Sebenarnya dalam UNCLOS itu dengan jelas dinyatakan masalah kedaulatan tidak berada dalam lingkup UNCLOS, dan jika perselisihan tersebut melibatkan perbatasan maritim, kepemilikian sejarah atau kegiatan militer dan penegakan hukum, negara-negara penandatangan berhak untuk tidak menerima arbitrase yang dipaksakan sebagai sengketa, dan yang masuk dalam kategori yang dikecualikan oleh negara lain, sehingga arbitrase tidak memiliki yurisduksi.
Sebelum tahun 2006, Tiongkok menyatakan bahwa sengketa perbatasan maritim ini jatuh (sebagai) dalam kategori dikecualikan dari arbitrase sesuai dengan peraturan yang relevan dalam pasal 298 dalam UNCLOS.
Pada kenyataannya ini merupakan hal yang menglobal, bukan hanya sesuatu Tiongkok saja yang telah melakukannya. Ada sekitar 34 negara yang telah membuat deklarasi serupa yang dikotegorikan dikecualikan, dan dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, hanya AS yang belum meratifikasi UNCLOS, selain dari AS, empat negara lainnya telah semua menyatakan kategori dikecualikan dan deklarasi ini sebenarnya hak yang diberikan kepada negara-negara ini oleh UNCLOS.
Dalam rangka untuk mendapatkan PCA (Permanent Court of Abritration) untuk menerima kasus arbitrase ini, Filipina sengaja membuat paket yang menarik. Pertama merancang dengan mengajukan banding untuk sembilan garis putus, dengan mengatakan “sembilan garis putus tidak sesuai dengan hukum internsional, dengan mengatakan Tiongkok tidak memiliki hak maritim di Laut Tiongkok Selatan.”
Banding yang kedua, mengenai definisi pulau dan karang. Pertama diyakini bahwa Pulau Huangyan tidak dapat mendukung tempat tinggal manusia, atau melakukan kegiatan ekonomi, sehingga tidak harus dianggap sebagai bagian dari 200 mil laut landas kontinen Tiongkok atau zona ekonomi ekslusif (ZEE) – itu hanya bisa menjadi bagian dari mil laut (12 mil laut) wilayah perairan Tiongkok.
Kedua, dipercaya bahwa “pulau dan trumbu karang yang dikuasai Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, ada lima karang yang teremdam dalam air pasang surut, untuk ini Tiongkok tidak memiliki hak maritim, tiga diantaranya adalah pulau dan karang, dan dimana seharusnya dibatasi hak maritimnya.
Jika dilihat masalah seperti diatas ini, secara sepintas, masalah ini merupakan terlingkup dalam kedaulatan dan isu-isu militer, tetapi mereka semua mengacu pada kepentingan “hak maritim.”
Juru bicara Kemenlu Tiongkok Zhao Lie memberi pernyataan, Inti sengketa antara Tiongkok –Filipina adalah Filipian telah secara ilegal mengivasi dan menduduki pulau-pulau dan karang dari milik Tiongkok di Kepulauan Nansha, dan UNCLOS tidak punya kepentingan dan kewenangan untuk kepentingan maritim dan perselisihan hak antara Tiongkok dan Filipina.
Sebelum tahun 2002, Tiongkok dan negara-negara ASEAN termasuk Filipina, telah menanda-tangani “DOC” (yang juga diprakarsai Indoensia), dimana semua pihak berjanji untuk perselisihan teritorial dan yurisdiksi dapat diselesaikan dengan konsultasi ramah dan negosiasi damai.
Pada tahun 2011, Filipina dan Tiongkok sekali lagi merilis pernyataan dimana kedua belah pihak menegaskan kembali bahwa mereka akan menghormati dan mematuhi “DOC.”
Namun, pada tahun 2013, meskipin Tiongkok telah protes, Filipina tetap secara sepihak mengajukan permohonan arbitrase sengketa Laut Tiongkok Selatan ke pengadilan arbitrase.