Pertama, pernyataan "tampang Boyolali" telah memantik marah dan reaksi warga karena keberadaan mereka yang setara dengan anggota masyarakat yang lain kurang dihormati. Demonstrasi warga masyarakat Boyolali adalah sebuah PERJUANGAN MENTUTAN PENGAKUAN IDENTITAS KOLEKTIF. Dalam perspektif multikulturalisme, perjuangan itu adalah kesetaraan sebagai warga negara di ruang public politik. Habermas mengatakan:
"They are members of a community of legal consociates who are supposed to recognize each other as free and equal. The equal respect required from legal persons pertains, however, also to the context of those intersubjective relationships which are constitutive for their identities as natural persons. (Ibid., 852)
Kedua, pernyataan "tampang Boyolali" juga memantik amarah karena warga menolak "penggeneralisasian harga diri mereka" berdasarkan penghasilan, kondisi kerja, penampilan fisik dan lain sebagainya. Semua yang dikatakan terakhir ini ditolak warga Boyolali ini karena merupakan obyek dari distribusi social-ekonomi yang tidak adil, sebagaimana disebutkan dalam pidato tersebut. Warga Boyolali bukanlah obyek oksploitasi politik untuk memperjuangkan keadilan melainkan individu-individu yang bermartabat dalam negara dan bangsa Indonesia.
Akhirnya, masalah "tampang Boyolali" merupakan sebuah pelajaran bagi kita bersama, khususnya bagi para pemangku kepentingan di ranah publik. Masalah ini, dalam perspektif multikulturalisme, merupakan masalah sensitif karena menyentuh aspek privat dan kolektif warga. Reaksi warga Boyolali adalah normal dalam alam demokrasi modern. Demontrasi itu berisikan sebuah perjuangan dan tuntutan agar identitas kultural, etnis dan agama warga diakui secara sama di hadapan konstitusi. Lebih dari itu, harga diri warga tidak bisa diganti dan ditukarkan dengan semua aspek peripheral dalam bidang ekonomi sebagaimana dijanjikan oleh siapapun dalam kampanye Pilpres ini.Â
Saya tetap yakin bahwa para politisi yang berkompetisi tetap mengembangkan sebuah diskursus yang argumentatif dan epistemik ketimbang retorika yang saling menyalahkan dan merendahkan. Sudah pada saatnya, kita semua, terlebih para pemimpin bangsa dan politisi negeri ini, mulai ber-'hijrah' ke ranah diskursus publik yang egaliter dan mencerminkan perasaan multikultural bagi semua orang dan kelompok tanpa diskriminasi.
Manila, 5 November 2018
Departemen Filsafat Ateneo de Manila UniversityÂ
PCFÂ