“Berlin Die Tageszeitung” Jerman menulis sebuah artikel, intervensi Barat tidak membawa demokrasi, hukum, dan kebebasan untuk negara-negara Timteng. Sebaliknya telah membuat masalah bagi mereka dan bahkan lebih buruk lagi.
Penarikan dan mundur dengan tergesa-gesa dari pasukan AS dan Prancis setelah mereka campur tangan menimbulkan perang saudara, perang berebut kekuasaan, kekerasan terorisme menjadi norma-norma baru bagi negara-negara tersebut, giliran untuk memulihkan tampaknya akan menghadapi kesulitan dan membuat buram masa depan. Jadi Rakyat yang tinggal disana akan sulit untuk bertahan hidup.
Menghadapi lonjatan gelombang pengungsi yang ingin bertahan hidup, “Los Angeles Times” menuliskan, “Timteng tidak akan pernah berhenti menciptakan masalah bagi AS” karena setelah 10 tahun perang melawan teror dan “Arab Spring”, Timteng berada dalam periode transisi antara order baru dan lama, sehingga variabel macam-macam. Tapi sikap AS dan metode untuk mengubah dan mengontrol Timteng tidak disesuaikan atau diubah.
Banyak analis berpendapat, Eropa dan dunia Barat harus bertanggung jawab, terutama dengan dilancarkannya Perang Teluk II, untuk menumbangkan rezim Saddam Hussein di Irak. Eropa dan AS telah menanamkan kebijakan yang relatif bersifat Invasionary (penyerangan dan invasi) di dunia Arab. AS dan Barat percaya mereka harus menggulingkan pemerintah dan hukum asli yang ada di suatu negara untuk mencapai revolusi demokrasi. Kebijakan dan sikap ini yang memainkan peran langsung dalam gelombang pengungsi.
Presiden Rusia, Vladimir Putin mengatakan pada 4 Septembaer lalu, bahwa krisis pengungsi Eropa memang dapat di prediksi sebagai hasil dari kebijakan AS dan Barat di Timteng, dan ini telah diperingatkan sebelumnya akan konskuensi semacam ini. Ia mengatakan “Kita, dan terutama saya sendiri telah mengatakan di tahun-tahun yang lalu, bahwa mitra Barat harus mau menghormati dan mengakui kebijakan ini keliru, dan akan menimbulkan masalah besar.”
Putin juga secara gencar mengkeritik Eropa akan kebijakan luar negerinya terhadap Timteng dan Afrika Utara, dengan mengatakan bahwa kebijakannya telah mengabaikan kondisi khusus kawasan ini. Dan mereka memaksa standar mereka pada orang lain sementara gagal mempertimbangkan sejarah, agama, etnis, dan ciri-ciri budaya dari kawasan ini.”
Bagi negara-negara Eropa saat ini, seharusnya benar-benar ber-refleksi dengan mendalam bahwa isu gelombang pengungsi ini adalah diakibatkan oleh kebijakan luar negeri masa lalu mereka. Mereka menganjurkan seperangkat nilai-nilai yang dibentuk AS dan Eropa, mereka mengatakan akan mengekspor demokrasi dan kebebasan kepada dunia.
Namun kenyataannya sebagian besar membuat negara yang dipaksa mengimpor seperangkat nilai-nilai ini terganggu struktur politik dan sosial asli dari bangsa ini. Dan ini yang menjadi sumber gelombang pengungsi ini.
Saling Melempar Tanggung Jawab
Mingguan “Der Spiegel” Jerman menerbitkan sebuah artikel pada 7 September’15 lalu “A Superpower in Hiding” dalam artikel ini mengeritik AS telah menciptakan tragedi pengungsi Syria, sementara memaksa Eropa untuk menanggung konsekuensinya dari terciptanya tragedi pengungsi ini.
Masalahnya sekarang bagaimana harusnya Eropa mengatasi krisis kemanusiaan ini? Dan perlu diketahui perang di Timteng masih terus berlangsung, jadi gelombang pengungsi pasti akan terus muncul dan mengalir. Jika masalah stabilitas di Timteng tidak benar-benar dipecahkan, isu pengungsi akan tidak mungkin bisa diselesaikan.