"Maafkan, abi sayang. Kapal dari Makassar sempat mengalami gagal sandar beberapa kali. Sehingga penumpang harus menunggu sampai laut tenang," kataku mencoba menenangkan. Namun tangis Nabil malah semakin bertambah keras.
"Bapak Dayat...?" Seorang perawat perempuan dengan pelahan mendekat ke arahku.
"Ya," jawabku singkat.
"Sebaiknya Nabil bisa dibawa ke luar dulu, Bapak. Biarlah Firli untuk sementara kami jaga. Kasihan dia. Sejak pagi tadi tak henti-hentinya menangis."
Sejenak aku pandangi perawat itu. Wajah teduh itu menawarkan gelegak resahku.
"Saya mohon bisa menjenguk Firli sebentar ya, Mbak?" Pintaku memohon.
"Disila, Bapak." Aku pun berananjak meminta Nabil untuk diam. Memintanya duduk di kursi tunggu depan ICU. Sementara aku lihat, Firli terbaring diam di salah satu sudut ruang ICU.
Ya, Allah. Mengapa ini harus terjadi? Aku yakin sebelumnya Firli lebih kuat dibandingkan kakaknya, Nabil. 7 tahun masa bersama di pesantren sudah cukup menjadi bukti. Meski berbeda komplek, setiap kakaknya sakit, Firli anakku yang bungsu selalu menjaga dengan kakaknya dengan sabar di poliklinik pesantren.
"Maafkan abi ya, nak...." Tangan putih lembutnya ku raih dengan perlahan. Lalu, kucium kening dan pipinya pelan-pelan. Tak terasa bulir-bulir bening itu jatuh dengan derasnya. Aku pun duduk bersimpuh di bawah bed perawatan. Langit-langit ruang ICU yang berwarna putih itu pun terlihat berubah jadi abu-abu.
"Maafkan abi ya, nak..." Kembali kalimat itu meluncur dari mulutku. Aku pun tak mampu memandang wajahnya yang begitu pucat.
"GCS-nya 2-2-2, Bapak...," terngiang-ngiang jawaban perawat ICU saat ku tanya kondisi terakhir anakku. Kesadaran dan respons motorik yang sangat jelek.