pejuang ISIS Mosul akan pindah ke Deir al-Zour, jadi mereka sedang membicarakan stasiun terakhir "ISIS" yang bukan hanya di Syria. saja, tapi di seluruh dunia, karena jika "ISIS" di Deir al-Zour sudah dihabisi,  itu berarti "ISIS" sudah selesai juga.

Ketika kita melihat peta, kita dapat mengetahui bahwa Deir al-Zour adalah daerah terisolasi untuk militer Suriah, yang dikelilingi oleh kekuatan musuh di semua sisi. Pada saat yang sama, di Suriah selatan, sekitar al-Tanf, milisi Arab Sunni yang didukung oleh Jordan aktif menyerbu, dan bergerak ke utara.

Meskipun militer Suriah telah mengunci jalur milisi Arab Sunni di utara dari al-Tanf, jika kedua belah pihak tidak berkoordinasi, AS mungkin mulai mengatur penerjunan dari udara dari al-Tanf, untuk melewati wilayah yang dikuasai militer di daratan, untuk mendekati Deir al-Zour dan Raqqa.

Pada saat yang sama, mereka akan menyapu ke daerah yang menuju perbatasan Irak di sepanjang Sungai Efrat. Jika hal ini terjadi dikhawatirkan pasti ada konflik militer antara koalisi anti-"ISIS", dan situasi akan menjadi lebih rumit.

Sekarang kita melihat situasi medan perang Suriah terlihat cukup tenang. Semua pihak tidak ada yang terlalu terburu-buru atau cemas. Alasan mendasarnya karena mereka masih belum menyetujui pengaturan pascaperang.

Untuk waktu yang lama, intervensi kekuatan luar dalam perang saudara Suriah adalah untuk memerangi terorisme, namun kenyataannya tidak hanya untuk memerangi terorisme.

Kini dimana perang melawan terrorisme sudah hampir berakhir, kekuatan "ISIS" di Suriah terus berlanjut mengalami antrofi (tidak bertumbuh atau menyungsut) , maka perperangan berebut teritorial tidak akan terhindarkan lagi. Ada permainan intrik antara kekuatan di balik pertempuran merebut Raqqa.

Siapa pun yang dapat mengontrol dan mengendalikan akhir dari Raqqa akan mendapatkan chip untuk dapat digunakan dalam negosiasi politik di masa depan.

Dengan pertempuran untuk merebut Raqqa dimulai, kontes kekuasaan di luar pertempuran juga dimulai. Dalam kontes ini, hubungan halus antara Turki, AS, terutama telah merebut perhatian.

Pada kenyataannya, pada 6 Juli, pada hari dimana kaum oposisi Suriah, Pasukan Demokratik Suriah mengumumkan serangan mereka terhadap Raqqa, PM Turki Binali Yildirin mengatakan bahwa jika serangan Raqqa menimbulkan risiko keamanan ke Turki, Turki tidak akan ragu untuk melakukan pembalasan, namun dia tidak memberikan rincian lebih lanjut.

Opini publik di Turki membandingkan ancaman terhadap keamanan Turki yang dilakukan "ISIS" dan Partai Pekerja Kurdi (PKK) dan cabang-cabangnya lebih besar ancamannya terhadap Turki. Turki tidak ingin melihat situasi otonomi Irak Kurdi di Suriah.

Bora Bayrakar seorang cendikiawan Turki mengatakan: Bagi Turki, perhatian utama dan ancaman utama adalah PKK dan organisasi afiliasinya, PYD, YPGN, apapun namanya, karena kelompok ini mencoba mendirikan pijakan baru di wilayah Turki, jadi ini adalah sebuah ancaman nyata yang mengancam Turki.

Sebenarnya, di awal tahun lalu, permainan intrik antara AS dan Turki sudah terjadi di seputar serangan terhadap Raqqa. Pada 5 November tahun lalu, Pasukan Demokratik Suriah menginisiasi awal "Wrath of Euphrates Operation/Operasi Kemurkaan Sungai Efrat)

Tapi pada saat itu, tujuan operasi tersebut bukanlah sebuah serangan, melainkan untuk mengisolasi kamp utama "ISIS" Raqqa. Pada awal operasi, Pasukan Demokratik Suriah maju menuju Raqqa dari padang pasir di utara, dan menguasai lebih dari 15 desa dalam satu gerakan.

Namun, sejak pasukan gabungan mengumumkan akhir fase pertama, kemajuan operasi "Wrath of Euphrates" telah terlihat melambat.

Pada saat itu, analis Suriah percaya bahwa tidak seperti persiapan pasukan Mosul yang memakan waktu 5 bulan, pengumuman operasi Raqqa sangat mendadak. Dari perspektif militer, tidak memiliki kapasitas nyata untuk melawan "ISIS."

Analis percaya bahwa operasi Pasukan Demokratik Suriah sebenarnya adalah perang propaganda glamor, dengan sau kali mendayung beberapa pulau terlampaui. Ini dianggap sebagai pemilihan AS dan juga berhasil membentuk koalisi menjadi kekuatan lokal untuk melawan "ISIS" seperti kata AS. Ini juga untuk mengalihkan operasi Turki di Suriah.

Pada saat itu, AS mengambil kebijakan yang samar untuk menjernihkan konflik antara Turki dan Kurdi, namun sebelum semua pihak bisa membentuk front persatuan, mereka tentu saja tidak akan menimbulkan ancaman serius terhadap "ISIS."

Dalam situasi saat ini, dengan seorang Presiden AS yang baru menjabat, sebuah adegan serupa tampaknya sedang berlangsung, sebuah hubungan Turki-AS menghadapi lebih banyak percobaan.

Bora Bayraktar mengatakan: Raqqa sangat penting, Siapa yang akan mengendalikan kota ini akan memiliki suara saat negosiasi politik Suriah dimulai.

Di sisi lain, karena Turki masih memiliki suara yang cukup besar dalam krisis Suriah,  jika operasi Raqqa menjadi pertempuran domplang ke Mosul, suara Turki akan berkembang lebih jauh lagi.

Namun, sebuah berita beberapa minggu yang lalu menambahkan bahwa ada variabel baru pada hubungan antara AS, Turki, dan Kurdi, serta pertempuran untuk merebut kembali Raqqa. Beberapa media melaporkan bahwa pernyataan yang diberikan Menteri Pertahanan AS Mattis kepada pemerintah Turki pada 22 Juni mengatakan bahwa begitu "ISIS" berhasil dikeluarkan dari Raqqa, militer AS akan mengumpulkan kembali senjata yang telah diberikannya kepada orang Kurdi.

Analis politik Suriah percaya bahwa ini menunjukkan bahwa AS memandang Kurdi sebagai alat operasi, dan lebih peduli pada pengendalian Suriah.

Mazen Bilah, seorang analis politik mengatakan: Saya percaya bahwa AS akan mengumpulkan beberapa kendaraan lapis baja dan senjata berat, namun untuk AS, yang terpenting adalah basis udara di Suriah utara, sehingga bisa mempengaruhi proses politik. Mereka tidak peduli dengan orang Kurdi.

Dalam situasi kompleks melawan "ISIS", plot masing-masing pihak terlihat jelas: pandangan Barat sekutu dari Baghdad, namun menolak untuk bekerja sama dengan pemerintahan al-Assad dan Iran. Turki tidak bersedia membantu orang-orang Kurdi berperang melawan "ISIS" karena tidak termasuk pemerintahan al-Assad dan tidak mempercayai orang Kurdi; Beberapa negara Teluk memiliki emosi yang rumit tentang nasib "ISIS", karena kekalahan "ISIS" akan berarti kemenangan bagi Iran dan Suriah.

Selain itu, beberapa analis percaya bahwa saat ini, pemerintah Suriah berharap bahwa kampanye Raqqa akan berlangsung cukup lama untuk menunda hancurnya"ISIS" sehingga memmungkinkan mereka mendapatkan lebih banyak waktu untuk masuk ke padang pasir dan meningkatkan pengepungan pada Dier ez-Zor.

Namun Pasukan Demokrat Suriah berharap bisa segera mengakhiri operasinya dan memaksa "ISIS" ke padang pasir untuk menciptakan lebih banyak masalah bagi militer Suriah.

Isu terbesar sekarang adalah bagaimana masing-masing faksi berkoordinasi dalam pertarungan terakhir untuk menghancurkan "ISIS." Solusi yang paling rasional adalah  pantai Sungai Efrat harus ditempati oleh pasukan Sunni. Demikian menurut para analis dunia luar.

AS mendukung Pasukan Demokratik Suriah, yang terdiri dari tentara Sunni. Meskipun di sekitar mereka adalah suku Kurdi, separuh lainnya adalah oposisi Sunni. Tetapi jika AS mengandalkan kekuatan ini untuk turun ke sungai, mereka harus mencapai kesepakatan yang baik dengan pemerintah Suriah, Iran dan Rusia, yang tidak dapat menyentuh Deir ez-Zor, karena jika mereka melakukannya, maka sebuah Perang sipil baru akan meletus

Dan jika perang sipil baru meletus, akan memberikan kondisi yang baik bagi "ISIS" untuk bangkit kembali dari kematiannya.

Di Irak, "ISIS" masih menguasai wilayah besar kota-kota utara seperti Tal Afar dan Hawija, serta Provinsi Anbar. Di Suriah, Lembah Efrat dan daerah lainnya belum dibebaskan atau direbut kembali.

Yang lebih penting lagi, adalah ancaman "ISIS" berpose ke dunia tidak hanya dalam aktivitas teroris sendiri, dalam hak ini juga termasuk ekspor pemikiran ekstremis. Janji yang terus menerus "loyal" dan "kesetiaan" kepada "ISIS" dari seluruh dunia telah memungkinkan terbentuknya cabang luar negeri untuk terus tumbuh.

Menurut AFP. Karena "ISIS" terus kehilangan kota-kota di Suriah dan Irak, mungkin akan lebih cenderung melakukan serangan balasan.

"The Boston Globe" terbitan AS yang telah memenangkan lebih dari 20 hadiah Pulitzer, menerbitkan sebuah editorial yang secara tajam menyatakan bahwa "ISIS" hanyalah sebuah gejala, namun keruntuhan politik adalah akarnya. Faktor paling penting yang telah memberi nutrisi bagi gerakan jihad adalah runtuhnya pemerintah pusat yang efektif suatu negara, dan dalam kaitannya dengan tren ini, negara-negara Barat, yang dipimpin oleh AS, semuanya adalah kolaborator. Menguji perang melawan terorisme dengan ketat di Irak dan Suriah, kita dapat melihat pertempuran tanpa akhir antara sekte religius dan koalisi kontraterorisme yang tidak terkoordinasi yang telah membatasi keberhasilan lanjutan melawan "ISIS".

Negara-negara Barat yang telah berada pada satu pihak dengan rencana yang tidak pasti hanya akan menimbulkan hasil yang buruk atau kegagalan pemeritnah nasional, dan hal ini hanya akan melanjutkan nasib buruk / kutukan tanpa akhir "semakin banyak kontraterrorisme, semakin banyak terorisme yang muncul."

Sumber; Media TV dan Tulisan Luar Negeri 

1 | 2 | 3 | 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun