Karena mobilasi ini terkesan sangat terburu-buru, dan belum mencapai seperti harapan semula yang diinginkan. Seharusnya Mesir bergabung tanpa pamrih, tetapi Arab Saudi sangat kecewa dengan Mesir atas seluruh operasi meliternya. Mesir hanya mengirim beberapa kapal patroli Bab-el-Mandeb sebagai simbolis, dan Arab Saudi percaya tindakan Mesir tidak untuk menyerang Yaman untuk membantu Arab Saudi, itu hanya lebih merupakan tindakan untuk melindungi Terusan Suez yang menguntungkan Mesir. Arab Saudi sungguh kecewa terhadap Mesir.
Selain itu, Arab Saudi dalam tingkat tertentu juga kecewa terhadap Pakistan, karena Arab Saudi terutama minta mereka memobilisasi pasukan. Tapi Pakistan merasa ini bukan krisis besar dalam negeri Arab Saudi sendiri, melainkan di negara lain, sehingga Pakistan dengan sopan menolak. Jadi Arab Saudi sangat tidak puas juga.
Negara-negara lain seperti Yordan dan mitra lain di Teluk, yang dikatakan memobolisasi militer nyatanya hanya untuk “pertunjukan” saja. Jadi aliansi Arab Saudi ini di-verifikasi kapasitas tempurnya sebenarnya masih sangat terbatas.
Majalah “Time” Amerika menulis satu artikel: “Hari ini, meskipun Arab Saudi telah menyelenggarakan ketertiban kekuasaannya sendiri, tapi usaha ini kehilangan makna dibawah lingkungan eksternal yang parah.”
Di luar Arab Saudi, situasi dunia Arab semakin hari semakin buruk. Yaman, Irak, Sysria dan Libya situasinya memburuk, seperti ISIS terus merajalela. Menghadapi berbagai tantangan ini, Arab Saudi terlihat seperti putus asa dengan melihat AS dan Iran membuka dialog dan mencapai kesepakatan awal kerangka kerjasama. Arab Saudi pernah menggunakan minyak sebagai alat untuk menghukum Iran, namun hal ini juga menimbulkan kerusakan besar bagi Arab Saudi sendiri.
Pandangan Mencari Solusi Terbaik
Dalam artikel juga disebutkan, dalam perang melawan Iran, Arab Saudi harus membayar harga makin lama makin berat. Kebijakan Timteng perlu disesusaikan, perlu memilih jalur yang lebih median dan kebijakan yang moderat. Jika Arab Saudi dan Iran bisa lebih dekat satu sama lain, kemungkin besar bisa bermanfaat bagi stabilitas Timteng.
Analis Timteng melihat konflik dan persaingan ini disebabkan melemahnya negara-negara besar di Timteng. Bukan dikarenakan vakum kekuatan, tapi lebih munculnya faktor yang tak terkendali lain yang disebabkan melemahnya kemampuan mereka untuk menghadapi tantangan. Selain itu dengan adanya konfrontasi geostrategis antara Arab Saudi dan Iran, konflik agama dan metode ideologis serta konseptual sistem yang menjadi meningkat.
Kaum Sunni di negara-negara seperti Syria dan Irak mereka sepertinya memerlukan beberapa pasukan militer untuk melindungi kepentingan sekte mereka sendiri. Tapi jika mereka berdua saling bertemu, tidak heran akan timbul berbagai bentrok kekuatan tak terkendali yang muncul. Jadi selama ini hanya ketika ada seseorang yang dapat mendukung pemerintah yang kuat di negara-negara seperti Irak , Syria, Yaman dan Mesir, maka konflik agama dapat melemah dan membawa situasi di Timteng benar-benar menjadi stabil.
Arab Saudi sebagai “pemimpin” GCC disatu sisi harus bertanggung jawab atas keamanan dan kepentingan negara-negara Teluk, di sisi lain sebagai kekuatan ekonomi terkuat di Timteng dan sebagai kekuatan utama yang paling berpengaruh di wilayah tersebut. Perlu bagi Arab Saudi bersikap yang bisa mempengaruhi arah masa depan Timteng ke arah kestabilan situasi.
Namun banyak pengamat dan analis Timteng melihat : Bagaimana baiknya situasi kacau di wilayah tersebut dapat dijadikan tenang, tidak lain yaitu bagaimana Arab Saudi untuk bisa mencapai kesepakatan dengan Iran saat ini, justru kini sedang diuji kebijaksanaan Arab Saudi sebagai kekuatan utama Timteng untuk membawa kedamaian regional.