Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rusia Berang terhadap AS Gara-gara Senjata Kimia dan Rudal Tomahawk Menyerang Syria

27 April 2017   12:22 Diperbarui: 27 April 2017   21:00 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan April tahun ini, situasi di Semenanjung Korea dan Syria nampaknya memanas pada saat yang bersamaan, situasi menjadi gawat diluar kendali dan seakan sudah dijurang peperangan yang mengkhawatirkan dunia.

Kini dua kawasan ini menjadi ajang kontes dua kekuatan utama dunia, di akhir-akhir tahun belakangan ini tindakan yang menegangkan sering dimainkan pada panggung ini. Namun belakangan ini banyak hal telah terjadi dalam dua titik panas pada saat yang bersamaan.

Hal ini menggambarkan satu realitas yang patut dicatat, dimana Donald Trump yang hampir berkantor 100 hari, sorang presiden yang telah banyak dijuluki “pemberontak” dengan tiba-tiba membuat serangkaian perubahan besar dalam kebijakan diplomatik dan keamanannya. Tampaknya AS kembali pada kebijakan luar negerinya.

Untuk isu-isu perubahan ini yang menyangkut Syria dan Rusia, CNN menggambarkan Trump sebagai “melakukan petaran U ( U turn ) yang menakjubkan.”

Diantaranya, kita melihat ada tanda-tanda paling awal hubungan antara AS dan Rusia yang telah mengalami perubahan terbesar dan tercepat selama ini. Menyangkut hal ini penulis coba membahas ada apa dibalik yang membuat perubahan Trump.

Pada 11 April lalu, Menlu AS Rex Tillerson setelah menghadiri Pertemuan para menlu negara G7, langsung menuju ke Rusia dan mulai melakukan lawatan pertamanya ke Moskow sejak menjabat sebagai Menlu.

Tapi tuan ini yang sebelumnya telah dianggap kawan lama Presiden Rusia Vladimir Putin telah mempertunjukkan ketegangan antara AS dan Rusia dalam kunjungannya saat ini.

Pada 12 April waktu setempat, Menlu Rusia Sergei Lavrov bertemu dengan Menlu AS Rex Tillerson, namun suasana tampaknya canggung. Ketika mereka berjabatan tangan dan berfoto, kedua orang ini tampaknya muram dan saling menghindari kontak mata, bahkan tidak memandang ke arah yang sama, demikian juga ketika berjumpa pers kemudian, kejadiannya sama.

Saat akan dimulai pembicaraan seorang wartawan (AS) langsung nyelengtuk menanyakan kepada Lovrov: “Pak menteri, orang Rusia tidak percaya intelijen, sungguh percaya diri sekali Anda, Pak menteri?”

Wartawan AS ini melanggar protokol standar dan mengajukan pertanyaan sebelum kedua Menlu membuat pernyataan mereka, menyebabkan Lavrov dengan marah menanggapi dalam bahasa Inggris: “Siapa yag membawa Anda kesini? Sipa yang mengajari Anda sopan santun?”

Setelah Lavrov mengeluarkan pernyataannya, dia tetap tidak melupakan Wartawan AS tersebut. Di depan Tillerson, Lavrov dengan blak-blakan mengatakan pada wartawan ini: “Anda sekarang boleh berteriak-teriak.”

Pada hari itu juga, di tempat lain nun jauh ribuan mil terjadi juga adegan kasar. Sore hari 12 April waktu setempat, di New York. Pada pertemuan tingkat Sekjen PBB, Rusia sekali lagi men-veto resolusi tentang senjata kimia Syria yang diajukan oleh AS, Inggris dan Prancis. Koflik seperti ini sudah berkali-kali terjadi sebelumnya dan sudah tidak heran. Yang mengejutkan justru konflik antara dua kubu tersebut saat KTT.

Ambassador Inggris di PBB Matthew Recoil menyatakan: “Kebanggaan Rusia dalam proses Astana telah berubah menjadi penghinaan. Dan Kredibilitas dan reputasi Rusia di seluruh dunia telah diracuni oleh racun yang terkait dengan Assad.”

Wakil Ambassador Rusia di PBB Vladimir Safronkov dengan keras menyatakan : “ Ketua, saya akan minta Anda memastikan aturan prosedur pertemuan ini dihormati. Jika beberapa anggotanya berbicara dengan tidak hormat, saya tidak dapat menerima Anda menghina Rusia.”

“The Guardian” harian Inggris menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam Dewan Keamanan PBB “kasar dan tidak sopan.” Al Jazeera mengatakan bahwa ini mencerminkan perpecahan yang mendalam antara Rusia dan Barat.

Serangan Rudal AS Tomahawk

Pada pagi hari 17 April 2017, waktu setempat, AS secara tiba-tiba melancarkan serangan udara ke salah satu pangkalan angkatan udara pemerintah Syria. Militer AS dari dua kapal perusak Arleigh Burke-class; USS Porter dan USS Ross yang ditempatkan di bagian timur Laut Mediterania, meluncurkan 59 buah rudal jelajah Tomahawk ke Pangkalan Angaktan Udara Shayrat 40 km tenggara Homs, Syria.

Presiden Trump secara pribadi menyetujui operasi militer ini dan menonton video jarak jauh jalannya misi. Ini adalah operasi militer besar pertama yang dilakukan militer AS sejak Trump memasuki Gedung Putih.

Syria mengklaim bahwa serangan militer AS merupakan “tindakan agresi.” Tapi penyebab militer AS melakukan serangan tesebut dikaitan dengan serangan senjata kimia beberapa hari sebelumnya.

Pada 4 April waktu setempat, “Observasi Syria untuk HAM ( Observatory for Human Right),” sebuah organisasi pro-oposisi yang berkantor pusat di London, melaporkan bahwa di sebuah kota selatan Idlib terjadi serangan udara dengan menggunakan gas beracun atau senjata kimia yang berakibat setidaknya 58 orang tewas, 11 diantaranya adalah anak-anak.

Pada 6 April, Kementerian Kesehatan Turki mengatakan bahwa hasil otopsi menunjukkan korban yang meninggal diakibatkan gas racun.

Sekjen PBB Antonio Guterres menyatakan: Kejadian kemarin yang mengerikan menunjukkan kejahatan perang sedang terjadi di Syria, hukum kemanusiaan internasional masih sering saja dilanggar. Dewan Keamanan PBB akan mengadakan pertemuan hari ini, kami telah meminta pertanggung jawaban sehubungan dengan kejahatan yang telah dilakukan ini, dan saya yakin Dewan Keamanan akan menjalankan tanggung jawabnya.

Vladimir Safronkov, wakil duta besar Rusia untuk PBB mengatakan, masalah mendesak untuk hal tersebut adalah dilakukan penyelidikan penuh mengenai hal ini sebelum mereka dapat mengkonfirmasi apa yang telah terjadi dan siapa pelakunya.

Namun, banyak pejabat senior pemerintah AS selalu percaya bahwa pemerintah Syria yang telah melancarkan serangan bom kimia tersebut, dan Rusia telah mengetahui hal itu sebelumnya.

Menhan AS James Mattis menyatakan: Selasa lalu pada 4 April, rezim Syria menyerang bangsanya sendiri dengan menggunakan senjata kimia. Saya secara pribadi sedang mempelajari kembali laporan intelijen tersebut dan tidak diragukan lagi bahwa rezim Syria bertanggung jawab atas keputusan untuk penyerangan ini dan yang melakukan penyerangan itu sendiri.

Sebenarnya sejak krisis Syria pecah, kecurigaan adanya senjata kimia telah menyelimuti rezim Syria beberapa kali. Pada 20 Agustus 2012, saat Presiden Obama menarik garis merah untuk intervensi militer AS. Obama menyatakan: “Kita sangat jelas kepada rezim al-Assad, garis merah untuk kita mulai melihat keberadaan sejumlah besar senjata kimia di sekitar rezim ini dan telah dimanfaatkan. Itu akan mengubah kalkulus saya dan itu akan mengubah persamaan saya.”

Pada bulan Agustus 2013, yang tampaknya merupakan serangan senjata kimia terjadi di Ghouta Timur, di pinggiran ibukota Syria, Damaskus. Diberitakan bahwa gas sarin digunakan dalam serangan tersebut, dan kedua belah pihak mulai saling “melempar lumpur”(saling menuduh)  satu sama lain pada waktu itu. Meskipun tidak ada bukti nyata, Inggris dan Prancis tampaknya percaya bahwa Syria telah melewati “garis merah” jadi memungkinkan untuk di-intervensi militer.

Namun, pada kesempatan kunci ini, AS tampaknya menunjukkan pengekangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tinggal tetap hening yang susah dijelaskan. Ini memberi kesempatan kepada Rusia untuk mengusulkan rencana untuk “mengganti senjata kimia dengan perdamaian.”

Untuk peristiwa ini. Pemerintah AS mengklaim bahwa pemerintah Syria telah menggunakan senjata kimia tersembunyi untuk menyerang warga sipil. Pemerintah Syria mengatakan bahwa ini adalah “jebakan” yang dilakukan kelompok ekstrimis atau oposisi, yang dengan sengaja menempatkan tabung ber-gas racun di pemukiman warga dan memancing militer Syria untuk mengenbomnya, yang menyebabkan tragedi ini.

Dan kemajuan perang kimia kelompok ekstrimis telah menyebabkan penyelidik membingunkan apa yang sebenarnya tejadi.

Vladimir Safronkov mengatakan : Mari kita lihat sumber masalahnya. Titik balik penggunaan senjata kimia di Syria adalah ketika pemerintah AS mengatakan, jika pemerintah Syria melintasi “garis merah” maka militer akan melakukan intervensi dalam konflik Syria. Dan karena itulah teroris dan ekstrimis mulai menggunakan senjata kimia sebagai alat provokatif.

Perwakilan Tetap AS untuk Duta Besar PBB, Nikki Haley menuduh Rusia dengan mengatakan bahwa dukungan Rusia terhadap pemerintah Bashar al-Assad yang telah menyebabkan situasi menjadi seperti hari ini. Kita tahu jika tidak dilakukan suatu tindakan, serangan serupa akan terus berlanjut. Assad tidak memiliki insentif/beriniat untuk berhenti menggunakan senjata kimia selama Rusia terus melindungi konsekuensi dari rezimnya.

Pada 12 April, waktu setempat, President Bashar al-Assad secara eksklusif diwawancarai oleh AFP di ibukota Syria, Damaskus. Ini adalah wawancara pertama kalinya oleh media asing setelah serangan udara AS ke pangkalan Syria. Dia mengatakan: sejak bergabung dengan “Konvensi Senjata Kimia” pada tahun 2013, Syria telah menyerahkan semua senjata kimianya, dan militer Syria saat ini tidak memiliki senjata kimia dalam bentuk apapun.

Banyak analis yang memperkirakan, sangat masuk akal jika pemerintah Syria adalah pihak yang paling tidak berharap adanya krisis senjata kimia, dan  Rusia tahu hal ini dengan sangat jelas. Jadi kita bisa memperkirakan kekuatan atau pihak mana yang melakukan hal buruk itu, karena jika itu terjadi sangat tidak menguntungkan pemerintahan Syria (Assad).

Kenyataannya telah membuktikan bahwa penanganan insiden senjata kimia di Syria pada tahun 2013 tidak dikelola benar-benar tentang situasi buruk ini. Dengan melihat keadaannya sekarang, senjata kimia sekali lagi menjadi penyebab gejolak di Syria, dan dijadikan alasan AS untuk melakukan serangan militer terhadap Syria. Jadi masalah ini masih menjadi suatu yang  mengganggu pemerintah Syria.

Situasi di Syria yang telah berkembang menjadi pertempuran, telah digambarkan sebagai “kekacauan yang paling kacau” untuk beberapa waktu. Insiden senjata kimia yang sulit diverifikasi atau disangkal juga telah digunakan oleh negara-negara Barat dan faksi-faksi oposisi di Syria sebagai senjata politik melawan pemerintah Syria dalam pertarungan opini publik.

Namun bagaimanapun, serangan mendadak AS untuk mengatasi kekacauan itu sedikit tidak terduga. Jadi, mengapa Trump yang mejabat kurang dari 100 hari, tiba-tiba memutuskan untuk melihat “garis merah” untuk intervensi militer langsung, apa maksud AS mengguncang dengan mengayunkan pedangnya?

Pada 5 April, sehari setelah insiden senjata kimia yang mencurigakan di Syria, Presiden Trump mengatakan kepada media setelah bertemu dengan Raja Abdullah II dari Yordania di Gedung Putih yang menurutnya, ini bukan sebuah masalah dengan melewati “garis merah,” karena “peringatan” yang dikeluarkan Obama saat itu hanyalah sebuah “cek kosong.”

Trump menyatakan: “Saya pikir pemerintahan Obama memiliki kesempatan besar untuk mengatasi krisis ini, sejak lama ketika dia menetapkan “garis merah” di pasir. Dan ketika dia melewati batas itu melewati batas itu setelah membuat satu ancaman, saya pikir itu membuat kita kembali menjauh tidak hanya pada Syria, tapi juga di banyak tempat belahan dunia yang lain, karena itu dianggap “ancaman kosong” belaka.

Di Syria enam tahun sejak perang saudara pecah, kelompok-kelompok ekstrimis telah menggunakan kekacauan internal di Syria untuk menguasai wilayah yang luas. Kemudian tempat ini menjadi arena pertikaian antar berbagai negara.

Pada tahun 2016 dengan bantuan kuat Rusia dan Iran, militer Syria berhasil memulihkan Aleppo, dari sini Syria mendapatkan inisiatif dalam pertempuran darat dengan satu tindakan. Kemudian terus dilancarkan serangan terhadap kekuatan oposisi yang masih tersisa di Syria timur dan utara.

Pada 24 Januari tahun ini, dengan dorongan Rusia, Turki dan Iran, pemerintah Syaria dan oposisi mengadakan pembicaraan di Astana, ibukota Kazakhtan. Setelah perundingan, Rusia, Turki dan Iran mengumumkan bahwa pembicaraan Astana akan menjadi platform untuk pembentukan mekanisme bersama untuk memantau gencatan senjata dan memastikan hal itu benr-benar dilaksanakan. Saat ini mereka telah melakukan tiga kali pertemuan.

Pada akhir Maret tahun ini, kunjungan Presiden Iran Hassan Rouhani ke Rusia semakin membuktikan kerjasama yang semakin mendalam antara negara mereka. Menlu Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan: Pangkalan Iran masih bisa digunakan oleh militer Rusia sampai ‘ISIS’ benar-benar dikalahkan.”

Perbedaan Obama dan Trump

 

Perbendaan tebesar antara Trump dan Obama untuk masalah Syria adalah soal bagaimana memandang pengaruh Iran. Pandangan untuk Rusia Trump dan Obama hampir sama. Mereka percaya Rusia adalah pihak yagn memiliki kepentingan disana, dan mereka seharusnya memberi bagian keuntungan tertentu, namun berbeda dengan Iran.

Selama kampanye, Trump mengatakan, dia pasti akan menekan Iran dan percaya bahwa kesepakatan nuklir Iran tidak adil, dan dia yakin Iran sebagai ancaman potensial. Tapi kebetulan saja mereka bisa bertahan sampai hari ini, alasan mengapa Perang Syria bisa berlangsung bertahun-tahun, salah satu inti kunci utama adalah bantuan dari Iran.

Tapi masalahnya, jika ingin menekan Iran, tidak diragukan lagi harus melemahkan kehadiran Iran di Syria. Dan Jika melemahkan kehadiran Iran di Syria, maka pasti akan membahayakan sekutu Iran atas isu Syria—yaitu Rusia. Demikian pandangan analis.

Namun, di mata dunia luar, timing dari serangan senjata kimia yang diduga terjadi pada April 14, masih harus ditelaah lebih lanjut.

CNN menyiarkan breaking news: Masalah timing untuk masalah ini penting. Serangan yang telah bisa kita lihat sekarang terjadi setelah pemerintahan Trump mengumumkan perubahan besar atas kebijakan AS menenai Syria. Pergeseran itu, kini AS tidak lagi akan berkepentingan dalam perubahan rezim dan melengserkan Presiden Ashar al-Assad. Apakah hal ini hanya kebetulan saja?

Pada 22 Maret waktu setempat, Departemen Luar Negeri AS mengadakan “Rapat Pleno untuk Koalisi Global” yang akan bekerja untuk mengalahkan “ISIS” (Ministerial Plenary for Global Coalition Working to Defeat the “ISIS”  ) di Washington D.C. dengan dihadiri oleh 68 perwakilan negara anggota termasuk Inggris, Jerman, Prancis dan Irak. Ini adalah pertemuan pleno pertama yang diadakan koalisi kontraterorisme intersional pimpinan AS sejak Desember 2014.

Menlu AS Rex Tillerson dalam pidato sambutannya mengatakan, koalsisi internasional secara aktif akan mengambil tindakan untuk menyerang kelompok ekstrimis, dan ini juga menjadi misi utama AS di Timteng.

Rex Tillerson mengatakan,: Degradasi “ISIS” bukanlah tujuan akhir. Kita harus mengalahkan “ISIS”. Saya menyadari ada banyak tantangan divTimteng, namun mengalahkan “ISIS” adalah sasaran nomor satu AS di kawasan ini.

Menurut CNN, baru-baru ini, Menlu AS Tillerson dan Perwakilan Tetap AS untuk Dubes PBB Nikki Haley telah mengungkapkan pada kesempatan yang berbeda bahwa AS tidak lagi memandang penggulingan pemerintah al-Assad sebagai tujuan utama dari kebijakan terhadap Syria. Namun beberapa pihak yang menginginkan al-Assad untuk digulingkan berharap untuk mengubah tujuan kebijakan AS dengan menuduh pemerintah Syria melakukan serangan kimia.

Anas Joudah seorang analis politik mengatakan: Tentu saja senjata kimia adalah kartu politik yang mereka buat sekarang, untuk memberitahukan semua pihak bahwa Anda tidak menyetujui semua hal. Kita memiliki kartu, dan kita akan memasukkannya di dalam laci.

Sedangkan untuk persoalan serangan udara AS dengan rudal jelajah, banyak pihak yang meragukan apa yang telah dikemukakan AS kepada dunia luar itu beanr.  “The New York Times” memperhatikan bahwa kapal perusak Arleigh Burke-class yang melakukan serangan tersebut, memiliki total 96 peluncur rudal vetikal namun mereka sering kali tidak semuanya dimuat dalam satu kapal, paling banyak membawa 30 buah rudal jelajah Tomahawk satu kapal karena bobotnya sangat berat.

Dengan kata lain, kedua kapal perusak itu pasti sudah disiapkan menyerang setidaknya setengah bulan yang lalu, atau setidaknya pada pertengah Maret lalu. Rincian ini tertangkap oleh Rusia, yang percaya bahwa militer AS telah “merencanakan serangan ini lebih awal.”

Maria Zakharova, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia menyatakan: Sudah jelas AS merencanakan menggunakan rudal jelajah untuk melakukan serangan. Setiap profisional bisa melihatnya. Keputusan untuk melakukan serangan udara dilakukan sebelum insiden senjata kimia Syria terjadi. Senjata kimia itu hanyalah alasan bagi AS untuk memamerkan kekuatan militernya.

Pada tahun 2014, militer AS pernah melancarkan serangan udara ke kelompok ekstrimis di Syria. Serangan rudal jelajah melawan Syria oleh militer AS kali ini adalah yang pertama kalinya bagi AS mengambil tindakan militer langsung melawan militer Syria dalam enam tahun sejak perang sipil Syria pecah.

Pemimpin Mayorits Senat AS, Mitch McConelli mengatakan: Saya pikir serangan itu direncanakan dengan baik. Itu pasti lebih dari sekedar serangan kecil seperti tusukan peniti (pinprik). Dan mengirim pesan tidak hanya kepada Assad, jika menggunakan senjata kimia lagi akan menjadi sesuatu yang tidak dapat dibayangkan, tapi saya pikir ini juga meyakinkan sekutu Arab Sunni, kita Amerika telah kembali dalam memainkan peran kepemimpinan.

Kebijakan umum untuk Timteng Obama  saat itu adalah menarik angkatan bersenjata dan mengurangi perhatiannya pada Timteng. Tapi kebijakan Trump berbeda, dia meningkatkan perhatiannya ke Timteng. Dan berulangkali menekankan AS perlu meningkatkan kekuatannya untuk menyerang kelompok ekstrimis di Timteng.

Beberapa analis dan pengamat berpandangan masalah terbesar setelah serangan udara AS ini, Trump sebenarnya telah mengindikasikan bahwa dia dapat mengabaikan kepentingan Rusia di Syria, dan dapat menyerang tanpa ampun. Tapi pada kenyataannya, hal itu telah mengurangi prospek dan harapan untuk memperbaiki hubungan AS- Rusia di masa depan.

Saat ini Hubungan Kedua Kepala Negara Rusia dan AS Serta Hubungan Negara Sedang Dalam Keadaan Buruk.

Pada 12 April lalu, Putin mengatakan dengan terus terang dalam sebuah wawancara ekslusif televisi dari Kremlin bahwa hubungan Rusia-AS telah megalami degradasi sejak Trump berkuasa.

Vladimir Putin mengatakan: Katakanlah bahwa tingkat kepercayaan, pada tingkat kerja,dan terutama di tingkat militer tidak terjadi lebih baik, dan mungkin terdegradasi.

Donal Trump mengatakan: Sekarang kita tidak bergaul dengan Rusia. Kita mungkin berada pada titik terendah sepanjang masa dalam hal hubungan dengan Rusia --- yang mana telah dibangun untuk jangka waktu yang panjang.

Sehubungan dengan hubungan AS-Rusia saat ini, komentar dari Deuthshe Welle mengatakan: “Persahabatan Trump dan Putin mulai layu bahkan sebelum mekar.” Meskipun Trump terus menunjukkan persahabtatan dengan Putin sebelum ini, di lingkaran politik Washington bersikap keras terhadap Rusia selalu menjadi arus utama.

Walaupun biasanya Trump selalu bertindak atas kemaunnya sendiri, tapi kenaytaan tidak bisa melakukan apa yang dia suka dan maui.  Apakah  itu berarti bahwa AS dan Rsuia telah kembali ke jalan lama untuk meraih kemanangan seperti saat pemerintahan Obama? Apakah pintu yang tadinya terbuka kembali antara Rusia dan AS sudah benar-benar tertutup lagi?

Pada 7 April, setelah AS melakukan serangan militer terhadap Syria, Kemenhan Rusia mengumumkan bahwa mereka telah mengajukan permintaan ke Pentagon melalui saluran militer dan diplomatik mengenai penutupan hotline komunikasi Syria antara Rusia dan AS.

Koalisi internasional pimpinan AS untuk mengalahkan “ISIS” mendirikan komunikasi hotline dengan Rusia pada bulan Oktober 2015, untuk menghindari konflik antara pesawat tempur di wilayah Syria. Mereka dua pihak melakukan konferensi video yang diadakan secara berkala untuk saling melapor pada situsi aktif mereka. Terakhir kali kedua pihak mengadakan konferensi video pada  bulan Maret.

Namun setelah itu, Tillerson mengatakan; Kitika tiitk panas krisis terjadi, saluran komunikasi antara AS dan Rusia masih terbuka.

Menutup hotline pertahanan nasional hanyalah sebuah isyarat simbolis. Ini memberi tahu mereka bahwa mereka tidak senang dengan tindakan yang mereka ajak bicara. Tapi AS dan Rusia masih merupakan dua kekuatan utama, jadi untuk masalah yang menyangkut kepentingan utama mereka, mereka harus berkomunikasi.

Sejak berakhirnya P.D. II, AS dan Uni Soviet berada dalam keadaan Perang Dingin. Setelah Uni Soviet bubar, AS dan Rusia memasuki keadaan “konflik tanpa darah” yang dipenui dengan kecurigaan dan pertengkaran. Tapi walaupun begitu AS dan Rusia memelihara banyak saluran komunikasi, mulai dari pejabat hingga kalangan sipil, dialog kongres, dialog komersial, dialog organisasi sosial, dan dialog budaya.

Tapi jika untuk jalur komunikasi antara AS dan Rusia, kita harus menyebutnya “hotline “ dua negara.

Ketika pada tahun 1962, pecah Krisis Rudal Kuba dan informasi tentang penangan rudal tersebut oleh pemimpin Soviet Nikita Khruschev hanya diberitakan dan diuraikan kepada AS hanya 12 jam setelah Moskow mengirimkannya, hal ini hampir menyebabkan kesalahan penilaian dari AS.

Tahun berikutnya, AS dan Uni Soviet menandatangani sebuah memorandum di Jenewa yang memutuskan untuk membentuk suatu sistem “hotline.”

Selama pemerintahan Putin, Rusia dan AS juga membentuk beberapa hotline baru.

Pada tahun 2003, Putin dan Obama menandatangani kesepakatan untuk membuat hotline di KTT G8, dan membuat tiga hotline untuk mencegah perang cyber, hotline untuk mengurangi resiko senjata nuklir, dan hotline untuk komunikasi antara Kremlin dan Pejabat Gedung Putih.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, para ahli Barat telah memasukkan panggilan tilpon antara para pemimpin kedua negara ke dalam sistem hotline.

Apa yang menjadi menarik adalah pada 21 Desember tahun lalu, dengan kemunduran hubungan Rusia-AS, Sekretaris Pers Rusia untuk Presdien Dmitry Peskov secara terbuka mengatakan bahwa hampir semua saluran kominikasi antara Rusia dan AS telah dibekukan.

Namun seorang juru bicara dari Departemen Luar Negeri AS menyangkal hal ini, dengan mengatakan bahwa Menlu AS John Kerry baru saja menerima telepon dari Menlu Rusia.

Banyak pengamat dan analis yang melihat ini sangat menyolok dan unik untuk hubungan AS-Rusia, dimana mereka tetap mempertahankan pendirian pertempuran, namun tanpa pertumpahan darah. Mereka memiliki konflik yang sangat kuat  antara mereka—konflik struktural, konflik realistik, dan sengketa historis, tapi dalam situasi apapun, mereka tetap berkomunikasi terbuka.

Hal itu bukan untuk menunjukkan bahwa mereka ramah, tetapi karena mereka khawatir  terjadi kecelakaan. Mereka Khawatir suatu kecelakaan terjadi yang akan memicu percikan yang menyebabkan salah penilaian dari kedua belah pihak dan bisa memicu konflik global.

Sebagai dua kekautan utama yang melakukan intervensi dalam Perang Syria, arah hubungan AS-Rusia secara langsung akan mempengaruhi situasi di kawasan ini.

Assoiated Press (AP) melaporkan bahwa tim urusan keamanan Trump belum mau menyerah pada pendiriannya untuk kerjasama dengan Rusia mengenai masalah Syria, dan terus bernegosiasi dengan dekat dengan harapan setelah gelombang ini berlalu, mereka dapat mengalihkan fokusnya untuk berdialog kembali.

Pada 17 April, AP mengutip sebuah laporan pejabat AS yang mengatakan bahwa ketika untuk masalah Syria, rencana dari reaksi Trump makin jelas, terbagi menjadi tiga bagian: Menghancurkan kelompok ekstrim “ISIS”, secara bertahap menstabilkan keamanan situasi Syriaberdasar kawasan, dan mencapai sebuah rencana untuk transisi politik mengenai premis bahwa Presiden Syria Bashar al-Assad akan dilengserkan.

AP mengutip seorang pejabat AS yang mengatakan ketika Menlu AS Tillerson mengunjungi Moskow pekan lalu, dia mengatakan kepada Rusia bahwa AS berharap untuk melihat al-Assad meninggalkan Syria dengan suka rela, dan dia dapat diasingkan ke luar negeri ke Rusia atau Iran.

Belakangan dalam istilah Obama, situasi Syria menjadi lumpur, dimana tidak ada langkah yang bisa dilakukan. Dia sudah memindahkan semua barang dan bagiannya sebisa mungkin, dan Iran masih mempertahankan peran seperti sebelumnya untuk melindungi pemerintahan al-Assad.

Dalam isu Syria dan nuklir Iran, Trump mengencam Obama hanya mampu memindahkan Iran, dengan mengatakan satu-satunya yang dapat dia (Trump) lakukan adalah mengembalikan sikap yang kuat mengenai masalah apakah pemerintah al-Assad akan tetap ada atau tersingkir.

Sebenarnya, sebelum Tillerson mengunjungi Rusia, dia berseru : “Kiamat sudah datang untuk pemerintahan al-Assad.” Dia juga mengancam Moskow, dengan mengatakan bahwa mereka perlu memperhitungkan harga untuk terus bersekutu dengan al-Assad, Iran dan Hizbullah di Lebanon.

Menanggapi itu, pada 11 April, Trump mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Fox Cable News “Putin mendukung orang yang benar-benar jahat, dan saya pikir ini sangat buruk bagi Rusia, ini sangat buruk bagi dunia ini.”

“The Washington Post” percaya bahwa sikap semacam ini setara dengan mengeluarkan ultimatum ke Rusia. Namun Rusia tidak bepikir begitu.

Pada 12 April, Sputnik News Rusia mengutip juru bicara Kemenlu Rusia, Maria Zakharova yang mengatakan: “Ini bukan ultimatum. Saya melihatnya sebagai pernyataan politik untuk melenturkan otot sesorang sebelum rapat. Itulah yang Washington lakukan, saya pikir semua pihak tahu sejak lama bahwa ultimatum terhadap Rusia tidak akan membuahkan hasil, dan hanya akan memiliki efek sebaliknya. Itulah yang selalu dilakukan Washington. Sebelum negosiasi dimulai, ia melakukan sesuatu untuk ‘melenturkan otot-ototnya’ atau ‘mengibas-ngibaskan pedangnya.”

Jadi Rusia percaya bahwa ketika mengangani isu-isu Syria dan Timteng, AS tidak dapat melakukannya tanpa Rusia. Itulah keyakinan yang dimiliki Rusia. Tapi itu justru kebetulan menjadi kenyataan. Hari ini, jika AS ingin menyelesaikan masalah Sryia yang akan memiliki efek di Timteng, Rusia telah menjadi pemain di kawasan ini. Dan ini adalah rencana yang dibuat Putin dengan strategi diplomatiknya, bahwa dia telah memainkan strategi diplomatiknya dengan baik, sehingga ini adalah sebuah karya seni politik diplomasi.

Saat ini Rusia sedang menghadapi petumbuhan ekonomi yang negatif, sehingga dalam situasi seperti ini, perlu melenturkan otot-ototnya di Syria, dan menunjukkan kekuatannya, sampai  batas-batas terntu, ini akan memberikan pengaruh melebihi kekuatan sebenarnya. Demikian menurut analis dan pengamat.

Tampaknya Rusia sangat jelas mengenai hal ini dan demikian juga AS. Maka langkah selanjutnya di antara mereka adalah mencari kerjasama dan kompromi di Timteng dan Syria.

Website ““Rossiyskaya Gazeta” Rusia menerbitkan satu editorial minggu lalu dengan mengatakan dari pandangan historis, baik hubungan Soviet-AS maupun hubungan Rusia-AS tidak pernah menjadi baik.

Hubungan kedua negara ini secara berkala selalu berayun antara “buruk” dan “lebih buruk”. Misalnya, selama Kriris Rudal Kuba , ketegangan antara AS dan Uni Soviet bahkan sampai ambang konflik bersenjata.

Beruntung, kedua pemimpin dua negara itu memiliki akal sehat, dan kedua negara tidak pernah memiliki sejarah konflik langsung. Ini dikarenakan Rusia dan AS adalah dua negara dengan kekuatan militer paling kuat di dunia. Bukanlah berlebihan untuk mengatakan Perdamaian Dunia bergantung pada hubungan mereka.

Dalam kata-kata media Rusia, negara semacam ini berarti “Itu bukan berarti kita bisa bernegosiasi, tapi itu harus kita negosiasikan.”.......

Sumber: Media TV dan Tulisan Luar dan Dalam Negeri

Referensi: 1, 2, 3, 4, 5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun