Fasilitator Lapangan Sang Ujung Tombak Perubahan
"Apa prestasi yang sudah Mbak Patty raih dari pekerjaan sebagai fasilitator lapangan, menurut pandangan Anda sendiri?" tanya saya di akhir perbincangan kami. "Ketika kelompok yang saya bentuk dari awal berhasil mandiri serta tetap terus eksis!" jawabnya lugas. Suatu prestasi ternyata tidak diukur dari seberapa banyak penghargaan yang sudah diperoleh atau keuntungan materi semata, tetapi bukti perubahan dari orang-orang yang memperoleh manfaat atas jasa pendampingannya diakui sebagai prestasi.
Bopha Noor Akbar, yang akrab dipanggil Mbak Patty adalah seorang wanita kelahiran Malang 39 tahun yang lalu. Lulusan Sarjana Ekonomi, yang mempunyai cita-cita bisa bekerja di salah satu badan PBB untuk bisa berkeliling dunia memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan. Akan tetapi setelah lulus kuliah ia justru mendapat pekerjaan di bidang keuangan yang membuatnya banyak duduk di belakang meja. Ketika suatu saat datang tawaran kerja di LSM yang memberdayakan wanita di daerah lahan kering terbatas, ia mulai merasakan bahwa ada titik temu atas cita-citanya. Sejak itulah Mbak Patty mulai menekuni profesi fasilitator lapangan sampai sekarang.
[caption caption="Bopha Noor Akbar yang berprofesi sebagai fasilitator lapangan (dok pri)"][/caption]
Perkenalan saya dengan Mbak Patty, dimulai dari proyek kepenulisan buku. Saya sebagai penulis dan Mbak Patty adalah fasilitator lapangan dari sebuah bank swasta nasional yang kisah nasabahnya menjadi bahan tulisan saya. Beberapa kali kami saling kontak untuk menentukan waktu kunjungan ke nasabahnya guna melakukan wawancara. Ketika hari yang ditentukan tiba, kami bersama-sama menghabiskan waktu seharian berkunjung ke dua nasabahnya melakukan wawancara dan pengambilan foto-foto. Dari sanalah saya mengetahui bidang pekerjaan Mbak Patty. Hati saya tersentuh dan bangga atas kerja keras seorang fasilitator lapangan. Sungguh pekerjaan yang mulia dan penuh dedikasi.
Sebagai fasilitator lapangan, tugas Mbak Patty adalah mendampingi para ibu-ibu nasabah pembiayaan agar dapat mengelola dana pinjamannya secara efektif. Para ibu-ibu tersebut digali potensinya, diberi pelatihan-pelatihan, baik yang bersifat ketrampilan teknis untuk menunjang produksi mereka maupun non teknis seperti pembinaan cara mengelola keuangan, kesehatan lingkungan, tananam obat dan pendampingan dalam memproduksi hasil karyanya. Pinjaman modal usaha diberikan dalam jumlah terbatas, tetapi diharapkan dengan pinjaman tersebut mereka mengalami kemajuan taraf hidup yang dapat menaikkan kesejahteraan keluarga. Inilah salah satu program peduli perbankan kepada masyarakat kecil untuk bisa mengembangkan usahanya. Namun demikian, apabila pemberian pinjaman tanpa disertai pembinaan hasilnya menjadi berbeda.
[caption caption="Kunjungan saya bersama Mbak Patty ke nasabah pembiayaan (dok. pri)"]
Apa bedanya bila pembiayaan diberikan tanpa didampingi pembinaan? Kunjungan saya menemui ibu-ibu yang dibina Mbak Patty, membuka pikiran saya tentang peran seorang fasilitator lapangan. Meskipun zaman sudah berkembang sedemikian modern, namun tak serta merta pola kehidupan masyarakat bisa sejalan dengan lajunya perkembangan zaman. Ada budaya yang masih melekat dalam keseharian masyarakat dan berdampak negatif bagi kehidupan mereka. Sebagian besar masyarakat masih memiliki perilaku finansial yang buruk.
Ketika uang di tangan, mereka merasa berkuasa. Menghamburkan-hamburkan uangnya untuk membeli barang-barang yang sifatnya konsumtif, lebih menuruti keinginan daripada kebutuhan. Masih banyak yang belum bisa berpikir panjang untuk kebutuhan-kebutuhannya di kemudian hari. Di saat kehabisan uang mencari pinjaman sana-sini. Kondisi ini banyak dimanfaatkan oleh para rentenir atau jasa keuangan yang menarik bunga tinggi (di desa sering dikenal dengan istilah bank titil ) di tengah kesulitan yang menghimpit.
Saat ini keberadaan bank atau lembaga keuangan sejenis sudah familiar di masyarakat. Masyarakat cukup paham kegiatan menabung dan meminjam di bank. Tawaran pinjaman lebih menggiurkan bagi sebagian orang daripada ketekunan menabung. Kasus terbanyak, dana itu digunakan untuk kredit sepeda motor, terlebih dengan adanya kemudahan dalam pengajuan kreditnya. Apakah hal itu juga sebanding dengan manfaat yang diperoleh dan kemampuan membayar cicilannya? Seringkali hal ini menjadi perhitungan yang kurang matang. Ada banyak yang putus di tengah jalan atau terjebak hutang gali lubang tutup lubang.
“Tugas utama saya adalah mengubah mindset mereka untuk mau berusaha secara komunitas, selama ini mereka berusaha secara individu. Sementara dalam komunitas mereka mempunyai ikatan afinitas, yaitu harus saling memiliki, saling mencintai. Ketika salah seorang terjatuh, harus saling mengangkat. Mungkin sama-sama tidak punya uang namun dalam kebersamaan itulah yang membuat mereka mampu,” jelas Mbak Patty kepada saya. Mengapa harus komunitas? Karena dalam kebersamaan terjadi saling membantu, saling mempengaruhi, saling mengingatkan, saling menopang satu sama lain. Salah satu budaya bangsa kita adalah semangat gotong royong, itulah yang menjadi kekuatan nasabah berbasis komunitas.
Mbak Patty mengubah mind set ibu-ibu melalui pelatihan, pembinaan dan pedampingan dalam mengelola usahanya dan mengubah pola pikirnya agar pinjaman yang mereka peroleh berdaya guna. Nasabah yang kami kunjungi bergerak di bidang menjahit, maka mereka diarahkan untuk membeli mesin jahit, membeli bahan-bahan untuk mengembangkan usahanya. Mereka juga dirujuk mengikuti pelatihan-pelatihan di BLK (Balai Latihan Kerja) untuk menambah pengetahuan dan ketrampilannya. Terhubung pula dengan kantor Dinas dan lembaga lain yang terkait dengan produknya, yang bertujuan untuk membuka wawasan para ibu pada dunia luar. Ibu-ibu juga didorong untuk menciptakan suatu produk baru yang bisa bersaing di pasaran. Dibimbing untuk memasarkan produknya sendiri. Pelatihan dan pendampingan kepada para ibu-ibu berlangsung berkesinambungan. Mulai dari pencarian bahan baku, pengelolaan manajemen kerja, pengelolaan keuangan sampai pemasaran produk. Diharapkan kedepannya mereka bisa menjadi "juragan" bagi usahanya.
[caption caption="Mbak Patty sedang mendata produk komunitas (dok Mbak Patty)"]
"Perjalanan suatu komunitas tak selalu mulus-mulus saja, selalu ada masa naik turunnya karena berbagai hal. Tugas saya untuk membangkitkan semangat mereka ketika mulai turun dan menjaga komunitas itu tetap eksis ketika mereka mencapai keberhasilan, sampai pada saatnya mereka sudah mampu mandiri, akan saya tinggalkan untuk membina kelompok baru lagi," jelas Mbak Patty. Setiap komunitas juga mempunyai permasalahan yang berbeda, sehingga pendekatan dan penanganannya juga berbeda. Itulah yang menjadi tantangan Mbak Patty dalam pekerjaannya.
Ketika saya bertemu para ibu yang menjadi binaan Mbak Patty, pola pikir ibu-ibu memang bertumbuh positif. Berkat pembinaan yang diperoleh, mereka mampu menentukan tujuan yang ingin dicapai. Apa yang menjadi tujuan juga dirumuskan dalam bentuk tindakan nyata. Mau berusaha membuat perubahan-perubahan pada gaya hidupnya, lebih disiplin dalam mengatur keuangan. Pelatihan dan pembinaan dari fasilitator lapangan telah meningkatkan kemampuannya dan terbukti mengubah kesejahteraan hidupnya, karena pendapatan dari hasil usahanya menjadi meningkat tajam. Dalam kebersamaan itulah mereka tumbuh bersama. Senang sekali menyaksikan perkembangan ibu-ibu tersebut, karena berkat pembinaan mereka mengalami perubahan, memiliki perilaku finansial yang positif dan telah memberdayakan mereka.
Pembinaan dan pendampingan fasilitator lapangan adalah salah satu upaya pendidikan kepada masyarakat. Menjadi fasilitator lapangan memang berbeda dengan guru di kelas. Guru atau dosen akan mengajar sesuai kurikulum, tetapi fasilitator lapangan mengajar menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang menjadi subjek yang difasilitatorinya. “Buang buku ini, jalankan apa yang mereka mau!” begitulah filosofi Mbak Patty. “Di lapangan seringkali teori yang saya dapat tidak cocok untuk diterapkan, sehingga saya harus menemukan cara baru yang cocok untuk bisa memberdayakan mereka menyesuaikan dengan kondisi yang ada!”
Mengikuti Mbak Patty mengunjungi ibu-ibu binaannya, tampak terlihat mereka sudah seperti keluarga. Mbak Patty tanpa segan menggendong putra pemilik rumah yang sedang menangis. Menghiburnya dan mengajak bermain. “Di saat pelatihan dengan narasumber, saya yang mengasuh anak-anak ini sehingga sudah akrab dengan mereka. Kalau tidak begitu, ibunya tidak bisa mengikuti pelatihan. Ada kalanya saya juga memberi pengarahan secara privat, dengan home visit ke rumah ibu-ibu satu persatu, karena mereka belum memahami,” jelas Mbak Patty. Tidak ada batasan dalam memberikan pembinaan kepada para ibu-ibu tersebut. Hubungan yang dekat menciptakan rasa saling percaya, sehingga memudahkan mereka berinteraksi dan memudahkan Mbak Patty dalam memberikan pengarahan kepada ibu-ibu tersebut. Apalagi sebagian ibu-ibu tersebut usianya lebih tua.
[caption caption="Jalan-jalan komunitas ke Batu untuk menambah keakraban (dok Mbak Patty)"]
Pekerjaan faslitator lapangan tak lepas dari suka dan duka. Sukanya ketika kelompok binaannya mencapai kemajuan dan mendapat jaringan yang lebih luas dalam mengembangkan usahanya, berhasil meluaskan jaringan pemasarannya, mengikuti pameran, dan mendapat kunjungan dari pihak-pihak yang menghargai keberhasilan mereka. Dukanya adalah ketika kelompok tersebut sudah eksis dan mengalami perkembangan yang signifikan diserobot orang lain. Penyerobotan terjadi karena ada lembaga lain yang memanfaatkan keberhasilan kelompok tersebut untuk suatu proyek yang biasanya berhubungan dengan pengajuan dana. Mereka tergiur karena janji-janji indah dan iming-iming dana.
Tiga sampai empat bulan kemudian, kelompok ini tidak lagi diurusi oleh lembaga tersebut, sementara kesolidan dari kelompok tak lagi terjaga. Akibatnya mereka terpecah dan bila tidak cukup kuat untuk bangkit, menjadi bubar. “Saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak memiliki ikatan apa-apa. Di saat mereka sudah ditinggalkan biasanya mencari saya kembali dan tersadar bahwa hanya dimanfaatkan!” kata Mbak Patty dengan wajah sedih.
Ibu-ibu yang tergabung dalam komunitas memulai usaha dari bawah. Bersama komunitas mereka mampu bangkit memulai usaha dan mengembangkan usahanya. Penghasilan mereka bisa berlipat karena pengelolaan yang benar. Dari sinilah sebuah proses pemberdayaan terjadi dengan melewati proses pembelajaran. Kalau mau sejahtera, mereka harus bekerja, berusaha, mengelola secara benar, mau belajar dan berubah. Dana pinjaman yang diterima tidaklah besar, namun kemanfaatannya bisa berlipat ganda. Mindset mereka berubah, bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu mereka harus bertindak. Tuntunan dari fasilitator lapangan adalah sebagai penunjuk jalan menuju tujuan yang ingin dicapai, tetapi mereka sendiri yang harus bergerak untuk mencapainya.
“Kami harus membawa hasil karya yang baru setiap kali pertemuan kelompok, hasilnya dijual pada sesama teman saat pertemuan itu,” kata seorang ibu kepada saya. Apa tujuannya? Mereka dituntut kreatif dan saling menghargai karya orang lain. “Untuk belajar mengelola keuangan, kami punya 4 amplop warna-warni untuk mengontrol pemasukan dan pengeluaran. Ada yang untuk biaya hidup, membayar cicilan, tabungan dan modal usaha,” jelas ibu yang lain. Pemberdayaan kepada masyarakat menuntut kreativitas dari fasilitator lapangan untuk mengajarkan cara mengelola keuangan dengan cara-cara sederhana dan menarik , dan itu mengena sekali!
Mbak Patty sangat menikmati pekerjaannya, ia menemukan kebahagiaan dalam pekerjaannya. Penghasilan bukan tolok ukur pilihannya pada profesi fasilitator lapangan. "Ya, terkadang saya malah keluar uang. Saya sering membeli hasil karya para ibu-ibu itu untuk memberi semangat kepada mereka," cerita Mbak Patty. Tetapi semua itu terasa terbayarkan di saat menyaksikan kelompok itu bertumbuh dan menuai hasil atas kerja kerasnya.
Upaya Mbak Patty memberdayakan kelompok ibu-ibu ini terbukti berhasil. Perubahan nyata sungguh terjadi, Ibu-ibu binaannya telah berubah menjadi mandiri dan terberdayakan. Mereka mengalami pencerahan, bangga dan berhasil dalam usahanya. Dapat menikmati hasil kerja kerasnya dan makin solid bergotong royong dalam komunitasnya. Benar-benar mengalami “naik kelas”. Di masyarakat, orang-orang yang mampu dimentaskan mindsetnya masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang membutuhkan pengentasan.
Saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia masih banyak, upaya menolong mereka dilakukan dengan memberikan bantuan-bantuan berupa uang tunai dibagikan kepada keluarga-keluarga yang terdata sebagai kelompok masyarakat miskin. Memang benar masyarakat terbantu karena membutuhkan uang untuk menambal kekurangannya. Tetapi apa mereka terberdayakan ? Bantuan itu bisa menjadi bumerang, karena menimbulkan sikap ketergantungan dan tidak malu atas “cap miskin” yang disandangnya.
Akan jauh lebih baik, apabila bantuan kepada masyarakat juga disertai upaya-upaya pemberdayaannya. Mereka perlu dientaskan dari kemiskinan, dengan memberinya bekal pelatihan, pembinaan dan kesempatan berproses untuk mentas dari kemiskinan. Mereka perlu tuntunan untuk tahu jalannya. Profesi fasilitator lapangan masih banyak dibutuhkan untuk mendidik masyarakat dalam pendampingan melatih ketrampilan, mengelola keuangan dan merubah mindset mereka agar berperilaku finansial yang sehat.
Pemerintahan Presiden Jokowi mencanangkan revolusi mental, maka perubahan mindset masyarakat termasuk salah satu yang perlu mendapat perhatian. Masyarakat Indonesia masih banyak yang membutuhkan pendidikan paska sekolah. Beratnya beban biaya hidup dan persaingan membuat sebagian masyarakat tumbang. Mereka perlu dibina, didampingi dan dibukakan wawasan berpikirnya agar bisa mentas dari kemiskinan dan ketergantungan. Bantuan pemerintah kepada rakyat harus bisa mengubah nasib rakyat untuk jangka waktu panjang ke depannya.
Bantuan berupa pinjaman dapat memacu peminjamnya memiliki rasa tanggung jawab dan kesadaran untuk mau berusaha. Mereka juga akan terlibat dalam proses pemberdayaan diri secara alamiah untuk bisa mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Tapi lebih banyak masyarakat yang tak bisa mengelola dana pinjaman. Mereka lebih suka menerima sumbangan atau bantuan tanpa perlu berbuat apa-apa. Bantuan kepada masyarakat yang mendapat "cap miskin" semestinya dapat mengubah nasibnya dalam kurun waktu tertertu.
Seiring dengan dicairkannya dana desa pada tahun 2015, sangat perlu kiranya diiringi dengan kesiapan warga desa untuk proaktif membangun desanya. Tak cukup pembangunan desa hanya pembangunan fisik semata. Warga desa juga membutuhkan perubahan mindset yang diberdayakan. Pemberdayaan sumber daya manusia termasuk aset, karena ketika dana dikelola oleh manusia-manusia yang memiliki kemampuan dan ketrampilan yang memadai, maka dana itu akan berkembang dan bukan habis tanpa ada jejaknya. Masyarakat kita masih butuh pendidikan, pendampingan, pembinaan terutama dalam berperilaku finansial yang sehat.
Kisah Bopha Noor Akbar saya angkat dalam tulisan ini karena pengabdiannya sebagai fasilitator lapangan telah berhasil mengubah pola pikir masyarakat, khususnya kaum wanita di kalangan bawah. Melalui pendampingan yang berkelanjutan, para ibu binaannya mengalami pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan. Loyalitas dan dedikasinya sebagai fasilitator lapangan adalah bentuk kontribusi nyata dalam mendidik masyarakat dan pengentasan kemiskinan melalui proses pemberdayaan yang tidak instant. Kewajiban negara memberikan bantuan kepada warganya yang berkekurangan, tetapi janganlah memberi sesuap yang habis tertelan dan ketika lapar mereka harus memintanya lagi.
Oleh : Majawati Oen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H