Kanselir Jerman, Angela Merkel mengatakan, sepanjang historis belum pernah ada begini banyak orang melarikan diri dari rumah dan kampung halamanannya untuk menghindar dari perang, kekerasan dan pembunuhan, dimana dikarenakan sengketa yang belum terselesaikan dengan tetangga mereka. Hingga saat ini belum ada tanda-tanda jumlah pengungsi yang mencari perlindungan di Eropa menurun.
Luksemburg, yang kini sedang memegang sebagai Presiden bergilir Uni Eropa, mengatakan, krisis imigrasi telah mencapai “tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.” Krisis telah menyebar tapi tidak ada tanda-tanda unifikasi di Eropa. Bagaimana seharusnya krisis pengungsi ini diselesaikan?
Pada 20 Mei 2015, telah ditetapkan prinsip “kuota pengungsi” dan pada 27 Mei “Checklist Kuota Pengungsi” telah dirilis. Checklist ini termasuk 25 angka dari total jumlah Uni Eropa yang 28, dengan Jerman, Prancis dan Spanyol memikul beban terberat, sedang sisanya yang 23 negara termasuk negara Luksemburg akan dibagi secara proposional.
Dalam menanggapi daftar ini, presiden Prancis menyatakan langsung ketidak senangannya. PM Hungaria, Viktor Orban bahkan secara langsung mengatakan “kuota” itu merupakan “rencana idiot”. Hungaria membangun pagar setinggi 4 meter dan sepanjang 1.756 km disepanjang perbatasan dengan Serbia, untuk membendung membanjirnya pengungsi.
Menlu Prancis Laurent Fabius sangat tidak setuju dengan ini. Dengan mengatakan, “kita hanya bisa menerima orang-orang yang meninggalkan negaranya karena alasan politik atau perang. Ini adalah aplikasi untuk perlindungan, dan setiap negara harus merespon. Prancis, Jerman dan negara-negara lain telah merespon, tetapi ketika saya melihat beberapa negara Eropa menghalau kelompok pengungsi ini, sungguh memalukan.”
Beberapa pengamat melihat, beberapa negara Eropa telah mengomentari dengan nada tinggi seperti Prancis. Mereka menguntuk negara-negara yang telah menolak untuk mengambil pengungsi, tetapi dalam kenyataannya, mereka menganggap seharus tidak boleh mengutuk mitra Eropa mereka sendiri.
Secara geografis, Prancis berada jauh dari daerah di Timteng yang dilanda perang, dibanding dengan negara-negara seperti Italia, Spanyol, dan Jerman. Jadi kemungkinan sangat sedikit bagi pengungsi untuk bisa langsung ke Prancis, sehingga himpitan pengungsi Timteng kecil dibanding dengan neagara-negara yang disebutkan terdahulu.
Sejauh apa yang terjadi dengan gelombang pengungsi ini, baik yang dikarenakan Perang Libya atau Perang Syria. Prancis yang paling ikut mengipasi api peperangan ini, bahkan Prancis yang memainkan peran utama dalam berkembangnya Perang Libya, dan juga berperan paling aktif dalam meng-jungkir-balikkan pemerintahan Bashar al-Assad dan mendukung oposisi Syria.
Tragedi Aylan telah membangunkan dunia dari apatisme akan krisis pengungsi . Hanya dengan beberapa hari saja, UNHCR dan organisasi besar lainnya menerima sejumlah besar sumbangan. Jerman, Austria, dan negara-negara lain membuka perbatasan mereka yang memungkinkan pengungsi untuk bisa lebih “bebas” masuk.