Pada hari itu juga, di tempat lain nun jauh ribuan mil terjadi juga adegan kasar. Sore hari 12 April waktu setempat, di New York. Pada pertemuan tingkat Sekjen PBB, Rusia sekali lagi men-veto resolusi tentang senjata kimia Syria yang diajukan oleh AS, Inggris dan Prancis. Koflik seperti ini sudah berkali-kali terjadi sebelumnya dan sudah tidak heran. Yang mengejutkan justru konflik antara dua kubu tersebut saat KTT.
Ambassador Inggris di PBB Matthew Recoil menyatakan: “Kebanggaan Rusia dalam proses Astana telah berubah menjadi penghinaan. Dan Kredibilitas dan reputasi Rusia di seluruh dunia telah diracuni oleh racun yang terkait dengan Assad.”
Wakil Ambassador Rusia di PBB Vladimir Safronkov dengan keras menyatakan : “ Ketua, saya akan minta Anda memastikan aturan prosedur pertemuan ini dihormati. Jika beberapa anggotanya berbicara dengan tidak hormat, saya tidak dapat menerima Anda menghina Rusia.”
“The Guardian” harian Inggris menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam Dewan Keamanan PBB “kasar dan tidak sopan.” Al Jazeera mengatakan bahwa ini mencerminkan perpecahan yang mendalam antara Rusia dan Barat.
Serangan Rudal AS Tomahawk
Pada pagi hari 17 April 2017, waktu setempat, AS secara tiba-tiba melancarkan serangan udara ke salah satu pangkalan angkatan udara pemerintah Syria. Militer AS dari dua kapal perusak Arleigh Burke-class; USS Porter dan USS Ross yang ditempatkan di bagian timur Laut Mediterania, meluncurkan 59 buah rudal jelajah Tomahawk ke Pangkalan Angaktan Udara Shayrat 40 km tenggara Homs, Syria.
Presiden Trump secara pribadi menyetujui operasi militer ini dan menonton video jarak jauh jalannya misi. Ini adalah operasi militer besar pertama yang dilakukan militer AS sejak Trump memasuki Gedung Putih.
Syria mengklaim bahwa serangan militer AS merupakan “tindakan agresi.” Tapi penyebab militer AS melakukan serangan tesebut dikaitan dengan serangan senjata kimia beberapa hari sebelumnya.
Pada 4 April waktu setempat, “Observasi Syria untuk HAM ( Observatory for Human Right),” sebuah organisasi pro-oposisi yang berkantor pusat di London, melaporkan bahwa di sebuah kota selatan Idlib terjadi serangan udara dengan menggunakan gas beracun atau senjata kimia yang berakibat setidaknya 58 orang tewas, 11 diantaranya adalah anak-anak.
Pada 6 April, Kementerian Kesehatan Turki mengatakan bahwa hasil otopsi menunjukkan korban yang meninggal diakibatkan gas racun.
Sekjen PBB Antonio Guterres menyatakan: Kejadian kemarin yang mengerikan menunjukkan kejahatan perang sedang terjadi di Syria, hukum kemanusiaan internasional masih sering saja dilanggar. Dewan Keamanan PBB akan mengadakan pertemuan hari ini, kami telah meminta pertanggung jawaban sehubungan dengan kejahatan yang telah dilakukan ini, dan saya yakin Dewan Keamanan akan menjalankan tanggung jawabnya.