Akhir-akhir ini kita menyaksikan para aktor politik memainkan apa yang disebut filsuf Jaques Derrida (1830-2004) sebagai "originality of violence", yaitu kekerasan [yang berawal dari] wacana, yang sangat menggelitik nalar dan nurani publik tanah air.Â
Dengan berbagai hasteg mereka mempertontonkan sebuah model "politik kekerasan kata periode pasca-kebenaran" - politik otonomi dan desentralisasi yang digerakkan oleh media modern berbasis online - dengan keinginan (will) mendekonstruksi setiap "cerita besar" (grand narrative) ala Jean-Francois Lyotard (1924-1998) yang menempel pada hakikat demokrasi dan politik modern, dan bahkan ajaran-ajaran suci agama. Tak tanggung-tanggung "politik kekerasan kata" memasukkan pula nama Ilahi - Allah - ke dalam kosa katanya. Publik Nusantara yang agamis pun termangu:Â
"Mengapa nama Allah dilibatkan dalam politik kekerasan kata pasca-kebenaran? Apakah nama Allah menjadi salah satu dari "cerita agung" yang harus didekonstruksi oleh politik kekerasan kata pasca-kebenaran? Apakah nama Allah dianggap relatif dan sama dengan relativitas sebuah politik kekerasan kata pasca-kebenaran yang hanya bersifat momentaris-pragmatis?"
Adalah filsuf Friederich Nietszche (1844-1900) yang telah lama mengingatkan kita akan gejala nama Ilahi ini. Melalui karyanya Thus Spoke Zarathustra (1883), sang penerobos gerbang postmodernisme ini secara sarkastik memaklumkan "kematian Allah" (God is dead) dalam budaya modern dengan segala dimensi kehidupannya. Melalui pemakluman ini, sang filsuf secara tegas menggarisbawahi 2 bahaya yang akan dihadapai manusia modern.Â
Aspek pertama, ketidakmampuan manusia untuk memelihara kebebasan dan moralitasnya akan menuntunnya kepada kehancuran yang tiada taranya dalam ranah budaya, termasuk agama. Konsekwensi pemakluman Nietszche ini ialah apabila budaya bangsa kita tidak lagi berdasar pada moralitas dan agama yang kuat maka kita akan mengalami DISORIENTASI dalam hidup bersama sebagai satu kesatuan bangsa dan negara.
Aspek kedua yang sangat penting dari seruan "Allah telah mati" adalah terbitnya sebuah era baru dalam budaya manusia modern, yaitu ATEISME PRAKTIS. Konsekwensinya, kita mengangungkan rasionalitas dan kebebasan manusia sedemikian rupa sehingga Yang Ilahi dianggap tidak penting lagi dalam hidup pribadi dan hidup bersama. Apa yang benar dan dijunjung tinggi adalah "kehendak untuk berkuasa" (the will to power).
"Kehendak untuk berkuasa" adalah dorongan internal - kalau bukan naluri - manusia yang haus memperjuangkan eksistensinya dalam ranah politik dan budaya. Kehendak itu hadir sebagai sebuah dambaan untuk mengatur kesejahteran para anggota "polis" (warga kota, warga negara) menuju ideal hidup masyarakat yang mendambakan "keadilan" ala Plato (428-348) dan "kesejahteraan bersama atau bonum commune" ala Aristoteles (384-322) sebagai cita-cita luhur bersama.
Namun, ketika cita-cita luhur bersama ini berubah menjadi "kehendak untuk berkuasa" secara individual, kita menyaksikan "politik kekerasan kata" yang tidak sepatutnya di ruang publik. Ketika "kehendak untuk berkuasa" dimainkan dalam model "politik kekerasan kata" kita menyaksikan sebuah model pembelajaran politik yang sangat bertentangan nilai-nilai demokrasi modern yang dianut oleh Demokrasi Pancasila.
Lebih dari itu, ketika politik kekerasan kata telah melibatkan nama Allah, kita menyaksikan sebuah model "politik pendakwaan nama Allah" yang naif.Â
Dengan istilah "politik pendakwaan nama Allah" dimaksudkan sebuah model pencarian kekuasaan duniawi yang memandang Allah sebagai salah satu entitas dari entitas-entitas lain yang serba terbatas, dimana Yang Ilahi diikutsertakan sebagai justifikasi untuk meraih "kehendak untuk berkuasa".Â
Dalam perspektif filsafat Nietszchean, konsewensi dari pelibatan nama Allah dalam politik kehendak untuk berkuasa adalah sebuah "penerimaan" secara tidak langsung kepada ateisme praktis di ambang pintu postmodernisme. Alasannya ialah karena manusia mengganggap dirinya sebagai "manusia Agung" (Ubermensch) yang mampu mengarahkan diri, pikiran, kehendak dan kebebasannya sendiri terlepas dari dan tanpa tuntunan norma sosial dan agama.Â
Apakah nama Allah pantas dibawa masuk ke dalam ranah politik yang menjadi urusan manusia serba terbatas? Mengapa nama Allah dijadikan justifikasi demi kehendak untuk berkuasa?Â
Filsuf Martin Heidegger (1889-1976) mengingatkan kita dalam diskusi mengenai "onto-theology" bahwa nama Allah masuk dalam ranah diskursus kritis - filsafat dan teologi - karena manusialah yang "memasukkan" Yang Ilahi dalam ranah tersebut. Allah sendiri tidak memaksakan diri memasuki ranah rasionalitas manusia yang terbatas, tetapi kita manusia terbatas yang "memasukkan" nama Allah untuk diperbicangkan dengan kemampuan yang terbatas. Ia adalah LOGOS yang mendasari seluruh logos manusiawi yang terbatas.Â
Konsekwensinya, ketika LOGOS yang tidak terbatas "dimasukkan" oleh logos yang terbatas maka Allah diperlakukan secara terbatas pula oleh logos yang tak sempurna sebagai bagian atau salah satu dari entitas-entitas duniawi lainnya. Heidegger menyebut hal ini sebagai sebuah "the forgetfulness of Being" yang menandai seluruh sejarah pemikiran manusia.Â
Allah menurut filsuf Rene Descartes (1596-1650) adalah "Kebenaran Tertinggi" (Supreme Truth)". Atau menurut rumusan filsuf Immanuel Kant (1724-1804), Allah adalah "Absolut Being" yang menjadi dasar seluruh tatanan moralitas manusia. Bahkan filsuf berdarah Yahudi, Emmanuel Levinas (1905-1995), merasa tak patut mengucapkan nama Ilahi itu karena Ia Maha Kuasa, Allah sekaligus "omnipotent" dan "omnipresent".Â
Secara rasional, Allah tetap menjadi pokok bahasan filsafat dan teologi maupun ilmu-ilmu humaniora lainnya sebagai bagian dari usaha logos yang terbatas untuk mendapatkan kepastian jati diri dan hidupnya. Namun hal ini tidak berarti bahwa nama Allah harus dipergunakan secara intrumentalis dan pragmatis untuk menjustifikasi kepentingan pribadi manusia.
Secara teologis, Gereja Katolik menekankan secara tegas perintah Allah untuk tidak menyebut nama Allah dengan sembarangan, dengan tujuan apapun. Â
"Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan." (Kel 20:7).
Perintah ini menegaskan bahwa nama Allah mencerminkan seorang PERSON dan bukan bersifat formalitas belaka. Perintah ini melarang manusia untuk 3 hal penting dalam hidup bersama.
Pertama, jangan menggunakan nama Allah untuk janji yang tidak ditepati. Katekismus Gereja Katolik menegaskan:Â
"Janji yang diberikan kepada seseorang atas nama Allah mempertaruhkan kehormatan, kesetiaan, kebenaran, dan wewenang Allah. Mereka harus dipatuhi tanpa syarat. Siapa yang tidak mematuhinya, menyalahgunakan nama Allah dan seakan-akan menyatakan Allah seorang pendusta (Bdk. 1 Yoh 1:10). [KGK, 2147].
Kedua, jangan menggunakan nama Allah untuk janji atau sumpah yang mempertaruhkan nama Allah. Gereja Katolik menegaskan melarang umatnya untuk menghujat Allah dengan kata-kata yang tidak pantas. Istilah "menghujat" merujuk pada tindakan batin atau tindakan lahiriah dimana orang mengeluarkan kata-kata kebencian, celaan, tantangan terhadap Allah, berbicara yang buruk tentang Allah, kurang hormat dalam pembicaraan tentang Allah, dan menyalahgunakan nama Allah. Santo Yakobus menegur mereka "yang menghujat nama yang mulia, yang olehnya kamu menjadi milik Allah" (Yak 2:7). [KGK, 2148]
Lebih jauh, Gereja Katolik menegaskan larangan menghujat Allah mencakup pula penyalahgunaan nama Allah untuk menutup-nutupi perbuatan yang jahat, memperhamba bangsa-bangsa, menyiksa manusia, atau, membunuh. Kitab Hukum Kanonik menyebutkan bahwa penyalahgunaan nama Allah untuk melakukan kejahatan menyebabkan kebencian terhadap agama. Menghujah Allah bertentangan dengan penghormatan yang harus diberikan kepada Allah dan nama-Nya yang kudus. Dengan sendirinya ia adalah dosa berat (Bdk. KHK, kan. 1369).
Ketiga, Gereja Katolik melarang untuk mengatakan sumpah serapah dengan menggunakan nama Allah, baik baik sengaja maupun tidak sengaja yang dilakukan di dalam hati atau di dalam perkataan dan perbuatan. Katekismus Gereja Katolik nomor 2148, mengatakan:Â
"Sumpah serapah yang menyalahgunakan nama Allah tanpa maksud menghujah Allah adalah kekurangan penghormatan kepada Tuhan. Perintah kedua juga melarang penggunaan nama Allah secara magis. "Nama Allah diagungkan, kalau orang mengucapkannya dengan hormat, pantas untuk keluhuran-Nya dan kemuliaan-Nya. Nama Allah itu dikuduskan, kalau orang mengucapkannya dengan hormat dan dengan rasa takut untuk menghinanya" (Agustinus, serm. Dom. 2,45,19).
Seluruh uraian di atas hanya bermaksud mengatakan bahwa penggunaan nama Allah dalam politik hendaknya tidak jatuh pada "politik pendakwaan nama Allah". Kita membutuhkan sebuah orientasi baru dalam tataran rasionalitas dan budaya pasca-kebenaran dengan apa yang disebut filsuf William James sebagai "the will to believe". Kita membutuhkan Allah dalam seluruh tatanan budaya dan politik berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Demokrasi Pancasila.Â
Apakah fakta politik terbaru "politik kekerasan kata" dengan "memasukkan" nama Ilahi ini harus menjadi sebuah persoalan serius yang patut didiskusikan secara bijaksana baik oleh para filsuf maupun teolog dalam wilayah Nusantara? Bukanlah kita patut memikirkannya demi kemaslahatan bersama?
Manila, 1 Juni 2018
Departemen Filsafat Ateneo de Manila University
PCF
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H