Mohon tunggu...
Suci Maitra Maharani
Suci Maitra Maharani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak suka kopi

Quarter of Century

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cemburu] Yang Lebih Dosa dari Dosa

3 November 2018   01:30 Diperbarui: 3 November 2018   01:44 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum malam ini, aku pernah menemukan mata Hen yang lain. Barangkali saat itu kami tengah tenggelam dalam satu harmoni yang Hen ciptakan demikian sempurnanya. Apalah aku yang tak kuasa melawan?

Tapi itu dulu, sebelum semuanya berhenti, dan pada akhirnya aku beranikan diri menutup pintu rumah Hen untuk waktu yang entah, dari luar tentu saja.

***

"Kau sendirian?" Ibu terkejut mendapati hanya satu orang yang datang. Meski semalam telah kukabari melalui telepon bahwa aku akan pulang, tetap saja tanpa Hen aku adalah sebuah tanda tanya. Ini memang tidak biasa. Sejak menikah aku tak pernah terlepas dari Hen, ia ada bersamaku dimanapun.

"Kalian ada masalah?" Ibu membantu membawa koper kecilku. Aku menggeleng.

"Hen ada pekerjaan."

Ibu mafhum. Semua orang tahu Hen adalah seorang super sibuk. Tapi semua orang juga tahu, kesibukan tak pernah mampu membuatnya mengabaikan aku.

Melewati ruang keluarga, mataku tertumbuk pada pigura yang mengabadikan pose sepasang pengantin dalam singgasana megah. Bibirku menyabit, pahit. Kami memang selekat yin dan yang, begitu menyatu juga amat serasi waktu itu.

"Tapi kenapa kau nekat datang sendiri? Apa Hen benar-benar mengijinkanmu? Kalian tidak bertengkar, kan?"

Aku menggeleng. Hen selalu sabar padaku, dia tak akan marah, jelasku lagi-lagi membuat Ibu mengerti.

"Kalau begitu telepon dia, katakan kau sudah sampai di rumah."

Aku mengangguk, menuju kamar. Lekas kuambil ponsel dari dalam tas, beberapa detik kemudian layar kotak itu berubah gelap, tak ada lagi daya yang masih nyala. Aku hanya ingin segera rebah, perjalanan kali ini terasa begitu lelah. Entah karena aku tak terbiasa naik kendaraan umum atau karena sebab-sebab lainnya.

Tapi kamar ini seperti sedang tak ingin memanjakanku walau sejenak. Serapat apapun kucoba katupkan mata, tetap keduanya lagi-lagi terbuka, dan tanpa bimbingan siapapun aku kembali menyaksikan sebuah drama rumah tangga yang tampak amat manis, bertahun-tahun lalu.

Aku menggeleng dalam pejam. Bukan untuk ini aku pulang ke rumah Ibu. Aku tidak terlalu suka mengenang. Membongkar kenangan bagiku adalah deret kusam dari hal-hal tak berguna yang banyak membuang waktu. Maka aku tetiba heran saat mendapati seantero dinding kamar ini kosong --sebagaimana yang kumiliki sepanjang hidup saat melajang- kecuali gambarku yang terabadi tengah intim merapat peluk bersama Hen dalam balutan gaun pengantin yang menjuntai-juntai. Aku mengutuk diri sendiri. Sejak kapan aku menyukai foto?

Dan waktu menarikku jauh pada masa-masa awal setelah pose itu terpajang di situ.

"Hen, tapi kau tahu aku tidak pernah sepenuh hati menerima ini semua." suatu hari aku bicara padanya. Jelas, terang, dan putus asa.

"Kita butuh waktu." jawab Hen, disertai senyum seperti biasa.

"Sampai kapan? Ada banyak jalan yang lebih membahagiakan, Hen. Kita bisa bercerai, memulai hidup masing-masing, dan lebih bahagia."

Hen diam, membuatku sedikit menunggu.

"Sampai aku merasa kuat melepas seseorang yang kucintai sejak usianya belum genap tujuh belas. Karena aku, aku belum puas memperhatikannya semenjak pertama kali jumpa di acara temu keluarga besar belasan tahun lalu. Dan, sampai aku berani membuka tanganku untuk tak lagi menggenggam tangannya, tapi aku juga mesti memastikan saat itu aku sudah tidak bernyawa. Aku benci kehilangan."

"Hen, kau egois. Egois!!"

Hen memelukku yang guncang dalam tangis. Sedang aku sendiri tak mengerti, apa sebenarnya yang kutangisi? Siapa sesungguhnya yang egois?

Setelah guncang reda dan kekuatanku kembali, aku baru sanggup bersuara.

"Tapi kau tahu aku tidak mencintaimu, Hen."

Hen mengangguk.

"Aku cinta Ryan. Sangat. Kami sudah sembilan tahun bersama sebelum kita menikah."

Hen mengangguk lagi.

"Apa yang kau cari? Apa kau tidak takut mati oleh cemburumu sendiri?"

"Aku cemburu, saat ini pun kau membakar hatiku," ucap Hen cepat, "tapi selama kau masih bersamaku, kau selalu berhak mendapat yang terbaik yang aku bisa lakukan. Hanya yang terbaik. Selama kau masih bersamaku."

Dan Hen menang. Ia memilin sendiri rantai pengikatnya untukku. Hen seperti buta, tak melihat suka ataukah tidak aku pada tiap laku kasihnya terhadapku. Hen tuli, ia tak mendengar sehebat apapun aku mencaci kesalahan-kesalahannya. Hen lumpuh, tiada kuasa membalas apapun diri ini goreskan pada hati dan jiwanya yang murni. Terus begitu, dan terus begitu. Dan aku kalah, bertekuk lutut pada ketulusannya.

***

Ibu tergopoh mendatangiku yang muntah di westafel.

"Kau sakit?"

Aku menggeleng. Ia menyodorkan segelas teh manis hangat.

"Aku hamil."

Ibu melenggong. Jeda beberapa jenak menyekat kami sebelum akhirnya Ibu memelukku erat dan mengucap banyak sekali kosakata syukur.

"Selamat ya, kalian berhasil. Tak ada yang sia-sia dari kesabaran, bukan?"

Airmatanya menggenang saat aku menjawab dengan senyum.

"Hen sudah tahu?"

Aku diam, lalu menggeleng sambil mengusap sisa peluh.

"Segera beritahu dia. Hen pasti sangat senang."

Lagi aku menyuguhkan senyum kecil. Ya, aku menjawab dan segera berlalu.

Di kamar suara Ibu bergema-gema dalam kepala. Hen pasti senang, Hen pasti senang. Aku mengernyit. Menerbitkan harap pada kenyataan seperti itu aku jadi merasa bagai si buta yang berusaha merumuskan jumlah gemintang.

Jikapun tidak mustahil, tapi aku dan Hen bukan lagi pasangan yang baru saja menikah dan mencicip madu-madu rumah tangga. Tujuh tahun terlalu badai bagi biduk kami. Aku sendiri tak juga mengerti di mana rumah tangga ini terdampar kini.

Dan aku merasa semua ini benar-benar sial. Aku pulang demi tenang, bukan semakin rusuh dengan masalah-masalah yang terus saja menjurang jarak antara aku dan Hen. Tapi apa daya jika setiap inci rumah ini justru membuka lebih banyak lagi lembar getir yang seolah kemarin belum sempat terpindai oleh mataku.

Aku bisa menghindar dari sosok Hen, tapi tidak dengan bayangannya.

***

"Sudah kau telepon?" Ibu mendekat. Acara tasyakur tiga bulan kehamilanku barusaja usai. Sejak pagi ia terus berisik agar aku tak lupa menghubungi Hen.

"Sudah kukirim pesan."

Sekilas aku melihat alis Ibu bertaut, "Apakah tak ada jeda sedikitpun agar Hen sempat berhenti dari pekerjaannya dan sekedar meneleponmu?"

Aku mengedik bahu, "Tanpa telepon Hen semua tetap baik-baik saja, Bu."

Binar harap Ibu seketika berubah mendung mendengar jawaban yang kuberikan.

Aku memang sudah berkirim pesan pada Hen, tapi bukan untuk kabar hari ini. Sekedar pesan biasa. Berpura-pura mengingatkan tagihan listrik, air dan membayar pajak, yang tentu tak akan pernah dibalas oleh Hen, sebab ia jauh lebih sering ingat semua itu daripada aku.

Aku tak tahu adakah Ibu curiga pada aku dan Hen. Aku hanya tetap berusaha menjadi anak manis bagi orangtuaku, juga (masih) menantu yang baik bagi keluarga mertua. Hen pun sama kuduga, ia pasti tak akan bicara apapun tentang kami pada keluarganya. 

Bagaimanapun, perjodohan ini tetaplah ideal bagi dua keluarga terhormat dan terpandang di masyarakat. Tak pernah ada prahara rumah tangga yang sampai ke telinga mereka, termasuk saat ini. Meski belakangan aku semakin tak tahu untuk apa sebenarnya ini semua.

***

Sayangnya waktu kerap tak memberi ampun pada tiap harapan agar semua tak terjadi, terlebih harapanku. Sembilan bulan kandungan tak mungkin akan dapat kutahan agar tetap di sana. Kontraksiku menghebat pada subuh buta, dan pagi itu aku resmi menjadi ibu, sebuah perihal yang Ibu tak mungkin tidak menghubungi Hen. Segera setelah aku melahirkan, Ibu adalah yang paling sibuk menghubungi Hen.

Aku tak tahu apa yang dikatakannya, Hen tak banyak bicara di telepon. Tapi sore ini dia datang, menjatuhkan jantungku hingga ke lantai saat melihat sosoknya muncul dari balik pintu bersama Ibu.

Dengan bangga Ibu menggendong anakku dan menyerahkannya pada Hen,untuk kemudian terheran sebab tak seujung jari pun tangan Hen tergerak menyambutnya, melainkan matanya terus mencangkungku dengan tatap yang paling sulit diterjemahkan. Ruang ini jadi begitu kelabu, aku merasa Hen tengah menghakimiku begitu rupa.

"Apa anak Ibu tidak pernah cerita?"

Ibu terkejut. Hen tak hanya tampak berang dalam segala raut wajah dan isyarat tubuhnya. Hen telah berubah.  

"Hm?", Ibu menggeleng, diam, menentang mata Hen yang marah.

"Saya kembalikan dia pada Ibu."

Masih, raut Ibu tak mengisyaratkan apapun selain mencoba memahami apa yang tengah terjadi.

"Bicara apa kau, Hen?"

"Silakan tanya pada anak Ibu yang terhormat."

Itu kalimat terakhir yang diucapkan Hen sebelum ia meninggalkan kami.

Ibu menoleh padaku, mencari mata yang sebisa mungkin kucoba agar tak ditemukannya.

Aku diam.

Ibu tetap menunggu.

Hening.

Si bayi pun seolah tengah menanti aku menyelamatkannya dari kungkung sunyi yang mencekam.

Tapi, tapi bagaimana menjelaskan pada Ibu? Siapapun tahu, seorang anak tak mungkin lahir dari benih lelaki infertil seperti Hen. Apa? Bagaimana?

Aku mencari kata yang tepat.

Tapi tak kunjung menemukan.  

[-]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun