Bantuan berupa pinjaman dapat memacu peminjamnya memiliki rasa tanggung jawab dan kesadaran untuk mau berusaha. Mereka juga akan terlibat dalam proses pemberdayaan diri secara alamiah untuk bisa mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Tapi lebih banyak masyarakat yang tak bisa mengelola dana pinjaman. Mereka lebih suka menerima sumbangan atau bantuan tanpa perlu berbuat apa-apa. Bantuan kepada masyarakat yang mendapat "cap miskin" semestinya dapat mengubah nasibnya dalam kurun waktu tertertu.
Seiring dengan dicairkannya dana desa pada tahun 2015, sangat perlu kiranya diiringi dengan kesiapan warga desa untuk proaktif membangun desanya. Tak cukup pembangunan desa hanya pembangunan fisik semata. Warga desa juga membutuhkan perubahan mindset yang diberdayakan. Pemberdayaan sumber daya manusia termasuk aset, karena ketika dana dikelola oleh manusia-manusia yang memiliki kemampuan dan ketrampilan yang memadai, maka dana itu akan berkembang dan bukan habis tanpa ada jejaknya. Masyarakat kita masih butuh pendidikan, pendampingan, pembinaan terutama dalam berperilaku finansial yang sehat.
Kisah Bopha Noor Akbar saya angkat dalam tulisan ini karena pengabdiannya sebagai fasilitator lapangan telah berhasil mengubah pola pikir masyarakat, khususnya kaum wanita di kalangan bawah. Melalui pendampingan yang berkelanjutan, para ibu binaannya mengalami pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan. Loyalitas dan dedikasinya sebagai fasilitator lapangan adalah bentuk kontribusi nyata dalam mendidik masyarakat dan pengentasan kemiskinan melalui proses pemberdayaan yang tidak instant. Kewajiban negara memberikan bantuan kepada warganya yang berkekurangan, tetapi janganlah memberi sesuap yang habis tertelan dan ketika lapar mereka harus memintanya lagi.
Oleh : Majawati Oen
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H