Dalam pandangan tradisional Barat “Black Friday” atau “Friday the 13th” dan angka 13 dianggap angka sial. Jika angka 13 jatuh pada hari Jumat, maka akan membawa kesialan.
Tradisi ini jika ditelusuri sejarah dimulai pada 1305, Paus Celment V yang baru dan berbasis di Avignon, Prancis. Dan King Philip , Paris, Prancis. Yang konon ingin pinjam uang ke Ordo Satria Templar. Paus Khatolik yang sudah mempunyai banyak hutang akibat perang di Inggris, dan King Philip yang ingin meminjam uang karena sedang kekurangan uang. Singkat kata karena tidak berhasil.
Maka Templar dituduh sebagai aliran sesat, dan akhirnya dengan segala alasan diserang habis. Penyerangan di mulai pada 13 Oktober 1307 yang persis jatuh pada hari Jumat tanggal 13. Perkembangan selanjutnya maka jika tanggal 13 jatuh pada hari Jumat. Maka hari itu disebut “Black Friday” atau “Friday the 13th” dan angka 13 dianggap angka sial. Disini penulis tidak membahas panjang tentang cerita ini.
Tidak perduli jatuh pada bulan apa saja, setiap tanggal jika jatuh pada 13 hari Jumat, maka diberi label “Black Friday”. Pada 13 Nopember 2015, kemalangan sunguh-sunguh menimpa Paris, Prancis. Tragedi yang terjadi pada itu akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Pada malam hari itu terjadilah serangan teroris yang beanr-benar mengerikan.
Stade de France adalah stadion sepak bola dan olah raga, malam itu terjadi pertandingan persahabatan antara kesebelasan Jerman dan Prancis, yang dihadiri oleh penonton 80 ribu. Presiden Prancis Francois Haollande dan Menlu Jerman Frank-Walker Steinmeier juga hadir.
Setelah mengetahui terjadi ledakan di luar stadion, Hollande buru-buru memasuki ruang kontrol Stadion dari sana mengawasi operasi umum. Setelah itu Hollande dikawal keluar dari ruang konrol oleh petugas keamanan.
Tapi yang lebih tregis terjadi di Teater Batclan, malam itu Band Rock “Eagle of Death Metal” dari AS sedang mengadakan pertunjukan. Dua orang teroris bersenjata menyandera penonton dan menembakan AK-47s pada penonotn sipil yang tidak berdosa yang sedang menonton pertunjukan.
Seketika itu jeritan dan kepanikan terjadi dimana-mana dalam ruang pertunjukan. Korban-korban berjatuhan dengan bersimbah darah, orang yang bertiarap terus ditembaki, semua orang coba melarikan dirinya.
Malam itu seketika kota Paris yang dijuluki “kota romantis” mendadak menjadi “Neraka Dunia”, serangan iblis teroris bersenjata terhadap orang sipil yang tidak bersalah, menyebabkan warga sipil menjadi ketakutan dimana-mana.
Tidak lama setelah itu Francois Hollande dengan gemetar menyampaikan pidato disiaran TV. Dengan mengatakan : “Pada saat saya berbicara kepada Anda, serangan teroris dengan tingkat yang belum pernah terjadi sebelum sedang terjadi di wilayah Paris. Ada puluhan orang mati, ada banyak yang terluka. Ini horor.”
Hollande mengumum Negara Dalam Keadaan Darurat di seluruh Prancis, Menutup seluruh perbatasan.
Hollnade selanjutnya menyiarkan : Keputusan kedua, dengan melakukan penutupan perbatasan, kita harus yakin bahwa tidak ada yang bisa masuk untuk melakukan apapun menurut apa yang mereka mau, dan pada saat yang sama kita akan tangkap mereka yang melakukan kejahatan.
Keadaan darurat nasional sangat jarang dilakukan di Prancis sepajang sejarah. Dalam 60 tahun terakhir, hanya ada 5 kali, ini kali yang ke-5. Pertama tiga kali terjadi pada tahun 1950an, pada saat itu, Prancis sedang terlibat dalam Perang Aljazair. Saat itu sedang terjadi pemberontak kolonial dan banyak serangan, tapi itu terjadi terutama di daerah Aljazair yang dikuasai Prancis.
Salah satu lagi terjadi belum lama ini pada tahun 2005, ketika ada turbulensi di pingiran Prancis. Tapi implemetasinya pada skala kecil, dan skalanya hanya sekitar area utama Paris. Kali ini darurat di berlakukan secara nasional yang meliputi Corsica, merupakan yang pertama kali dalam sejarah Prancis.
Serangan teroris Paris, Prancis yang terjadi malam 13 Nopember 2015 ini, jelas sudah terrencanakan secara cermat. Mereka muncul di lokasi yang berbeda, tapi ada hubungan tertentu antara lokasi serangan tersebut, teroris mungkin telah memperoleh akses informasi yang sangat rahasia.
Analis melihat serangan ini sangat teliti. Setelah melakukan tembakan diikuti dengan ledakan, mereka menculik beberapa sandera, ini dilakukan secara berurutan, mereka menyerang Stade de France beberapa kali. Terlihat urutan kejadian sangat cermat direncanakan. Ada gelombang serangan yang dilakukan pada waktu yang sama. Jika dibayangkan sangat menakutkan sekali.
Tidak mungkin rencana ini dilakukan oleh hanya beberapa orang saja dalam beberapa hari. Mereka harus survei lokasi, mempelajari timing yang tepat, situasi keamanan lokasi, terlihat mereka sangat paham sebelum melakukan serangan. Mereka sangat tepat dan sangat jelas tentang semua hal yang sedang direncanakan selama itu.
Selain dari perencanaan yang rinci dan organisasi yang teliti, serangan teroris ini memiliki sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya dan unik. Jika serangan terhadap stadion berhasil, konsekuensinya akan tak terbayangkan. Padahal menurut berita penbom bunuh diri ini sebenarnya akan ikut masuk sebagai penonton dalam stadion, namun karena ketatnya pemeriksaan oleh pihak keamanan bagi penonton yang hendak masuk, mereka terpaksa meledakan di luar stadion.
Sifat politis dari serangan ini sangat jelas terlihat, penyerang tahu bahwa diantara penonton pertandingan dalam stadion ada Presiden Prancis dan Menlu Jerman. Jika mereka sukses melakukan serangan menurut rencana mereka, benar-benar akan sangat menakutkan melibihi dari serangan 11 September di AS. Jika membicarakan urutan penyerangan, dan karena ketatnya keamananan masuk stadion dan mungkin karena waktu tidak terkoordinasi dengan benar, bom mungkin meledak terlalu dini, sehingga tidak meledak dalam stadion.
Jika dilihat dari realitas serangan, telah dilakukan serangan diluar stadion, mungkin termasuk dalam rencana serangan, untuk mengalihkan perhatian polisi, dan memecah kekuatan polisi untuk titik-titik lainnya. Saat polisi perhatiannya terpecah, mereka menyerang stadion, sehingga tercapailah tujuan politik, dan kali ini diarahkan pada pemimpin nasional, jika dicermati ini suatu yang kita belum pernah melihat sebelumnya.
Pada malam tanggal 13, teror menyebar sepanjang malam ke seluruh di Paris. Pelatih kesebelasan Jerman, Joachim Lw mengatakan : “Kita benar-benar terkejut. Secara pribadi, pertandingan dan olahraga kepentingannya telah hilang. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan.”
AS telah mengalami serangan 11 September, dan Inggris pernah mengalami serangan teroris 7 Juli di London. Tapi selama waktu itu di wilayah Prancis belum tampak ada serangan teroris sekalipun.
Selama itu Prancis memperoleh reputasi sebagai “pemimpin kontra-terorisme di Eropa”. Dan model kontra-terorismenya menjadi model untuk ditiru negara-negara Barat.
Namun, mulai Maret 2012, Prancis telah sering menjadi target serangan teroris, dan model kontra-teroris Prancis telah menjadi subyek dari keraguan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Setelah penembakan teroris “Charlie Hebdo” pada awal tahun ini, Prancis mengumumkan mereka akan menginvestasikan sebagian personil dan material dalam perang melawan terorisme, termasuk menambah 2.680 posisi kontra-terorisme dan senilai 425 juta Euro persediaan perlengkapan dalam tiga tahun ke depan.
Pada bulan Januari tahun ini, Prancis menginvestasikan lebih dari 700 juta Euro untuk memperkuat kemampuan pengumpulan info intelijen dari lembaga kontra-terorismenya.
Pada bulan April, telah dilakukan investasi lain 3,8 milyar euro untuk memperkuat fungsi kontra-terorisme militer, dan melaksanakan patroli militer reguler di tempat-tempat penting.
Pada bulan Mei, telah meloloskan UU kontra-terorisme yang kontroversial, yang memperluaskan kewenangan badan-badan intelijen, yang menungkinkan mereka untuk menyadap ponsel dan memonitor internet.
Setelah itu, Departemen Keamanan Prancis dan Polisi menambah personil 1.400, dan juga menambahkan tanggung jawab pada intelijen, bea cukai, kejaksaan, keuangan dan keamanan nasional untuk memerangi terorisme.
7500 posisi militer dari 34.000 yang rencananya akan dibubarkan sebelum 2019 akan dipertahankan untuk patroli di dearah-daerah sensitif di Prancis.
Berkenaan dengan serangkaian operasi kontra-terorisme pada akhir tahun dan awal tahun, Prancis benar-benar telah memperluas banyak upayanya. Pertama-tama, memperluas polisi dan memperkuat perlindungan dan patroli target penting. Banyak orang sering melihat beberapa situs yang indah, termasuk beberapa sinagog Yahudi, kedutaan besar, dan beberapa organisasi lainnya terasa adanya banyak patroli, dan lebih banyak penjaga perdamaian dan petugas keamaan dari sebelumnya.
Juga Prancis telah meloloskan UU intelijen, dengan menambah perangkat badan-badan intelijen dengan kekuasaan lebih dari sebelumnya. Dan juga mempromosikan peningkatan kerjasama intelijen dengan negara-negara Eropa lainnya. Tapi analis melihat Prancis sepertinya belum melakukan apa-apa.
Peningkatan anggaran, menambahan personil dan meng-upgrade peralatan, namun strategi multi-cabang pemerintah Prancis tetap tidak bisa menghentikan serangan teroris, yang bahkan bisa menembus lubang celah keamanan yang tipis.
Maka Prancis menganalisa masalah tersebut, Jaksa Agung dan Kepolisian Prancis menganalisa masalah tersebut. Ketika polisi Prancis disebar di Paris, penyebaran tidak bisa untuk Paris sepenuhnya. Masih ada yang lemah di beberapa tempat dan relatif kuat di tempat lainnya.
Kenyataan ini yang memberi kesempatan pada teroris. Juga dalam hal apakah bisa atau tidaknya menekan teroris, terutama tergantung pada informasi dan intelijen. Untuk masalah ini Prancis masih belum cukup baik dan masih perlu peningkatan. Banyak analis dan pengamat yang berpendapat demikian.
Langkah yang paling penting dalam menghentikan kegiatan teroris adalah intelijen. Jika tidak dibentuk sistem inlijen yang efektif domestik, maka tidak mungkin untuk bisa menghentikan mereka. Dalam hal peringatan dini dari intelijen apakah Prancis sudah memiliki kapasitas itu? Jawaban pasti sudah.
Serangan teroris Paris kali ini, sudah pasti telah direncanakan dengan cermat, dari pengrekrutan personil, distribusi senjata dan perlatan, pengadaan dan transportasi, bahkan untuk pemilihan lokasi pengeboman dan waktunya serta koordinasi, untuk persiapan ini pasti diperlukan puluhan bahkan ratusan kontak dan komunikasi.
Dalam melakukan kontak ini tidak mungkin dilakukan hanya pada seorang, itu harusnya telah ada konsentrasi kontak, dan faktanya tidak ada sistem intelijen yang mendeteksi dan menemukan mereka, ini betul-betul menakutkan. Ini mengindikasikan sistem monitoring atau pemantauan Prancis pada dasarnya biasa-biasa saja dan hanya untuk show saja. Demikian pendapat banyak analis.
Federica Mognini, Perwakilan Tinggi Uni Eropa Untuk urusan Luar Negeri dan Kemananan prnah berkata, kontra-terorisme bukan hanya masalah keamanan, itu adalah masalah budaya.
Eropa selalu memiliki kesulitan untuk menarik garis yang jelas antara kontra-terorisme dan perlindungan hak-hak warga negaranya.
Pada tahun 2010, Parlemen Eropa telah men-veto usulan untuk melakukan pertukaran informasi antara Uni Eropa dan Perbankan AS, dalam rangka meningkatkan kontraterorisme, dengan alasan itu meng-invasi hak privasi warga negara.
Pada April 2014, Pengadilan dan Kehakiman Eropa telah mengakhiri “Data Rentation Directive” data retensi , dan piagam tentang rekaman nama-nama wisatawan Eropa yang telah diajukan selama empat tahun, dengan alasan hal itu melanggar “Piagam Hak-Hak Fondamental” Uni Eropa.
Ahli kontra-terorisme Prancis, Benoit Gomis dari Inggris yang berbasis di Chatham House (Royal Institute of International affairs), pernah mengatakan sangat cemas bahwa pemantauan real-time akan dibatasi pada tingkat pengadilan.
Kerjasama dalam operasi kontrateorisme penting dan promosi berbagi atau sharing intelijen sering terikat dengan isu-isu sensitif transparansi, tanggung jawab, dan kontrol demokratis.
Prancis, negara yang menganjurkan kebebasan, telah mengalami masalah serupa. Alasannya sistem kontra-terorisme dan intelijen relatif tidak efektif hubungannya dengan hukum mereka. Intelijen kontra-terorisme biasanya mengawasi tersangka, dan menyelidiki beberapa petunjuk yang mencurigakan. Tanpa perlu mendapatkan bukti pertama untuk menangkap yang dicurigai.
Namun menurut UU, jika tidak Anda tidak memiliki bukti, Anda tidak dapat mengambil tindakan apapun terhadap tersangka. Dengan melakukan pengawasan bisa dianggap ilegal, karena penyadapan bisa dikatakan oleh departemen tertentu itu sesuatu pelanggaran hak asasi manusia atau privasi.
Kita tahu bahwa Prancis dan negara-negara Eropa lainnya benar-benar memiliki pendapat yang berbeda untuk pemantauan yang komprehensif dengan AS. Ketika mengahdapi isu-isu kebebasan dan keamananan, negara-negara Eropa mungkin cenderung bersandar kepada kebebasan dan privasi bukan keamanan.
Namun “kebebasan” dan “kemanan” adalah dua nilai yang berlawanan, Jika terlalu menekankan pada keterbukaan dan kebebasan, bisa saja mendatangkan bahaya.
( Bersambung ........)
Sumber : Media TV dan Tulisan Dalam dan Luar Negeri.
https://en.wikipedia.org/wiki/Knights_Templar
https://en.wikipedia.org/wiki/Friday_the_13th
http://internasional.kompas.com/read/2015/11/21/04301281/Eropa.dalam.Penjara.ISIS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H