Lalu bagaimana kita harus mengatasi ketakutan politis narsistik tersebut? Nussbaum mengatakan bahwa saat ini kita membutuhkan secara mendasar sebuah pendekatan etis sebagaimana telah ditunjukkan oleh Sokrates. Pendekatan itu mencakup 3 prinsip etika universal.
Pertama, "Political principles expressing equal respect for all citizens, and an understanding of what these principles entail for today's confrontations with religious difference. (These principles already inhere in the political traditions of both Europe and, especially, the United States)." (NRI 2).
Dalam prensip pertama ini, Nussbaum mendasarkan peniadaan ketakutan pada ide martabat manusia dan kesetaraan. Menurutnya, para filsuf Stoa, Kristen, and Kantian pada dasarnya menandaskan satu thesis yang sama mengenai martabat manusia dan kesetaraan, yaitu "All human beings possess human dignity, and with respect to that dignity they are equal" (NRI 61).Â
Hal ini menjadi dasar etis universal untuk menghilangkan ketakutan politis. Lebih dari itu, adalah tugas pemerintah untuk meniadakan rasa takut ini dari kehidupan para warganya. Ia mengatakan, "whatever else governments do, they may not violate that equal dignity" (NRI 65). Tanggung jaws ini juga harus menjadi bagian dari anggota Masyarakat itu sendiri dengan menemukan kembali arti kehidupan atau yang disebut "kesadaran akan martabat manusia. Menurut Nussbaum,Â
"to violate conscience is to conduct an assault on human dignity" (NRI 65). Oleh arena itu, ia menegaskan: "The vulnerability premise [...] means that giving equal respect to conscience requires tailoring worldly conditions so as to protect both freedom of belief and freedom of expression and practice. It also suggests that freedom should be quite ample: being able to whisper prayers in your home is hardly enough for genuine religious liberty" (NRI 67). Â
Kedua, "Rigorous critical thinking that ferrets out and criticizes inconsistencies, particularly those that take the form of making an exception for oneself, noting the "mote" in someone else's eye while failing to note the large plank in one's own eye." (NRI 3)
Prinsip kedua ini diinspirasikan oleh perkataan Kitab Suci Kristen yang berbunyi, "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu." (Mat. 7:3-4).
Berdasarkan ajaran ini, Nussbaum menyatakan bahwa sering kali orang membuat keputusan-keputusan tanpa memberikan alasan-alasan yang mendasar dan tanpa menilai diri sendiri. Keputusan-keputusan itu didasarkan pada pengalaman-pengalaman terbatas yang didasarkan pada tradisi, ketakutan dan egoisme. Hal ini disebut Nussbaum sebagai sebuah kesalahan yang inkonsisten.Â
Dalam Jefferson Lecture berjudul "Powerlessness and the Politics of Blame" (12 Juli 2017), Nussbaum menyebut 3 jenis kesalahan yang dapat mengantar kita kepada kesesatan)
The Obvious Errors. Anger can be misguided, and guide us badly, if it is based on wrong information about who did what to whom, about whether the bad act was really done wrongfully (with some sort of bad intent) rather than just by accident, and also if it is based on a confused sense of importance. Aristotle mentions people who get angry when someone forgets their name, and this familiar example is a case of overestimating the importance of what the person did. (Probably also a case of getting intention wrong.) Since we're often hasty when we are angry, these errors occur often.
The Status Error. We also go wrong, I claim, if we think relative status is hugely important and focus on that to the exclusion of other things. This error is really a case of mistaking the importance of a particular value, but since it is so common and such a major source of anger, we have to single it out and give it a separate number.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!