Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Krisis Nuklir di Semenanjung Korea Bisa Terjadi?

29 Maret 2017   13:09 Diperbarui: 6 Mei 2017   07:51 1462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://foreignpolicy.com

Sejak awal Maret tahun ini, dua skala besar latihan militer bersama AS-ROK (Korsel) dengan kode sandi “Fosal Eagle” dan “Key Resolve” telah dilakukan berkelanjutan, latihan militer bersama dua negara ini terus ditingkatkan dengan maksud untuk memberi efek gentar militer (deterence)  dan memaksa DPRK (Korut) untuk menyingkirkan senjata nuklirnya.

Tapi Korut justru telah meluncurkan rudal balistik dan bahkan dengan menggunakan senjata nuklir untuk mengancam lawan-lawan mereka. Hal ini benar-benar berisiko dan dikhawatirkan tong bubuk bahan peledak ini benar meledak. Lalu apa yang menjadi sebab krisis nuklir Korut ini bisa terjadi? Marilah kita coba bahas dari kejadian selama ini.

Pada Rabu dua minggu lalu kapal induk bertenaga nuklir USS Carl Vinson yang berbobot 102.900 ton, panjang 333 meter, berlayar menuju Busan di Korsel, dengan membawa 74 pesawat tempur, dan personil lebih dari 5.500 pewira dan pasukan, untuk mengambil bagian dalam latihan bersama AS-Korsel “Foal Eagle.”

Sumber: http://www.defenseindustrydaily.com
Sumber: http://www.defenseindustrydaily.com
Bahkan Bard Coper Komandan AL-AS di Korsel menyatakan : “Kerjasama kita akan berkelanjutan untuk memastikan kita siap untuk bertempur malam ini!”

Latihan bersama AS-Korsel ini akan berlangsung selama dua bulan dimulai 1 Maret 2017. Lebih dari 1.000 tentara AS dan lebih dari 290.000 tentara Korsel mengambil bagian dalam latihan ini. Skenarionya adalah operasi militer untuk melawan Korut dengan target menghancurkan fasilitas nuklir dan fasilitas rudal Korut.

Namun Korut juga tidak tinggal diam, Staff Umum Depatemen dari Angkatan Bersenjata Korea Utara (KPA) balas membuat respon keras, dengan menyatakan: “Di kedaulatan negara kita jangan sampai ada percikan api, jika itu terjadi akan berhadapan dengan pembalasan milter kita yang dahsyat.”

Pada 13 Maret 2017, AS-Korsel memprakarsai latihan militer bersama dengan kode sandi “Key Resolve” menjadi latihan militer bersama dengan skala terbesar dalam sejarah. Yang melibatkan kapal induk bertenaga nuklir AS, pembom strategis B-1B Lance, B-2 pembom strategis siluman, B-52H pembom kelas berat, dan peswat je tempur paling canggih F-35B, rudal taktis, senjata nari-rudal dan senjata strategis besar lainnya untuk memamerkan kekuatan militer AS.

Menurut pengamat militer dengan skala kekuatan militer AS seperti ini, tanpa harus mengerahkan militer AS dari kawasan lain, mereka bisa benar-benar menghancurkan semua target strategis Korut dalam satu kali atau beberapa kali gelombang serangan.

Sebelum laltiah militer dimulai, Menhan AS yang baru James Mattis selama sambungan tilpon dengan Menhan Korsel Han Min-goo mengatakan: “resolusi koordinasi dengan pertahanan Korsel tidak akan goyah, dan mereka pasti  bisa mengalahkan semua serangan yang ditujukan kepada AS dan sekutunya, dan akan dengan efektif menekan serangan nuklir dengan cara yang luar biasa.”

Menanggapi intimidasi kuat dari Korsel dan AS, Central Television Korut (KCTV) mengeluarkan pernyataan yang dibuat jurubicara Departemen Luar Negeri Korut : Latihan Militer bersama AS-Korsel di Semenanjung Korea dan Asia Timur Laut menyebabkan bencana nuklir. Dan merupakan upaya terang-terangan untuk mengobarkan api perang nuklir. Untuk merespon manuver ini Korut juga memamerkan kekuatan militernya.

Pada 6 Maret 2017, Kepala Staf Korsel mengatakan bahwa pada jam 7:36 pagi waktu setempat Korut telah meluncurkan empat rudal ke perairan timur dari Tongchang-ri. Rudal meluncur lebih 1.000 km pada ketinggian sekitar 26 km, ini merupakan uji coba kedua dalam waktu kurang dari sebulan.

Menanggapi kegaduhan ini Dewan Keamanan PBB melakukan siaran pers (press release) pada 7 Maret 2017 yang menguntuk peluncuran rudal balistik Korut sehari sebelumnya, dan menyerukan untuk meredahkan ketegangan di Semenanjung Korea.

Presiden Donald Trump, melakukan panggilan tilpon sekaligus kepada PM Jepang Shinzo Abe dan Pejabat Presiden Korsel Hwang Kyo-ahn hari itu juga. Trump mengatakan bahwa AS akan mengambil langkah-langkah dengan “kekuatan militer yang komprehensif “ untuk lebih memperkuat kemampuan tiga negara untuk menekan dan menahan ancaman rudal balistik Korut.

Korut melaporkan bahwa Kim Jong-un puas dengan peluncuran empat rudal yang suskses, dan meminta Komando Pasukan Strategis Rakyat Korea untuk mempertahankan siaga tinggi negara untuk persiapan pertempuran berdasarkan situasi saat ini, dan membuat semua persiapan yang diperlukan, sehingga jika Komite Sentral memberi perintah, mereka bisa segera menyerang dan mengeliminasi musuh mereka.

Pada tahun 2016 saja, Korut telah melakukan dua uji coba nuklir dan meluncurkan 24 rudal balistik, 8 diantaranya adalah jarak menengah rudal Hwasong-10. Maka dari itu semakin AS menekan semakin memaksa Korut untuk mengembangkan senjata nuklir. Sehingga krisis nuklir Korea telah memasuki lingkaran setan.

Ancaman senjata nuklir terus berlanjut di Semenanjung Korea. Menurut dokumen deklasifikasi AD-AS membuktikan bahwa pada akhir tahun 1950, Douglas MacAthur pernah suatu kali menyampaikan checklist untuk Perang Korea. Ia memperkirakan membutuhkan 26 bom atom, 4 untuk mengebom “kekutatan ofensif musuh” dan 4 digunakan untuk menyerang “situs dan pangkalan udara penting musuh .”

Pada akhirnya, pemerintah AS membatalkan rencana ini. Pada bulan Januari 1958, pejabat AS di Korsel mendatangkan hampir 950 senjata nuklir disimpan di Korsel, dan sejak itu Korut mulai melaksanakan program nuklirnya sendiri.

Uni Soviet membantu Korut untuk mendapatkan instalasi nuklir menjadi berkerja, juga ilmuwan dan infrastrukturnya di Nyongbyon. Awalnya mereka menggunakan reaktor air ringan, tapi kemudian mereka menggunakan reaktor RBMK. (dirancang oleh Soviet disebut reaktor Bolshoy moshchnosty kanalny, reaktor kanal berdaya tinggi adalah reaktor air-cooled bertekanan dengan saluran bahan bakar individu dan menggunakan grafit sebagai moderatornya. Hal ini juga dikenal sebagai reaktor grafit air ringan /LWGR. Hal ini sangat berbeda dari kebanyakan desain reaktor daya lainnya seperti berasal dari desain yang terutama untuk produksi plutonium,  dan digunakan di Rusia untuk produksi plutonium dan produksi listrik.)

Sumber: http://www.world-nuclear.org
Sumber: http://www.world-nuclear.org
Pada tahun 1974, Korut bergabung dengan Badan Energi Atom Internasioanl (IAEA). Pada tahun 1985 bergabung dalam NPT (Perjanjian Nonproliferasi Nuklir) dan pada tahun 1986 Korut untuk pertama kali menunjukan zona non-nuklir yang akan dididrikan di Semenanjung Korea.

Dari tahun 1992 sampai 1994, IAEA melakukan 6 kali inspeksi fasilitas nuklir Korut. AS menduga bahwa dua reaktor nuklir RBMK di Nyongbyon Nuclear Scientific Research Center dan fasilitas yang berkaitan memiliki tujuan untuk militer dan menuntut untuk dilakukan pemerikasaan khusus.

AS juga mulai melakukan lagi latihan militer bersama AS-Korsel “Team Spirit” untuk meningkatkan tekanan militer, dan Korut mengumumkan menarik diri dari NPT, maka ini menandai dimulainya krisis nuklir Korut.

Menlu, Menhan  dan Ketua Gabungan Kepala Staf AS-Korsel semua mengatakan siap bertempur. Pada saat itu, Komandan Pasukan AS di Korsel mengatakan : “Kita bisa menyerang, tetapi Anda harus mau membayar harganya, satu milyar USD dan satu juta jiwa.” Setelah ia megatakan itu, pada akhirnya Clinton memutuskan untuk tidak menyerang Korut. 

Dalam rangka untuk meredakan ketegangan, pada bulan Oktobe 1994, Korut dan AS menandatangani “Persetujuan Kerangka Kerja AS-Korut (DPRK-US Nuclear Agreed Framework,) dan AS berjanji untuk mendirikan sebuah organisasi internasional yang akan mendirikan proyek reaktor air ringan untuk Korut dalam sepuluh tahun, dan memberikan 500.000 ton minyak sebagai kompensasi energi setiap tahun sebelum konstruksi itu selesai. AS juga menjamin tidak akan menjadi yang pertama untuk menggunakan senjata nuklir terhadap Korut. Setelah itulah Korut mengizinkan IAEA untuk melakukan inspeksi.

Pada thaun 2001, setelah George W. Bush menjabat Prediden AS, dia meletakkan Korut, Iran, Irak sebagai “poros kejahatan (axis of evil) dan ancaman bagi perdamaian dunia.”  Bush mengatakan: “Negara seperti ini, dan sekutu teroris, mereka ini merupakan suatu poros kejahatan, tujuannya untuk mengancam kedamaian dunia.’

Pada Sepember 2002, pemerintah AS merilis “Strategi Keamanan Nasional” yang percaya dengan strategi efek gentar (deterrence) akan melawan “negara jahat” dan terorisme, dan kerena itu, AS harus mengambil tindakan penyerangan duluan  (preemptive action) pada target Korut. Dan Kesatuan ke-8 AS menyatakan 100% siap untuk itu.”

Pada Oktober 2002, AS tiba-tiba mengumumkanbahwa Korut telah mengakui memiliki program pengayaan uranium. Meskipun pernyataan itu dibantah Korut dan AS belum jelas “mengakui” itu, tapi pada bulan Desember tahun itu AS tetap menyetop memasok Korut minyak, dengan alasan Korut telah melanggar “Persetujuan Kerangka Kerja AS-Korut”  sebagai alasan.

Kesal dengan situasi ini, Korut mendeportasi inspektur IAEA, dan mengumumkan mengundurkan diri dari NPT, dan krisis nuklir Korut pecah lagi.

Pada 28 Pebruari 2003, kolumnis “New York Times” Christopher menulis sebuah artikel yang mengungkapkan bahwa Bush meungkin bersedia mengambil resiko Perang Korea lagi, dan akan menyerang Korut pada musim panas tahun itu, sehingga angin perang bertiup lagi.

“Six-Party Talks.” (Pembiraan Enam Pihak)

Saat itu Tiongkok secara aktif men-mediasi semua kepala negara yang relevan. Pada Agustus 2003, Perwakilan dari Tiongkok, Korut, AS, Korsel, Rusia dan Jepang datang ke Beijing, mereka mengadakan putaran pertama “Six-Party Talks.” (Pembiraan Enam Pihak).

“Six-party Talks.” atau Pemebicara Enam Pihak, pembicarannya berdasarkan pada Korut menyerahkan senjata nuklirnya, dan secara komprehensif menyelesaikan masalah normalisasi Korut, yang dengan kata lain berarti membangun hubungan doplomatik dengan AS dan Jepang, dan kemudian juga menciptakan mekanisme untuk perdamaian permanen di Semenanjung Korea.

Seperti diketahui, setelah Perang Korea berakhir pada tahun 1953, “Perjanjian Gencatan Senjata Korea” (Korean Armistice Agreement) yang telah ada selama lebih dari setengah abad ini, namun ternyata kedua belah pihak belum menandatangani perjanjian damai. Korut dengan AS dan Korsel masih diambang peperangan.

Hingga hari ini, baik AS dan Korsel masih tidak mau mengakui Korut sebagai negara normal, walaupun Korut (DPRK) merupakan anggota PBB, mereka belum menjalin hubungan diplomatik, jadi hal pertama bagi Korut yang perlu diatasi adalah masalah kelangsungan kehidupan politiknya.

Begitu putaran pertama Pembicaraan Enam Pihak dimulai, argumen antara Korut dan AS menjadi fokus utama, dan itu bertahan sepanjang keseluruhan pembicaraan. Pusat dari sikap Korut adalah AS harus mengubah kebijakan terhadap Korut.

Karena AS di satu sisi menuntut agar Korut pertama-tama harus menghentikan recana nuklirnya. Selama putaran kedua Pembicaraa Enam Pihak, Korut meminta AS untuk menanda tangani saling non-pelanggaran (non-infringement), sementara AS bersikeras bahwa tanpa partisipasi dari pihak ketiga, tidak akan mengadakan pembicaraan bilateral dengan Korut.

Korut sangat menyadari bahwa itu tidak akan memecahkan masalah dengan berbicara kepada Rusia, Jepang atau Korsel, Jadi mereka ingin bebicara dengan AS langsung. Karena dikatakan jika AS membuat pernyataan, dapat dipercaya Korsel dan Jepang tidak akan menghalangi dengan cara apapun.

Pada 19 September 2005, seluruh peserta dalam pertemuan meloloskan “Pernyataan Bersama Pembicraan Enam Pihak ke-4 pada 19 September ,” dimana Korut berjanji untuk meninggalkan semua senjata dan program nuklirnya saat itu, sementara Korsel dan AS berjanji dalam pernyataannya untuk menormalisasi hubungan dengan Korut.

“Pernyataan Bersama 19 September” telah memperhitungkan semua kekhawatiran. Karena itu dibangun kerangka dasar untuk benar-benar menyelesaikan masalah nuklir di Semenanjung Korea, dan dijadikan tonggak untuk Pembicaraan Enam Pihak.

Tapi baik perjanjian perdamaian AS-Korut maupun pembentukan hubungan diplomatik yang dimasukkan dalam agenda pembicaraan pembicaraan bilateral itu tidak pernah terjadi.

Satu hal yang tak pernah AS lakukan adalah menandatangani perjanjian damai. Dalam kenyataannya,  walaupun Korut telah mencoba untuk membangun hubungan diplomatik dengan AS, tapi AS selalu mengabaikan. Jadi setelah putaran ketiga dan ke-empat, sikap Korut mulai menurun, dan mulai mengurangi tuntutannya. Jadi pada akhirnya, Korut mengatakan tidak ingin membicarakan hal lain lagi, dan hanya akan membicarakan tentang reaktor nuklir air ringan, yang akhirnya mencapai kesepakatan. Dan negara-negara lain sepakat untuk ini, tetapi setelah itu mereka menyadari bahwa itu tidak akan berhasil.

Dari tanggal 9 sampai 11 Nopember 2005, di putaran kelima Pembicaraan Enam Pihak, argumen/perdebatan terjadi lagi antara AS dan Korut. Korut menuntut AS menghapus payung perlindungan nuklir untuk Semenanjung Korea, sedang AS menuduh Korut mencetak uang USD palsu, dan menjatuhkan sanksi kepada beberapa perusahaan Korut.

Selama jedah Pembicaraan Enam Pihak, pada 9 Oktober 2006, Korut mengumumkan pihaknya telah melakukan uji coba nuklir dan meluncurkan rudal.

Dari tanggal 8 sampai 13 Pebrauri 2007, Korut kembali lagi dalam Pembicaraan Enam Pihak, dan membentuk enam kelompok kerja untuk de-nuklirisasi Semenanjung Korea, normalisasi hubungan Korut-AS, normalisasi hubungan Korut-Jepang dan banyak lagi.   

Pada 27 Juni 2008, berdasarkan persetujuan dari Pembicaraan Enam Pihak, menara pendingin fasilitas nuklir Nyongbyon dihancurkan. Dan Presiden Bush mengeluarkan pernyataan menghapus Korut dari daftar negara sponsor terorisme, dan juga menghapus dari daftar“trading with the Enemy Act,”  (UU perdagangan dengan musuh), dan hubungan Korut-AS menghangat lagi.

Tetapi, hanya enam bulan kemudian, pada Pebruari 2009, AS dan Korsel sekali lagi melakukan latihan militer bersama “Key Resolve,” saat itu Korut mengumumkan bahwa mereka secara permanen  menarik diri dari Pembicaraan Enam Pihak pada 14 April 2009. Pada 25 Meri Korut melakukan uji coba nuklir bawah tanah kedua.

Karena Pembicaraan Enam Pihak berhenti, AS dan Korsel melanjutkan peningkatan tekanan terhadap Korut, dan PBB juga menjatuhkan sanksi lebih keras atas pengembangan nuklir Korut. Dalam situasi demikian, terutama setelah Kim Jong-un menjabat, ia mengesahkan kebijakan nuklir dalam konstitusi, sebagai kebijakan bangsa. Shingga masalah ini tidak bisa dinegosiasikan, dan itu menyebabkan perubahan besar dari alam permasalahan ini.

Pada 9 September 2016, meskipun adanya keberatan dari seluruh dunia, Korut melakukan uji coba nuklir kelima. Menhan AS Ashton Carter saat itu menguntuk mereka dengan mengatakan: “Ini adalah tanggung jawab Tiongkok. Tiongkok harus memikul tanggung jawab yang besar dengan terjadi pengembangan ini, dan harus mengambil tanggung jawab besar untuk mengembalikannya.”

Dengan sendirinya Tiongkok membantah ini, jurubicara Menlu Tiongkok Hua Chunying mengatakan: “Mr. Carter melihat masalah ini terlalu sederhana. Peneybab inti dari masalah nuklir Korut ini bukan terletak dipihak Tiongkok, tetapi justru dipihak AS. Atmosfir dari isu nuklir Korut adalah konflik antara Korut dan AS. Seharusnya AS secara komprehensif merefleksikan evolusi isu nuklir Korut, dan sungguh-sungguh memikirkan solusi yang efektif. Ada pepatah kuno tiongkok kuno yang mengatakan ‘orang yang menyebabkan masalah harus menyelesaikannya’(解铃还须系铃人/one who caused the problem should solve it).  Maka AS harus sungguh-sungguh memikul tanggung jawab ini.

Jika kita melihat kembali sejarah Pembicaraan Enam Pihak mengenai isu nuklir Korut dari perjanjian hingga kegagalannya, alasannya karena saling tidak ada kepercayaan yang ekstrim antara AS dan Korut. Di satu sisi ingin memaksa untuk didengarkan, di sisi lain tidak ingin ditakut-takuti.

Hal ini bagi Korut mungkin karena ada pelajaran yang menyakitkan seperti Irak dan Libya yang setelah menyerahkan senjata pemusnah massalnya, tapi akhirnya hanya untuk dikalahkan oleh pasukan AS, maka tidak heran Korut lebih memilih untuk bertahan kena sanksi dan di-isolasi, tapi masih bisa berlanjut hidupnya.

Lalu apa rencana AS untuk meningkatkan tekanan militer terhadap Korut? (berdasarkan analisis ahli militer)

Mari kita melihat konsep perang AS masa kini. Deteksi-Mengganggu-Hancurkan-Pertahanan---inilah konsep operasional 4D, dari pertempuran baru pasukan AS-Korsel dalam latihan gabungan militer bersama yang disesuaikan untuk melawan ancaman fasilitas nuklir dan rudal Korut.

Dengan menggunakan cara untuk bisa mendeteksi “tanda-tanda ancaman” dini, dan melaksanakan serangan dadakan atau duluan (premptive), menggempur untuk menghancurkan Korut sebelum ancaman itu datang.

Pasukan gabungan AS-Korsel menggunakan konsep ini untuk pertama kalinya selama latihan bersama “Key Resolve”  tahun lalu, dan segmen berikutnya akan dilakukan berkelanjutan setiap bulannya ke depan. Skala kekuatan, investasi dan perlatan jauh lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Jika rencana tempurnya melibatkan seluruh Semenanjung Korea, maka jika operasi tempurnya dilakukan di setiap sudut, maka rencana, personil, dan peralatan “Key Resolve” pasti akan mencapai tingkat yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

Berdasarkan konsep operasional ini, pasukan AS- Korsel akan menggunakan satelit mata-mata militer, satelit pengintai, dan pesawat nir-awak atau drone altitude tinggi round-the-clock terus-menerus melakukan pengawasan komprehensif dan sistem peringataian dini (early warning systems).

Apabila terjadi ada tanda-tanda Korut menyerang Korsel ditemukan, dalam waktu 25 menit dapat dilakukan penyerangan dadakan ke sasaran yang tepat terhadap Korut.

Jet tempur F-22 dan juga jet tempur canggih lainnya akan mengambil bagian dalam latihan-latihan gabungan ini, jadi tidak bisa dibayangkan berlebihannya dari latihan bersama ini. Mengingat Korut hanya memiliki tidak lebih dari 40  jet tempur MIG-29 high-end, bahkan sulit untuk dikatakan berapa banyak dari jet ini yang bisa terbang. Sedang sisanya hanya jet tempur generasi kedua hingga generasi ke-3 dengan teknologi yang buruk. Andaikata Korut dapat mempertahankan sejumlah besar dari tekanan ini, Korut bagaimanapun akan berada dalam keadaaan kecemasan dalam hal niat strategis dan aspek lainnya.

Jika hingga terjadi kecemasan, mungkin Korut akan mengambil tindakan yang yang tak teduga (konyol), dan tindakan ini justru yang diharapkan AS. Jika hingga tindakan ini dilakukan, maka AS kemungkinan akan mengerahkan kekuatan yang lebih besar dan lebih banyak senjata di kawasan ini.

Pada 3 Maret lalu, ketika Menhan AS James Mattis mengunjungi Korsel, ia mengumumkan akan mengadakan dua latihan militer pada bulan Maret ini. Maka pada 13 Maret lalu, terbitan AS “International Business Times” menuliskan sebuah artikel dengan judul “War with the DPRK? US Sending Attack Drone to the ROK.” Bahwa AS akan mengerahkan drone terbarunya “Gray Eagle” ke angkatan bersenjata di Korsel, drone ini mempunyai kemampuan radius tempur yang akan meliputi seluruh wilayah Semenanjung Korea, dan dapat melakukan serangan berpresisi ke gedung-gedung dan bangunan di Korut, “Cutting Off the Head” dan menghancurkan markas komando pusat tempur Korut.

Hari itu juga ada sepotong berita dari Korsel “Segye I Ibo” yang menyatakan “The Seal Team-Six” yang berhasil mengeksekusi Osama bin Laden juga akan ikut serta dalam latihan kali ini. Demikian juga Delta Force AS dan pasukan khusus AS “Green Beret” juga akan ambil bagian dalam latihan militer bersama Korsel ini.

Pada 2 Maret lalu laporan dari “Wall Street Journal” yang medapat banyak perhatian, mengatakan bahwa Wakil Penasehat Keamanan Nasional AS, K.T. McFarland bertemu dengan para pejabat keamanan nasional hingga internasional membahas situasi Korut, dan rencana kemungkinan dengan kekuatan militer untuk menggulingkan pemerintahan Korut dalam mengalah ancaman nuklir Korut.

Setiap tahun, latihan bersama AS-Korsel terus mengalami peningkatan, dan mereka meng-upgrade terus-menerus. Hampir seluruhnya dan sebagian besar Korsel berpartisipasi, sedang di masa lalu itu hanya beberapa puluh ribu personil. Selain itu mereka juga telah menyelengarakan latihan untuk operasi menyingkirkan pemerintahan Kim Jong-un. Sehingga ini menjadi isu khusus yang dicermati para analis dan pengamat dunia.

Pada hari pertama berlangsungnya latihan AS-Korsel, Korean Central News Agency melaporkan bahwa pemimpin tertinggi Korut Kim Jong-un telah melakukan inspeksi ke aparat keamanan dari KPA yang bertanggung jawab untuk menjaga dan membela Pyongyang, dan memerintahkan mereka untuk dalam keadaan siap tempur.

Ini menunjukkan bahwa pemerintah senior Korut mengkhawatirkan latihan militer AS-Korsel akan berkembang menjadi suatu tindakan perang sungguhan.

Pada tahun 1973, militer AS pernah merumuskan Rencana Operasi 5027 (Operatioan Plan/OPLAN 5027), setalah itu terus diperbarui. Pada tahun 2003, Recana Operasi 5027 adalah untuk menduduki Pyongyang dalam waktu dua minggu, dan menyingkirkan Kim Jong-un.

Selain itu, AS juga membuat Recana Operasi yang membantu Rencana Operasi 5027: OPLAN 5026, rencana ini tidak diketahui. OPLAN 5029: untuk peleburan dan pembangunan kembali Korut. OPLAN 5030: Peperangan (warfare) psikologi, cyber dan opini publik dan rencana lainnya. Sebagian besar dari rencana operasi ini, semuanya ada kaitannya dengan latihan militer sesuai dengan kode sandinya.

Pada bulan Juni 2015, Kepala Staf Gabungan Korsel Choi Yoon-he bertemu dengan Komandan Pasukan AS di Korea, Curtis Seaparrotti dan secara resmi menanda-tangani “OPLAN 5015” Rencana ini yang paling misterius.

Sebelum ini, Komite Pertahanan Nasional Majelis Nasional meminta Kementerian Pertahanan untuk melaporkan rencana ini kepada Majelis Nasional, namun Menhan Korsel Han Min-goo mengatakan dalam penjelasanannya “OPLAN 5015” adalah masalah militer dan merupakan satu rahasia nasional di sektor diplomasi dan hubungan dengan Korut, jika dibuka untuk umum akan bahaya dan sangat mempengaruhi keamanan negara.”

Ketika mereka mengimplementasikan OPLAN 5015, itu berarti bahwa rencana ini dibuat tahun 2015. Ketika rencana ini dibuat maka kesempatan mendasar terjadi, itu bisa terjadi untuk premptive atau serangan dadakan. Yang berarti jika ditemukan sesuatu yang salah dengan Korut, atau Korut provokatif, maka bisa dilakukan penyerangan langsung.

Pada bulan Maret tahun lalu, selama latihan militer besama AS-Korsel “Key Resolve” dan “Foal Eagle” Perwakilan Permanen Korut di PBB menulis surat kepada Sekjen PBB, meminta agar mereka  untuk mengadakan sidang darurat.

Perwakilan Korut di PBB percaya bahwa tujuan dari latihan militer AS-Korsel besar-besaran kali ini yang tidak pernah terjadi sebelumnya adalah untuk menggulingkan pemimpin tertinggi Korut.

Selama beberapa dekade, selama latihan militer AS-Korsel skala besar, Korut selalu menguntuk keras mereka. Hanya tahun lalu, perwakilan Korut menyampaikan dua permintaan kepada Dewan Keamanan PBB untuk mengadakan pertemuan darurat, dan Korut meluncurkan rudal beberapa kali selama latihan.

Sebagian analis dan pengamat melihat perang sungguhan bisa terjadi. Kim Jong-un tahu seperti apa situasi dia, sehingga melakukan persiapan, maka apakah itu persiapan politik atau militer benar-benar dipercepat pelaksanaaannya. Karena hasil akhir akan terjadi perang rudal dengan hulu ledak nuklir miniatur, itu barangkali yang akan menjadi metode Kim Jong-un untuk memperpersiapkan diri untuk  digunakan. Hal ini yang mungkin dikhawatirkan AS juga, yang pada akhirnya mereka akan berperang dengan senjata bom atom.

Pada 13 Maret lalu, Kementerian Urusan Unifikasi Korsel mengatakan bahwa Korut dapat melakukan ujicoba nuklir baru berdasarkan kebutuhan. Menurut informasi dari website Univerversitas John Hopkin “38 North” yang mempelajari Korut memperkirakan kekutatan nuklir Korut mungkin sedikitnya lima kali dari kekuatan uji coba nuklir yang kelima yang dilakukan September lalu. Namun orang tidak tahu kapan dan hari apa Perang Akan Pecah.

Kita telah melihat bahwa latihan militer AS-Korsel terus tumbuh dalam skala lebih membesar, dan semakin banyak tekanan militer kepada Korut, bahkan kini telah menuju ke “operations to cut the head off,”(operasi memotong kepala) yang targetnya dan tujuan oeprasional mereka untuk menjatuhkan pemerintah dan membangun kembali pemeritahan baru Korut dalam latihan militer.

Korut mempercept laju percobaan nuklir dan pengembangan rudal balistiknya. Tidak tahu kapan perang akan terjadi, lebih tidak tahu kapan perang bom atom akan terjadi.

AS dan Korsel telah bersikeras untuk menggelar sistem pertahan rudal THAAD, sehingga situasi baik di Semenanjung Korea dan seluruh Asia Timur Laut telah menjadi rumit.

Masalahnya bagaimana seharusnya Korut didesak untuk menyerahkan senjata pembunuh massalnya? Dapatkah perang dicegah? Dilihat uraian diatas tidak diragukan lagi, inisiatif ini berada ditangan AS. Demikian pandangan analis.

Pada 15 Maret 2017, Menlu AS Rex Tillerson tiba di Tokyo, Jepang, yang menandai dimulainya “tour Asia” Ini adalah untuk pertamakalinya Tillerson mengunjungi kawasan Asia Timur Laut sebagai diplomat tertinggi dari pemerintahan Trump, sejak dia diangkat sebagai Menlu sebulan lalu.

Media Barat melaporkan, salah satu tujuan Tillerson adalah untuk menarik Tiongkok, Jepang, Korsel untuk bersama-sama “mengisolasi” Korut untuk mencari resolusi baru untuk isu Korut. AS mengatakan bahwa AS dan Tiongkok ada “kekhawatirn: yang sama tentang ancaman Korut.

Jika Korut mengembangkan senjata nuklir dan selanjutnya mengubah kemampuan nuklirnya, maka akan ada dua kemungkinan. Pertama mungkin mudah menyebabkan perang nuklir, dan kedua akan menyebabkan negara-negara lain juga mengembangkan senjata nuklir. Akibatnya seluruh kawasan Asia Timur Laut akan menjadi kawasan (rawan) nuklir.

Maka tidak heran jika Tiongkok juga dengan gigih menentang Korut memiliki senjata nuklir.

Pada 10 Maret lalu, Presiden Korsel Park Geun-hye dimakzulkan dan dipecat sebagai presiden Korsel. Selama latihan militer Korsel-AS, beberapa peralatan militer untuk pertahanan rudal THAAD tiba di Korsel. Banyak yang mempertanyakan, apakah ini merupakan variabel (ada kaitan) dalam pengaturan AS-Korsel untuk “THAAD” ini?

Pada titik ini, mungkin akan menjadi titik balik bagi pemilu Korsel. Banyak yang percaya bahwa ini akan menjadi titik balik, tapi hal itu tidak akan terjadi dengan tiba-tiba akan menjadi lebih baik, hal itu akan sangat sulit.

Menurut laporan dari terbitan media Jepang, setelah PM Shinzo Abe kembali dari kunjungannya ke AS,

dan Abe mulai mempertimbangkan “Program Pertahanan Jangka Menengah ” dari tahun 2019-2023,  ia juga membahas belanja “ratusan milyar Yen” untuk mendapatkan sistem THAAD.

Baru-baru ini, Pasukan Maritim Bela Diri Jepang dan konvoi kapal induk militer AS telah melakukan latihan militer bersama di Laut Tiongkok Timur.

Perilaku ini sangat jarang terjadi. Sebagian analis menilai Jepang sendiri tampaknya sedang mencari semacam kemampuan tempur independen. Kita bisa lihat baru-baru ini, yang dilakukan Abe untuk mengadakan latihan militer nasioanal di awal tahun, dan AS tidak bergabung dengan mereka.

Latihan diandaikan jika militer AS diserang, bagaimana Jepang untuk membantunya? Itu diartikan Abe sedang berupaya untuk mempromosikan kekuatan militer Jepang dengan mengatas namakan “membantu AS”  dan apakah militer Jepang telah tumbuh ke arah pasukan pertahanan nasional negara normal. Jadi banyak pihak yang mewaspadai perkembangan ini.

Sejak tahun 1990an, setelah Perang Dingin antara Timur dan Barat berakhir, dan Korut dan Korsel keduanya menjadi anggota PBB pada saat yang sama, pemerintah Korut telah minta AS untuk memperbaiki hubungan dengan menandatangani “perjanjian damai,” dan membangun hubungan domestik resmi, dan mengakhiri keadaan perang.

Selama AS, Jepang dan Korsel tidak mau mengakui pemerintah Korut sebagai negara nasional yang normal, Semenanjung Korea tetap dalam keadaan perang dingin hingga hari ini.

Jika titik konflik benar-benar bisa dihilangkan dengan menanda-tangani “perjanjian damai,” maka AS tidak memiliki alasan untuk menimbulkan kekacauan, menimbulkan masalah dan menciptakan ketegangan di kawasan tersebut. Jadi banyak pengamat dan analis yang berkeyakinan AS tidak akan mau untuk mencapai “perjanjian damai” dengan Korut di masa mendatang. Jadi lebih menginginkan keadaan dalam gencatan senjata. Karena keadaan demikian adalah yang paling ideal bagi AS untuk dapat memanfaatkan keadaan demikian ini untuk tetap bisa mengenkang Korsel dan Jepang, dan meningkatkan pertahanan untuk melawan Tiongkok.

Kini, yang paling dikhawatirkan orang adalah apakah Perang Korea akan pecah lagi?

Dalam konferensi pers Kementrian Luar Negeri Tiongkok, Menlu Tiongkok Wang Yi mengatakan: “Pihak utama masalah nuklir Senanjung Korea adalah Korut dan AS. Hingga hari ini, Tiongkok didedikasikan dan berupaya untuk mendorong Pembicaraan Enam Pihak untuk menengahi kontak anatara Korut dan AS. Pada saat yang sama kami telah membuat kontribusi untuk membuat dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB. Kami akan tetap bersedia untuk menjadi “switchman” dan membawa masalah nuklir semenanjung Korea kembali ke solusi melalui negosiasi. Apa yang ingin ditekankan disini adalah memiliki senjata nuklir tidak membaut Anda jadi aman, dan tidak ada solusi dengan menggunakan cara-cara militer. Masih ada kesempatan untuk memulai lagi diadakan Pembicaraan Enam Pihak, dan masih ada harapan untuk perdamaian.

Kenyataan selama ini, semakin AS menekan Korut, semakin Korut kurang bersedia kompromi. Isu nuklir Korut telah terbentuk menjadi aneh seperti lingkaran setan bagi Korut.

Isu nuklir Korut terus tumbuh besar dan lebih besar seperti bola salju. Banyak analis yang mengatakan ini disebabkan dari kebijakan Perang Dingin AS terhadap Korut.

Tiongkok sebagai pemakarsa Pembicaraan Enam Pihak telah mengajurkan untuk dilakukan konsultasi secara setara dan dengan penuh pengertian dari semua pihak saat melakukan pembicaraan. Ini kiranya menjadi satu-satunya cara dan metode yang benar untuk menyelesaikan konflik. Seperti apa yang telah Tiongkok lakukan untuk bagaimana berhasil menyelesaikan maslah nuklir Iran. Demikian pendapat beberapa analis Tiongkok dan dunia luar yang memberi perhatian dengan isu nuklir Semenanjung Korea ini.

Mudah-mudah akhirnya bisa ditemukan jalan keluar secara damai untuk masalah ini.....

Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri (1, 2, 3 dan 4)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun