Mohon tunggu...
Cerpen

Negeri Gajah, Diganjal Meng-Ajal Menjelma

16 November 2016   15:59 Diperbarui: 16 November 2016   16:05 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita ini Gajah yang punya sejarah panjang peradaban. Kita bukan Elang yang bisa terbang dan bukan pula Naga yang meliuk merayap. Kita juga bukan Kampret dan Kalong yang suka bersembunyi di balik kegelapan.

Kita ini Gajah, yang punya jiwa kekesatriaan Taksaka, punya Keberanian dan Kelembah-manahan Garuda, yang punya belalai dan gading. Lalu kemana itu semua? Kita sekarang tengah menjelma menjadi Gajah yang kepayahan, bercita-cita bisa terbang bagai Elang, rela kehilangan Gading dan rela kehilangan kekerabatan tradisi Gajah yang telah turun-temurun.

Lalu kemana para Gajah itu? Kini hanya ada Gajah kekampret-kampretan, Gajah keElang-Elangan, Gajah keNaga-Nagaan, Gajah Santri, Gajah Abangan, Gajah Priyayi, apa-apaan itu? bahkan yang sangat lucu kita ikut menjunjung identitas adanya Gajah kikuk, Gajah tawa, Gajah cuek!! Itu semua bukan kita! Itu semua bukan Gajah.

Lihatlah, Elang tak memproses dirinya menjadi Elang kekampret-kampretan, Naga tak mengubah dirinya menjadi Naga kekalong-kalongan. Hanya kita yang dipaksa untuk tidak memiliki kejelasan namun disemati identitas palsu yang jelas. Sadarkah kalian wahai saudaraku para Gajah. Tak ingatkah kalian bahwa sanubari kalian adalah sanubari yang tercetak ribuan tahun dalam mengarungi peradaban. Kalian bukan makhluk baru yang masih bingung identitas dan menurut saja dijuluki segala macam dan dicetak dengan segala model yang diinginkan para Kampret, Kalong, Elang, Naga dan segala kroni-kroninya”

Para Gajah memperhatikan dan mengangguk-angguk menyadari ucapan demi ucapan Gajah yang sebelumnya dikenal cuek ini. Bahkan Gajah tawa melelehkan airmata betapa ia terlena banyak hal dan terlalu menyepelekan banyak hal. Gajah yang suka tertawa dan cerdas bikin bahan tertawaan ini diam-diam menyesal telah sangat sering menggunakan Gajah lain sebagai obyek tertawaan. Lebih-lebih kepada Gajah Kikuk.

Namun, demikian halnya Gajah Kikuk yang merasa dijebak habis-habisan dengan menjalankan modul dan model yang dicanangkan Elang. Ia bahkan rela bermusuhan kepada Gajah lain yang ia anggap tidak progresif dan tak paham situasi. Gajah kikuk menyesal telah membuat banyak Gajah kehilangan gadingnya, telah banyak mengobarkan kebencian, permusuhan, dan cercaan dengan dalih menegakkan perjuangan dan kasih sayang. Gajah kikuk yang patriotik ini pun melelehkan air mata, ia begitu tertikam perasaan sesal yang mendalam.

Kemudian Gajah cuek melanjutkan kembali perkataannya :

“Oleh sebab itu saudaraku, Tanggalkan semua sematan-sematan palsu yang membuat diri kalian terkurung dan terjebak dalam sebuah kendali lembut yang tak kalian sadari. Tidak ada lagi Gajah Cuek, Gajah Tawa, Gajah Kikuk. Tidak ada!! Yang ada hanyalah Gajah!

Tinggalkan sematan-sematan yang telah kalian tanggalkan karena kita bukan budak sematan, kita ini budak Tuhan, mari Tunggalkan tekad untuk manunggal meniti jalan perjuangan dan penataan hidup seperti halnya yang Tuhan kehendaki. Itulah cita-cita kita sesungguhnya. Itulah cita-cita purwa kita.”

Semua Gajah merinding mendengarkan perkataan saudaranya itu. Tiba-tiba hawa dingin bersemilir, kemudian makin kencang. Langit menggulung pekat. Mendung dan kilat bersambaran. Para Gajah tidak begitu menghiraukan, mereka makin merapatkan diri untuk menghangatkan badan karena mendung itu disertai hawa yang dingin. Mereka masih mendengarkan Gajah yang tiba-tiba saat sangat banyak berbicara ini.

Gajah makin merapatkan diri. Makin rapat. Makin Rapat hingga seakan-akan mereka saling terhimpit. Tiba-tiba mereka semua dibalut selapis demi selapis tirai sutra. Makin lama makin tebal menghangatkan mereka. Makin lama makin tebal dan mereka semua terbungkus dalam sebuah kepompong raksasa. Kepompong makin mengeras. Makin mengeras dan menjadi cangkang. Kepompong menjelma menjadi telur. Telur yang sangat besar. Telur yang di dalamnya terdiri dari sekian kumpulan penderitaan dan pengalaman tempaan dan kamanunggalan. Telur yang di dalamnya berisi para Hasti, para pelaku yang Esti, yang bersungguh-sungguh. Semua itu adalah unsur yang kemudian melebur dalam sebuah proses di dalam telur yang sangat besar itu. Setiap Elang dan Naga mulai cemas. Usaha dilakukan untuk menghancurkan telur tersebut. Namun upaya mereka gagal oleh hempasan angin, atau oleh tanah yang bergejolak, atau oleh kilatan-kilatan petir yang menyambar cepat, atau oleh guyuran air yang meluap ganas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun