Mohon tunggu...
maken awalun
maken awalun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Politik Pendakwaan" Nama Allah?

1 Juni 2018   01:47 Diperbarui: 1 Juni 2018   01:57 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apakah nama Allah pantas dibawa masuk ke dalam ranah politik yang menjadi urusan manusia serba terbatas? Mengapa nama Allah dijadikan justifikasi demi kehendak untuk berkuasa? 

Filsuf Martin Heidegger (1889-1976) mengingatkan kita dalam diskusi mengenai "onto-theology" bahwa nama Allah masuk dalam ranah diskursus kritis - filsafat dan teologi - karena manusialah yang "memasukkan" Yang Ilahi dalam ranah tersebut. Allah sendiri tidak memaksakan diri memasuki ranah rasionalitas manusia yang terbatas, tetapi kita manusia terbatas yang "memasukkan" nama Allah untuk diperbicangkan dengan kemampuan yang terbatas. Ia adalah LOGOS yang mendasari seluruh logos manusiawi yang terbatas. 

Konsekwensinya, ketika LOGOS yang tidak terbatas "dimasukkan" oleh logos yang terbatas maka Allah diperlakukan secara terbatas pula oleh logos yang tak sempurna sebagai bagian atau salah satu dari entitas-entitas duniawi lainnya. Heidegger menyebut hal ini sebagai sebuah "the forgetfulness of Being" yang menandai seluruh sejarah pemikiran manusia. 

Allah menurut filsuf Rene Descartes (1596-1650) adalah "Kebenaran Tertinggi" (Supreme Truth)". Atau menurut rumusan filsuf Immanuel Kant (1724-1804), Allah adalah "Absolut Being" yang menjadi dasar seluruh tatanan moralitas manusia. Bahkan filsuf berdarah Yahudi, Emmanuel Levinas (1905-1995), merasa tak patut mengucapkan nama Ilahi itu karena Ia Maha Kuasa, Allah sekaligus "omnipotent" dan "omnipresent". 

Secara rasional, Allah tetap menjadi pokok bahasan filsafat dan teologi maupun ilmu-ilmu humaniora lainnya sebagai bagian dari usaha logos yang terbatas untuk mendapatkan kepastian jati diri dan hidupnya. Namun hal ini tidak berarti bahwa nama Allah harus dipergunakan secara intrumentalis dan pragmatis untuk menjustifikasi kepentingan pribadi manusia.

Secara teologis, Gereja Katolik menekankan secara tegas perintah Allah untuk tidak menyebut nama Allah dengan sembarangan, dengan tujuan apapun.  

"Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan." (Kel 20:7).

Perintah ini menegaskan bahwa nama Allah mencerminkan seorang PERSON dan bukan bersifat formalitas belaka. Perintah ini melarang manusia untuk 3 hal penting dalam hidup bersama.

Pertama, jangan menggunakan nama Allah untuk janji yang tidak ditepati. Katekismus Gereja Katolik menegaskan: 

"Janji yang diberikan kepada seseorang atas nama Allah mempertaruhkan kehormatan, kesetiaan, kebenaran, dan wewenang Allah. Mereka harus dipatuhi tanpa syarat. Siapa yang tidak mematuhinya, menyalahgunakan nama Allah dan seakan-akan menyatakan Allah seorang pendusta (Bdk. 1 Yoh 1:10). [KGK, 2147].

Kedua, jangan menggunakan nama Allah untuk janji atau sumpah yang mempertaruhkan nama Allah. Gereja Katolik menegaskan melarang umatnya untuk menghujat Allah dengan kata-kata yang tidak pantas. Istilah "menghujat" merujuk pada tindakan batin atau tindakan lahiriah dimana orang mengeluarkan kata-kata kebencian, celaan, tantangan terhadap Allah, berbicara yang buruk tentang Allah, kurang hormat dalam pembicaraan tentang Allah, dan menyalahgunakan nama Allah. Santo Yakobus menegur mereka "yang menghujat nama yang mulia, yang olehnya kamu menjadi milik Allah" (Yak 2:7). [KGK, 2148]

Lebih jauh, Gereja Katolik menegaskan larangan menghujat Allah mencakup pula penyalahgunaan nama Allah untuk menutup-nutupi perbuatan yang jahat, memperhamba bangsa-bangsa, menyiksa manusia, atau, membunuh. Kitab Hukum Kanonik menyebutkan bahwa penyalahgunaan nama Allah untuk melakukan kejahatan menyebabkan kebencian terhadap agama. Menghujah Allah bertentangan dengan penghormatan yang harus diberikan kepada Allah dan nama-Nya yang kudus. Dengan sendirinya ia adalah dosa berat (Bdk. KHK, kan. 1369).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun