Ranah publik Indonesia makin 'ramai' menjelang putaran Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019. Walaupun masih bebrapa bulan lagi, publik Indonesia disuguhkan berbagai "dagelan" politik yang menyulut nalar dan emosi warga. Salah satu dagelan politik itu adalah masalah "tampang Boyolali" yang disampaikan oleh calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Dalam acara deklarasi dukungan dari Komandi Ulama Pemenang Prabowo-Santi (Koppasandi di GOR Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan, (Minggu, 4/11/2018), Prabowo mengatakan:Â
"Kalian kalau masuk, mungkin kalian diusir. Karena tampang kalian tidak tampang orang kaya, tampang-tampang kalian, ya tampang Boyolali ini, betul?" (https://nasional.kompas.com/read/2018/11/05/09042771/ketika-prabowo-merasa-candaannya-selalu-dipermasalahkan)
Statement ini telah memantik rasa kecewa dan amarah dalam diri warga Boyolali. Alasan utama di balik kekecewaan dan amarah itu ialah pandangan warga bahwa "harkat dan martabat" mereka tidak dihormati. Warga Boyolali lalu menggelar demonstrasi menyatakan kekecewaan dan amarah mereka.Â
Terhadap masalah ini, Prabowo sendiri tampak "innocent" menyatakan bahwa candaannya senantiasa dipermasalahkan. Sebagaimana disampaikan oleh Kompas.com, Prabowo mengatakan:
"Saya baru keliling kabupaten-kabupaten di Jateng dan Jatim. Mungkin Saudara monitor. Saya juga bingung, kalau saya bercanda dipersoalkan. Kalau saya begini dipersoalkan, begitu dipersoalkan." Â
Dari sisi pendukungnya, retorika pun bermunculan -- saya menyebut retorika dalam arti "the art of publc speaking" bukan argumentasi yang bersifat epistemic.Â
Sebagaimana diberitakan kompas.com, Juru Bicara Badan Pemenangan Prabowo-Sandi Jateng, Sriyanto Saputro, pada kesempatan Konferensi Pers di Solo, Jawa Tengah (Minggu, 4/11/2018), menyatakan bahwa intensi ucapan "tampang Boyolali" bukan untuk merendahkan masyarakat Boyolali "Sebab, pernyataan itu Prabowo sampaikan di depan kader, partai koalisi, relawan dan pendukung dalam peresmian posko badan pemenangan Prabowo-Sandi."
Muncul pertanyaan penting di sini: kalau perkataan itu hanya candaan dan tidak berpretensi merendahkan masyarakat Boyolali lalu apakah yang salah dalam pernyataan Prabowo di atas? Mengapa warga Boyolali dalam sekejap menyatakan reaksi keras terhadap pernyataan "tampang Boyolali" tersebut?Â
Tanpa masuk ke dalam ranah politik praktis, saya mengamati bahwa semua retorika para politisi di atas melupakan salah satu unsur fundamental dalam alam multikulturalisme yang makin berkembang pesat saat ini, yakni masalah identitas warga. Menurut saya, masalah sentral yang muncul dalam kasus ini sebenarnya terletak pada "kurangnya sensitivitas multikulturalisme dari Prabowo" terhadap masalah identitas etnis, kultural (dan juga agama) warga masyarakat Boyolali.Â
Menurut Jurgen Habermas, filsuf asal Jerman, dalam alam demokrasi modern saat ini, prinsip penghormatan dan perlakukan yang sama terhadap setiap warga masyarakat dengan latar belakang identitas kultural, etnis dan agama merupakan condition sine quanon atau prasyarat yang tidak dapat dinafikkan oleh siapapun.Â
Dalam alam demokrasi modern, identitas personal ini harus dikembangkan sebagai sebuah identitas kolektif yang sama tanpa diskriminasi. Konsekwensi dari pengakuan identitas personal dan kolektif ini, menurut Hebermas, adalah setiap orang memiliki hak yang sama untuk membangun dan memelihara identitasnya dalam ruang publik politik. Habermas mengatakan:
"Everybody has the same right to develop and maintain her identity in just those intersubjectively shared forms of life and traditions from which she first emerged and has been formed during the course of childhood and adolescence." Jrgen Habermas, "Multiculturalism and the Liberal State," Stanford Law Review, Vol. 47, No. 5. (May, 1995): 851.
Dalam bingkai argumentasi di atas, kita menyadari dengan benar apa yang menjadi pokok kekecewaan warga Boyolali. Kekecewaan itu tidak terletak pada apakah mereka mampu atau tidak secara ekonomis - itu adalah sebuah fakta terberi yang harus diperjuangkan bersama. Pokok kekecewaan mereka terletak pada "bagaimana identitas kolektif mereka sebagai warga Boyolali DIAKUI dalam bingkai negara konstitusi dan demokrasi Pancasila".
Pokok kekecewaan ini kurang dipahami dengan benar sehingga banyak retorika dan opini para politisi pendukung Prabowo-Sandi berakhir pada isu politisasi. Sebaai contoh, juru bicara Paslon no urut 02 Prabowo-Sandi, Andre Rosiade mengatakan bahwa pidato tersebut "sengaja digoreng" oleh lawan politik untuk mendiskreditkan Prabowo. Kepada Tribunnews, Andre mengatakan:Â
"Ini kan gorengan pidato pak Prabowo itu dipelintir digoreng untuk mendiskreditkan Prabowo."Â
Partai pendukung Prabowo-Sandi pun tidak ketinggalan memberikan opini mereka. Sebagai contoh, Sekjen Partai Amanat Nasional, Eddy Soeparno, menilai pernyataan prabowo sudah dipolitisir, katanya:Â
"Saya prihatin segala sesuatu yang diucapkan itu rawan untuk dipolitisir."Â
Tampaknya argumen politisi ini kurang kuat di hadapan argumentasi multikulturalisme. Dalam argumentasi politis itu terlihat adanya upaya untuk membuat pemisahan jelas antara "identitas public" (public identity) atau politik dengan "identitas privat" (private identity). Dalam perspektif Habermas, pemisahan ini keliru karena dalam bingkai multikulturalisme, identitas politik dan identitas privat saling mengisi satu sama lain.
Konstitusi demokrasi modern menjamin otonomi setiap individu untuk menyatakan identitasnya berdasarkan etnis, budaya dan agama tanpa tekanan. Apa yang secara public atau politis disampaikan oleh warga masyarakat merupakan bagian integral dari sejarah kehidupan kultural, etnis dan agama mereka sendiri. Menurut Habermas:
"Citizens share a political culture shaped by a particular history. The constitutional principles are, without any harm to their universalist meaning, interpreted from the perspective of this political culture, which provides at the same time the base for a constitutional patriotism. (Idem).
Argumentasi ini menjadi kuat terdengar ketika warga masyarakat yang berdemonstrasi menolak tegas pernyataan Prabowo yang dianggap sangat menyinggung harga diri mereka. Bagi mereka, pernyataan itu bukan lagi terarah pada masalah ketidakadilan sosial-ekonomi tetapi telah melukai perasaan identitas mereka sebagai satu etnis, budaya dan agama.Â
Dalam perpektif multikulturalisme Habermas, saya menemukan sekurang-kurangnya 2 alasan fundamental mengapa masalah ini menjadi patut dikelola dengan baik.
Pertama, pernyataan "tampang Boyolali" telah memantik marah dan reaksi warga karena keberadaan mereka yang setara dengan anggota masyarakat yang lain kurang dihormati. Demonstrasi warga masyarakat Boyolali adalah sebuah PERJUANGAN MENTUTAN PENGAKUAN IDENTITAS KOLEKTIF. Dalam perspektif multikulturalisme, perjuangan itu adalah kesetaraan sebagai warga negara di ruang public politik. Habermas mengatakan:
"They are members of a community of legal consociates who are supposed to recognize each other as free and equal. The equal respect required from legal persons pertains, however, also to the context of those intersubjective relationships which are constitutive for their identities as natural persons. (Ibid., 852)
Kedua, pernyataan "tampang Boyolali" juga memantik amarah karena warga menolak "penggeneralisasian harga diri mereka" berdasarkan penghasilan, kondisi kerja, penampilan fisik dan lain sebagainya. Semua yang dikatakan terakhir ini ditolak warga Boyolali ini karena merupakan obyek dari distribusi social-ekonomi yang tidak adil, sebagaimana disebutkan dalam pidato tersebut. Warga Boyolali bukanlah obyek oksploitasi politik untuk memperjuangkan keadilan melainkan individu-individu yang bermartabat dalam negara dan bangsa Indonesia.
Akhirnya, masalah "tampang Boyolali" merupakan sebuah pelajaran bagi kita bersama, khususnya bagi para pemangku kepentingan di ranah publik. Masalah ini, dalam perspektif multikulturalisme, merupakan masalah sensitif karena menyentuh aspek privat dan kolektif warga. Reaksi warga Boyolali adalah normal dalam alam demokrasi modern. Demontrasi itu berisikan sebuah perjuangan dan tuntutan agar identitas kultural, etnis dan agama warga diakui secara sama di hadapan konstitusi. Lebih dari itu, harga diri warga tidak bisa diganti dan ditukarkan dengan semua aspek peripheral dalam bidang ekonomi sebagaimana dijanjikan oleh siapapun dalam kampanye Pilpres ini.Â
Saya tetap yakin bahwa para politisi yang berkompetisi tetap mengembangkan sebuah diskursus yang argumentatif dan epistemik ketimbang retorika yang saling menyalahkan dan merendahkan. Sudah pada saatnya, kita semua, terlebih para pemimpin bangsa dan politisi negeri ini, mulai ber-'hijrah' ke ranah diskursus publik yang egaliter dan mencerminkan perasaan multikultural bagi semua orang dan kelompok tanpa diskriminasi.
Manila, 5 November 2018
Departemen Filsafat Ateneo de Manila UniversityÂ
PCFÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI