Dalam rangka untuk meredakan ketegangan, pada bulan Oktobe 1994, Korut dan AS menandatangani “Persetujuan Kerangka Kerja AS-Korut (DPRK-US Nuclear Agreed Framework,) dan AS berjanji untuk mendirikan sebuah organisasi internasional yang akan mendirikan proyek reaktor air ringan untuk Korut dalam sepuluh tahun, dan memberikan 500.000 ton minyak sebagai kompensasi energi setiap tahun sebelum konstruksi itu selesai. AS juga menjamin tidak akan menjadi yang pertama untuk menggunakan senjata nuklir terhadap Korut. Setelah itulah Korut mengizinkan IAEA untuk melakukan inspeksi.
Pada thaun 2001, setelah George W. Bush menjabat Prediden AS, dia meletakkan Korut, Iran, Irak sebagai “poros kejahatan (axis of evil) dan ancaman bagi perdamaian dunia.” Bush mengatakan: “Negara seperti ini, dan sekutu teroris, mereka ini merupakan suatu poros kejahatan, tujuannya untuk mengancam kedamaian dunia.’
Pada Sepember 2002, pemerintah AS merilis “Strategi Keamanan Nasional” yang percaya dengan strategi efek gentar (deterrence) akan melawan “negara jahat” dan terorisme, dan kerena itu, AS harus mengambil tindakan penyerangan duluan (preemptive action) pada target Korut. Dan Kesatuan ke-8 AS menyatakan 100% siap untuk itu.”
Pada Oktober 2002, AS tiba-tiba mengumumkanbahwa Korut telah mengakui memiliki program pengayaan uranium. Meskipun pernyataan itu dibantah Korut dan AS belum jelas “mengakui” itu, tapi pada bulan Desember tahun itu AS tetap menyetop memasok Korut minyak, dengan alasan Korut telah melanggar “Persetujuan Kerangka Kerja AS-Korut” sebagai alasan.
Kesal dengan situasi ini, Korut mendeportasi inspektur IAEA, dan mengumumkan mengundurkan diri dari NPT, dan krisis nuklir Korut pecah lagi.
Pada 28 Pebruari 2003, kolumnis “New York Times” Christopher menulis sebuah artikel yang mengungkapkan bahwa Bush meungkin bersedia mengambil resiko Perang Korea lagi, dan akan menyerang Korut pada musim panas tahun itu, sehingga angin perang bertiup lagi.
“Six-Party Talks.” (Pembiraan Enam Pihak)
Saat itu Tiongkok secara aktif men-mediasi semua kepala negara yang relevan. Pada Agustus 2003, Perwakilan dari Tiongkok, Korut, AS, Korsel, Rusia dan Jepang datang ke Beijing, mereka mengadakan putaran pertama “Six-Party Talks.” (Pembiraan Enam Pihak).
“Six-party Talks.” atau Pemebicara Enam Pihak, pembicarannya berdasarkan pada Korut menyerahkan senjata nuklirnya, dan secara komprehensif menyelesaikan masalah normalisasi Korut, yang dengan kata lain berarti membangun hubungan doplomatik dengan AS dan Jepang, dan kemudian juga menciptakan mekanisme untuk perdamaian permanen di Semenanjung Korea.
Seperti diketahui, setelah Perang Korea berakhir pada tahun 1953, “Perjanjian Gencatan Senjata Korea” (Korean Armistice Agreement) yang telah ada selama lebih dari setengah abad ini, namun ternyata kedua belah pihak belum menandatangani perjanjian damai. Korut dengan AS dan Korsel masih diambang peperangan.
Hingga hari ini, baik AS dan Korsel masih tidak mau mengakui Korut sebagai negara normal, walaupun Korut (DPRK) merupakan anggota PBB, mereka belum menjalin hubungan diplomatik, jadi hal pertama bagi Korut yang perlu diatasi adalah masalah kelangsungan kehidupan politiknya.