AS Sengaja Menciptakan Kekacauan
Pengamat melihat sejak AS menerapkan strategi kembali ke Asia-Pasifik, Laut Timur Tiongkok dan LTS menjadi focal point (titik api) stragis untuk menggnaggu kebangkitan Tiongkok.
Pada tahun 2010, menghasut krisis Semenanjung Korea. Pada tahun 2012, menggunakan insiden kepulauan Diaoyu atau Senkaku dengan mengompori gejolak di Laut Timur Tiongkok, untuk mengacaukan negosiasi Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) Tiongkok-Jepang-Korsel.
Kemudian beralih ke LTS dimana dengan memberikan senjata kepada Filipina dan Vietnam, dan mendesak negara-negara ASEAN untuk “membentuk front persatuan” melawan Tiongkok ketika membahas isu LTS. Itu semua telah mengganggu hubungan persahabatan antara negara-negara di sekitar LTS dan Tiongkok. Yang terakhir kasus arbitrase LTS yang menyebabkan suasana tegang dan awan perang menimbulkan kekhawatiran bagi semua pihak di Asia-Pasifik.
Namun, saat ini, politik hegemonik dan diplomasi kapal perang AS telah digunakan, tapi tidak mampu menakut-nakuti Tiongkok yang sedang bangkit. Tapi andaikata terjadi insiden konflik yang tidak sengaja antara militer AS dan Tiongkok, mungkin akan menjadi benar-benar untuk kepentingan AS.
Sebenarnya masalah kedaulatan teritorial adalah masalah yang sangat sensitif, dan salah satu yang sulit untuk menemukan kompromi untuk hal itu. Bagi setiap negara, mereka harus berkompromi untuk teritorinya, dan negara tidak memiliki dasar hukum. AS sangat mahir menggunakan konflik-konflik ini, karena tahu mereka tidak dapat mengatasinya sama sekali. Kemudian AS mengompori, AS menarik manfaat dari itu. Strategi demikian yang sering diggunakan AS.
Pada 9 Mei 2016, Rodrigo Duterte resmi ditetapkan sebagai presiden Filipina, dia yang selama ini bersikap keras terhadap AS. Pada saat ini, Panglima Komando Pasifik AS, Laksamana Harry Harris mengeluarkan seruan untuk perang.
“The New York Times” melaporkan pada hari itu Harris mengatakan, “akan ada serangan jaringan di LTS, termasuk Huangyan,”dan militer diperlukan untuk siap perang “mulai malam ini.” Itu berarti konfrontasi langsung dengan Tiongkok. AS memiliki AL yang sangat profesional dan responnya sangat proaktif, kebijakan untuk mengirim kapal perang ke kawasan tersebut, dalam rangka mempersiapkan untuk bertindak atau intervensi dalam urusan regional, dianggap sangat provokatif.
Pada 18 Juni, USS John C. Stennis dan USS Ronald Reagan CSGs Nimits Kelas berlayar ke perairan Filipina untuk melakukan latihan bersama. Komandan USS John C. Stennis CSG—Marcus Hithcock mengatakan, “Latihan menggabungankan 12.000 tentara, 140 pesawat jet tempur, 6 frigat kecil, dan 2 kapal induk. Tidak ada angkatan laut negara lain yang bisa mengumpulkan kekuatan sebesar seperti demikian di perairan ini.”
Kepala Operasi AL-AS John Richardson bahkan mengatakan bahwa AS berharap ini akan dibaca sebagai “efek gentar/deterrenct” oleh negara-negara tertentu.