Strategi AS Untuk Menekan Rusia
Menurut pendapat pihak Rusia, AS telah dengan cermat merencanakan “perang minyak” masih belum menjadi tuduhan yang mendasar. Pada 1980an, Pemerintahan Ronald Reagan pernah meluncurkan “perang harga minyak” melawan Arab Saudi dan negara-negara lainnya. Pada saat itu, harga minyak internasional berada di harga 10 USD untuk waktu yang lama.
Tindakan ini menyebabkan perekonomian mantan perekonomian Uni Soviet yang sangat bergantung pada ekspor minyak, mengalami kesulitan yang komprehensif. Banyak pihak yang menegaskan harga minyak telah menjatuhkan perekonomian Uni Soviet, yang menjadi salah satu sebab utama Uni Soviet bubar.
Tapi masalahnya tidak ada situasi yang berdiri sendiri. Pada tahun 2008, harga minyak meroket hingga 147 USD per barel, namun pada Desember tahun lalu, dengan cepat menjadi dibawah 40 USD per barel. Dan harga minyak kebetulan jatuh pada bulan Agustus 2008, setelah Rusia mulai dengan Perang Georgia, dan hubungan dengan Barat dengan cepat memburuk.
Pada tahun 2014, saat Rusia intervensi dalam konflik Ukraina, dan kemudian juga intervensi dalam konflik Syria, dalam mencari dan mebentuk sebuah kekuatan yang berlawanan dengan AS di Timteng. Saat itu harga minyak menjadi rendah, maka banyak yang menaksirkan ada kaitannya untuk menekan lawan politik AS---Rusia, dan itu jelas terlihat untuk kepentingan geopolitik AS untuk melakukan hal ini.
Analis melihat bahwa AS jelas tahu, Rusia tidak bisa digulingkan sepenuhnya, tahu Rusia negara kuat dan pertahanannya sangat tinggi, jadi bagaimana harus bertindak melawan mereka, hanya membuatnya “sakit,” agar bertiarap atau terlentang di pembaringan (bedridden) agar tidak bisa meninggalkan rumah, bisa saja ini menjadi dasar AS untuk mencapai strategisnya, untuk menghentikan Rusia untuk bisa pergi ke Timteng dan mengacaukan segalanya (kepentingan AS).
Ini yang menjadi tujuan AS sekarang, tampaknya hampir mendekati keberhasilan. Tapi analis menlihat bahwa AS tidak benar-benar berharap Rusia jatuh, hanya bertujuan untuk menyebabkan Rusia tidak mampu untuk bertindak, dan ini menjadi kepentingan terbesar AS.
Strategi Arab Saudi Melawan Rusia Yang Mendukung Syria
Jadi apa motif Arab Saudi untuk menurunkan harga minyak? Pada bulan Pebruari tahun lalu. “New York Times” menuliskan sebuah artikel yang mengatakan, Arab Saudi melakukan tekanan kepada Putin dengan harapan agar Rusia melepaskan dukungannya kepada pemerintahan al-Assad di Sryia. Dan Arab Saudi melihat minyak sebagai senjata ampuh untuk melemahkan dukungan Putin untuk mendukung pemerintahan al-Assad.
Dari sini kita bisa melihat sangat jelas isu-isu geopolitik di Timteng. Lalu mengapa negara-negara Timteng seperti Arab Saudi semua berharap untuk menyelesaikan masalah Syria? Disebabkan karena di Syria, minoritas Syiah yang memerintah mayoritas Sunni, dan jika pemerintah Syria bisa ditumbangkan, maka mereka dapat membangun pipa minyak dan gas alam sepanjang Arab Saudi melalui Syria ke Eropa.
Ide ini bisa dilacak kembali ke zamannya Wilhelm II, Kaisar Jerman, yang menginginkan membangun saluran demikian untuk minyak, tetapi setelah P.D. II meletus, mereka tetap ingin membangun hingga hari ini tapi belum terwujud, karena tersisa putus di saluran yang melalui Syria.
Jika masalah Syria dapat diselesaikan, maka mereka akan mampu membangun ini. Tetapi jika pipa ini dibangun, Rusia akan menjadi salah satu yang sangat terpengaruh. Rusia jelas tidak ingin itu terjadi, itulah mengapa dibalik itu semua Rusia mengirim pasukan ke Syria, itu adalah geopolitik.
Daniel Yergin seorang ahli minyak yang tersohor dunia mendekripsikan hubungan antara minyak dan geopolitik dengan mengatakan : “10% dari minyak adalah ekonomi, dan 90% adalah politik. Minyak dan Politik adalah kebaran yang tak terpisahkan. Tidak ada minyak tanpa pilitik.”
Selama tidak ada sumber energi untuk menggantikan minyak, maka minyak akan terus menjadi sumber petikaian dunia. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika ada kenaikan dramatis atau penurunan harga minyak, hal itu akan memicu berbagai teori konspirasi.
Kini “AS dan Arab Saudi bersatu untuk melawan beruang kutub” ini menjadi salah satu versi teori konspirasi. Dengan dramatis jatuhnya harga minyak berturut-turut, banyak versi baru dari teori konspirasi bermunculan.
Mohammad Javad Zarif, Menlu Iran mengatakan : Hari ini tanggal 16 Januari ’16, adalah hari baik bagi rakyat Iran. Selain itu, Kita juga percaya bahwa ini hari baik untuk kawasan ini. Sebelum ini, kawasan ini diselimuti dengan bayagan konflik yang yang tidak perlu, tapi sekarang kita sudah terselamatkan.
Pada 16 Januari 2016, Perjanjian Kompresif tentang masalah Iran secara resmi diimplementasikan.
Iran memiliki cadangan minyak terbesar ke-4 dunia setelah Venezuela, Arab Saudi dan Kanada, dan menyumbangkan sekitar 10% dari cadangan minyak dunia. Menteri Perminyakan Iran mengatakan, satu minggu setelah sanksi dicabut, Iran akan meningkatkan ekspor 500 ribu barel per hari, dan kemudian akan meningkat menjadi 1 juta barel per hari dalam waktu 6 bulan.
Kembalinya Iran ke Pasar Minyak Membuat Arab Saudi Tidak Tenang
Tapi bagi Arab Saudi kembalinya Iran ke pasar minyak mentah internasional membuat pahit dimulut. Seperti dengan alasan konflik agama untuk waktu yang lama kedua kekuatan utama Timteng ini, Arab Saudi dan Iran telah saling berseberangan satu sama lain.
Setelah lebih dari 10 tahun perubahan, kedua negara yang sebelumnya seimbang dalam kontes regional secara bertahap Iran berkembang lebih kuat dari Arab Saudi.
Tapi berkat peningkatan sanksi negara-negara Barat dan AS terhadap Iran pada tahun 2011, selama lima tahun terakhir, Arab Saudi telah mengambil keuntungan di pasar energi.
Tapi kini sanksi ekonomi Barat terhadap Iran telah dicabut, di antara banyak versi teori konspirasi tentang jatuhnya harga minyak internasional muncul versi lain dari “kontes antara dua kekuatan Timteng ini.”
Pada umumnya banyak pihak percaya bahwa AS dan Arab Saudi saling berhubungan untuk menenkan lawan politik mereka Rusia., sementara Arab Saudi menekan Iran. Semua orang tahu USD sangat terkait dengan minyak Arab Saudi, mereka bergabung bersama-sama, ini yang menyebabkan jatuhnya harga minyak begitu jauh.
Memang benar bahwa bagi Arab Saudi dengan tidak ada perubahan nyata dalam permintaan minyak mentah, jika Iran meningkatkan produksi jelas akan mengancam distribusi pangsa pasar itu sendiri.
Selain itu, dengan pencabutan pembatasan ekspor minyak Iran akan meningkatkan pengaruh Iran di kawasan Teluk.
Setelah sanksi-sanksi dicabut, Iran akan memiliki penghasilan lebih, dan pengaruhnya di kawasan Teluk Persia akan meluas. Ini menjadi ancaman besar bagi Arab Saudi.
Pemerintah Arab Saudi memiliki cadangan devisa asing 750 USD, membuat kekuatan keuangan yang mantap, sehingga bahkan jika harga minyak jatuh, mereka masih memiliki dana untuk menahan pukulan.
Dan 15% dari pendapatan keuangan Iran berasal dari ekspor minyak. Bahkan jikalau negara-negara Barat mencabut sanksi mereka, untuk mendukung anggaran pemerintahnya harga minyak Iran perlu lebih dari 100 USD. Jelas tidak seperti Arab Saudi , dengan kekuatan finansial yang lebih luas, kemampuan Iran untuk menahan pukulan harga minyak rendah jauh lebih kecil.
Dalam hal ini “Fiancial Times” Inggris memberi komentar : “Arab Saudi berharap untuk menggunakan harga minyak rendah untuk menelan pangsa pasar dari negara-negara penghasil minyak lainnya., terutama lawan lamanya---Iran. Negara yang akan merasakan terpuruknya harga minyak yang rendah bukanlah Rusia, melainkan Iran.”
Tampaknya dalam situasi begini saat ini, Arab Saudi telah menghitung bahwa jika harga diturunkan menjadi 28 USD per barel, mereka masih memperoleh keuntungan, karena biaya produksi minyak Arab Saudi adalah yang terendah, dan mereka sudah menggenggam dollar, dengan harga transpotasi masih antara 10 sampai 20 dolar, sehingga pada level 20 USD per barel masih meraih keuntungan.
Tapi Iran tidak bisa melakukan itu, biaya produksi minyak Iran jauh lebih tinggi, sehingga walaupun sanksi terhadap Iran telah dicabut, dan pasokan minyak juga akan terus meningkat, tampaknya Arab Saudi tidak akan mengubah resolusinya.
Tampaknya mereka akan menggunakan kompetisi irasionil ini untuk membuat lawan mereka kolaps.
“Financial Times” Inggris, meberi pandangannya: Arab Saudi tidak pernah mau menyerah dalam menggunakan minyak dan USD dalam arena politik. Ini menjadi senjata diplomatik penting bagi Arab Saudi. Saat ini Arab Saudi dan sekutunya di kawasan Teluk lainnya menggunakan harga minyak sebagai senjata politik untuk menyerang Iran dan Rusia.
( Bersambung ......... )
Sumber: Media TV dan Tulisan Luar dan Dalam Negeri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H