"Politik Ketakutan" Intoleransi Beragama
Filsafat pada dasarnya memiliki tanggung jawab mencari pendasaran dan pemecahan rasional terhadap peristiwa-peristiwa sosial manusia. Praksis orientasi filsafat sedemikian menjadi ciri khan filsafat Nussbaum.Â
Menurutnya, filsafat bertugas untuk menganalisis argumen-argumen yang digunakan dalam diskursus mengenai masalah-masalah aktual kebijakan sosial yang berhubungan dengan multikulturalisme "warga negara dunia" dan perbedaan agama sorta ketidaksetaraan sosial. Sebagai filsuf yang memfokuskan studi pada kesustraan Klasik Yunani, Nussbaum separat dengan pernyataan filsuf Yunani Kuno Seneca bahwa filsafat harus melayani kemanusiaan. Para filsuf harus menggunakan kemampuan analisis dan imparsialitas mereka untuk menyelidiki secara kritis-emansipatoris realitas sosial yang dihadapi manusia.
Salah satu realitas sosial yang dihadapi manusia adalah "ketakutan" yang diakibatkan oleh tindakan intoleransi beragama dalam berbagai bentuk seperti kekerasan dan fundamentalisme atau terorisme agama. Ketakutan itu, dalam pengamatan Nussbaum, telah menghantui Eropa dan Amerika.Â
Kedua benua ini sebelumnya membanggakan diri sebagai penganjur kebebasan beragama dan toleransi beragama. Namun saat ini keduanya mengidap ketakutan terhadap anggota dan kelompok agama tertentu karena kekerasan bermotif agama yang memuncak dalam peristiwa 9/11 di New York, Amerika Serikat.
Apakah itu ketakutan? Bagaimana ketakutan itu bekerja dalam agama-agama dan mempengaruhi manusia beragama?
Dalam karyanya The New Religious Intolerance: Overcoming the Politics of Fear in an Anxious Age (The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, and London 2012 - selanjutnya disingkat NRI), Nussbaum mengungkapkan bahwa, secara psikologis, ketakutan merupakan sebuah bentuk primitif dari emosi yang tidak membutuhkan sebuah perangkat mental yang serba sulit. Ketakutan adalah orientasi yang belum sempurna untuk pertahanan hidup. Mengutip literatur Yunani Kuno, Nussbaum mengungkapkan secara tegas "without fear, we'd all be dead" (NRI 20). Ia mengatakan,
"Fear is a very primitive emotion. Unlike compassion, which requires perspectival thinking and is thus available only to a few species of animal, and even unlike anger, which requires causal thinking about who is to blame for causing a harm, fear really does not re- quire very elaborate mental apparatus. All it requires is some rudimentary orientation toward survival and well-being, and an ability to become aroused by what threatens them." (NRI 25)
Namun ketakutan juga memiliki nuansa politik dalam arti ketakutan juga dapat disusupi dengan retorika politik.Â
"Fear and startle are valuable mechanisms, since they attune us fairly reliably to our own safety and well-being and ensure a strong aversive reaction to perceived threats and dangers. For these reasons political thinkers have often argued that fear plays a valuable role in the law: what we fear, we have reason to prevent. (NRI 27)Â
Secara politis, kata Nussbaum, ketakutan menjadi semacam "perisai" untuk mempertahankan diri terhadap serangan yang datang dari luar. Ketika ketakutan itu disusupi maksud dan tujuan politik untuk mengisolasi atau mempertahankan diri terhadap sesama yang lain, Nussbaum menyebut ketakutan sedemikian sebagai sebuah "ketakutan politik".Â