Ketiga, Gereja Katolik melarang untuk mengatakan sumpah serapah dengan menggunakan nama Allah, baik baik sengaja maupun tidak sengaja yang dilakukan di dalam hati atau di dalam perkataan dan perbuatan. Katekismus Gereja Katolik nomor 2148, mengatakan:Â
"Sumpah serapah yang menyalahgunakan nama Allah tanpa maksud menghujah Allah adalah kekurangan penghormatan kepada Tuhan. Perintah kedua juga melarang penggunaan nama Allah secara magis. "Nama Allah diagungkan, kalau orang mengucapkannya dengan hormat, pantas untuk keluhuran-Nya dan kemuliaan-Nya. Nama Allah itu dikuduskan, kalau orang mengucapkannya dengan hormat dan dengan rasa takut untuk menghinanya" (Agustinus, serm. Dom. 2,45,19).
Seluruh uraian di atas hanya bermaksud mengatakan bahwa penggunaan nama Allah dalam politik hendaknya tidak jatuh pada "politik pendakwaan nama Allah". Kita membutuhkan sebuah orientasi baru dalam tataran rasionalitas dan budaya pasca-kebenaran dengan apa yang disebut filsuf William James sebagai "the will to believe". Kita membutuhkan Allah dalam seluruh tatanan budaya dan politik berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Demokrasi Pancasila.Â
Apakah fakta politik terbaru "politik kekerasan kata" dengan "memasukkan" nama Ilahi ini harus menjadi sebuah persoalan serius yang patut didiskusikan secara bijaksana baik oleh para filsuf maupun teolog dalam wilayah Nusantara? Bukanlah kita patut memikirkannya demi kemaslahatan bersama?
Manila, 1 Juni 2018
Departemen Filsafat Ateneo de Manila University
PCF
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H