Menurut Nussbaum, ketakutan bekerja dalam diri dan hidup sosial-politik manusia dalam tiga bentuk (NRI 24).
First, fear typically starts from some real problem: people had reason to be anxious about economic security, about class tensions and the possibility of revolution, about the unpredictable forces of both political and economic change that were sweeping through European societies.Â
Second, fear is easily displaced onto something that may have lit- tle to do with the underlying problem but that serves as a handy surrogate for it, often because the new target is already disliked. It was a lot easier to blame the Jews for political and economic problems than to search for their real causes.Â
Third, fear is nourished by the idea of a disguised enemy. Most good horror stories involve a clever adversary who lies low, only to reveal his true nature when it is too late for the innocent victim to seek safety.
Bagimana ketakutan itu menjadi sebuah "ketakutan politis"?Â
Dalam pengamatannya sebagai warga Amerika, Nussbaum menjelaskan bahwa para opportunist politik, dan didukung oleh media, sebenarnya memperburuk ketakutan itu.Â
Melalui para pakar dan blogger ekstrimis, mereka secara besar-besaran menunjukkan kepada warga publik sebuah prasangka bahwa ada "minoritas dengan niat jahat yang tersamar" sedang mengancam keamanan publik. Prasangka berlebihan ini pada dasarnya memperbesar ruang isolasi terhadap kaum minoritas (di Amerika dan Eropa, misalnya) secara luas. Prasangka dan ketakutan mayoritas terhadap minoritas ini bahkan berlanjut pada larangan penggunaan atribut-atribut keagamaan seperti burqa, jilbab, salib, dan lain sebagainya.
Nussbaum menyebut ketakutan mayoritas terhadap minoritas ini sebagai sebuah "ketakutan narsistik", yaitu sebuah ketakutan yang berpusat pada diri sendiri dan pada keselamatan diri sendiri. Ketakutan narsistik ini pada dasarnya mengancam atau mencegah cinta manusia satu sama lain.
Mengatasi "Ketakutan Politik" Intoleransi Beragama
Nussbaum mengungkapkan bahwa Kita membutuhkan dorongan rasa takut untuk bertahan hidup. Kita terlalu sering memandang rasa takut secara negatif sehingga kita terhanyut dalam kesalahpahaman dan bahkan penganiayaan terhadap kaum minoritas. Kenyataan ketimpangan ekonomi, ketidakadilan dan perubahan sosial yang cepat seringkali bahkan menjadi sarana justifikasi ketakutan terhadap kaum minoritas.
Kita harus mengubah pandangan negatif mengenai ketakutan ini melalui sebuah "kehidupan yang diuji" dalam kehidupan bersama. Caranya ialah dengan pengelolaan ketakutan secara positif sehingga tidak lagi terjadi kecurigaan kaum mayoritas terhadap minoritas. Ketakutan yang berlebihan menghanguskan cinta antar sesama.