"Everybody has the same right to develop and maintain her identity in just those intersubjectively shared forms of life and traditions from which she first emerged and has been formed during the course of childhood and adolescence." Jrgen Habermas, "Multiculturalism and the Liberal State," Stanford Law Review, Vol. 47, No. 5. (May, 1995): 851.
Dalam bingkai argumentasi di atas, kita menyadari dengan benar apa yang menjadi pokok kekecewaan warga Boyolali. Kekecewaan itu tidak terletak pada apakah mereka mampu atau tidak secara ekonomis - itu adalah sebuah fakta terberi yang harus diperjuangkan bersama. Pokok kekecewaan mereka terletak pada "bagaimana identitas kolektif mereka sebagai warga Boyolali DIAKUI dalam bingkai negara konstitusi dan demokrasi Pancasila".
Pokok kekecewaan ini kurang dipahami dengan benar sehingga banyak retorika dan opini para politisi pendukung Prabowo-Sandi berakhir pada isu politisasi. Sebaai contoh, juru bicara Paslon no urut 02 Prabowo-Sandi, Andre Rosiade mengatakan bahwa pidato tersebut "sengaja digoreng" oleh lawan politik untuk mendiskreditkan Prabowo. Kepada Tribunnews, Andre mengatakan:Â
"Ini kan gorengan pidato pak Prabowo itu dipelintir digoreng untuk mendiskreditkan Prabowo."Â
Partai pendukung Prabowo-Sandi pun tidak ketinggalan memberikan opini mereka. Sebagai contoh, Sekjen Partai Amanat Nasional, Eddy Soeparno, menilai pernyataan prabowo sudah dipolitisir, katanya:Â
"Saya prihatin segala sesuatu yang diucapkan itu rawan untuk dipolitisir."Â
Tampaknya argumen politisi ini kurang kuat di hadapan argumentasi multikulturalisme. Dalam argumentasi politis itu terlihat adanya upaya untuk membuat pemisahan jelas antara "identitas public" (public identity) atau politik dengan "identitas privat" (private identity). Dalam perspektif Habermas, pemisahan ini keliru karena dalam bingkai multikulturalisme, identitas politik dan identitas privat saling mengisi satu sama lain.
Konstitusi demokrasi modern menjamin otonomi setiap individu untuk menyatakan identitasnya berdasarkan etnis, budaya dan agama tanpa tekanan. Apa yang secara public atau politis disampaikan oleh warga masyarakat merupakan bagian integral dari sejarah kehidupan kultural, etnis dan agama mereka sendiri. Menurut Habermas:
"Citizens share a political culture shaped by a particular history. The constitutional principles are, without any harm to their universalist meaning, interpreted from the perspective of this political culture, which provides at the same time the base for a constitutional patriotism. (Idem).
Argumentasi ini menjadi kuat terdengar ketika warga masyarakat yang berdemonstrasi menolak tegas pernyataan Prabowo yang dianggap sangat menyinggung harga diri mereka. Bagi mereka, pernyataan itu bukan lagi terarah pada masalah ketidakadilan sosial-ekonomi tetapi telah melukai perasaan identitas mereka sebagai satu etnis, budaya dan agama.Â
Dalam perpektif multikulturalisme Habermas, saya menemukan sekurang-kurangnya 2 alasan fundamental mengapa masalah ini menjadi patut dikelola dengan baik.