Krisis pemutusan hubungan diplomatik bisa menyebabkan situasi perang di Syria dan daerah lainnya di Timteng akan lebih tidak tahu lagi arah perkembangannya.
Saat ini, situasi umum di Syria adalah salah satu yang masih berperang saat perundingan. Mereka tidak akan berhenti berperang hingga perundingan selesai, tidak pula mereka berhenti berunding karena mereka sedang berperang, dan kini mereka sedang dalam keadaan berperang saat berunding. Dan persaingan Arab Saudi dan Iran jelas saling berkontes dalam perang ini.
Karena kemajuan dalam perang di darat akan mempengaruhi proses perundingan, dan akan menjadi kondisi dalam perundingan, dimana pihak-pihak yang harus membuat konsesi, yang akan mempengaruhi fleksibilitas proposal. Maka situasi pertempuran saat perundingan akan terus berlanjut.
Untuk situasi kontra terorisme, krisis diplomatik ini tentu akan membuat lebih sulit untuk melakukan beroperasi kerjasama kontraterorisme global, Syria dan Irak merupakan pusat dan jantung dalam memerangi kelompok tekstrimis.
Tetapi jika Syria dan Iran terus bertentangan satu sama lain dalam masalah Syria, pasti akan lebih mempolitisasi topik kontraeorisme.
Tahun lalu, Saudi Arabia menciptakan aliansi“Sunni” kontrateororisme yang mengecualikan Iran, Syria, dan Irak, Niatnya sangat jelas bisa diperkirakan. Jika kontraterorisme mencampur adukan dendam antara negara-negara utama, bisa dibayangkan situasi strategis kontrateorismenya juga akan asam. Dalam kasus ini, maka kelompok-kelompok ekstrimis yang berbasis di Syria dan Irak yang mungkin akan memperoleh manfaat utama dalam turbulensi TimTeng.
Situasi demikian tidak menguntungkan bagi kerjasama internasional untuk perang melawan teror, karena kita tahu untuk situasi seserius di Syria dan Irak dengan terorisme dan ekstrimisme seperti sekarang ini, hanya bisa dieliminir jika masyarakat internasional bekerjasama secara efektif melawan ini.
Dan kerjasama ini harus multi-lapis (multi-layers). Perlu ada kerjasama militer, politik serta penyatuan kesadaran. Perlu ada pengelompokan. Ini adalah multi-lapis. Demikian pendapat para analis.
Dalam hal memerangi kelompok ekstrimis, sulit bagi Arab Saudi dan Iran, dua negara yang memiliki kemampuan bekerjasama untuk mengirim pasukan darat di Timteng. Jadi mereka akan terus masing-masing bertempur untuk perang mereka sendiri untuk beberapa waktu.
Iran mendukung pemerintahan Bashar al-Assad, dan dapat memobilisasi kekuatan Hizbullah di Lebanon. Di Lebanon dan pusat Syria mereka memegang erat Damskus. Di jalur transportasi disepanjang garis pantai dari Damaskus ke Homs, para relawan dari Garda Revolusi dan pasukan khusus Iran mereka aktif melakukan misinya.
Ketika mereka sedang melakukan misi ini, tidak ada gesekan antara mereka dan pasukan oposisi yang didukung Arab Saudi, mereka bertempur untuk perangnya sendiri. Kedua pihak ini bisa saja mengatakan mereka berperang melawan ekstrimis, tapi dalam kenyataan, setelah pemrintah Syria kehilangan kontrol penuh atas negaranya, mereka justru berjuang untuk lingkup kekuasaannya mereka sendiri. Ini kenyataan menurut pengamat dan analis Timteng.