Mohon tunggu...
Suci Maitra Maharani
Suci Maitra Maharani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak suka kopi

Quarter of Century

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Sadturdie Night | De

22 Oktober 2016   19:13 Diperbarui: 22 Oktober 2016   19:18 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wallpapersafari.com

Ia sudah berada di sana, duduk di tepi Nan-gan dengan kakinya berayun mengibas udara. Aku mengira ia tak akan datang. Bulan kesepuluh terlalu lama sejak pertemuan terakhir kami.

“Hai, El.” ia menolehkan kepala dan tersenyum seolah mengetahui aku telah tiba. Telapak tangannya menepuk tanah tepat di sisi tempatnya duduk. Seperti sihir yang datang terlalu pagi, aku bergerak pada isyaratnya dan duduk dengan tenang di sana.

“Kau semakin cantik.” katanya.

Aku menatap kaki jurang yang berkelip jauh di bawah sana sementara angin menjatuhkan rambutku yang keperakan hingga sedikit menutupi wajah. Jarak kami dekat sekali, sejumlah jarak yang tak pernah kumiliki dengan orang lain. Baru padanya.

“Darimana kau tau namaku?” aku mencoba bicara.

“Apa yang tak kuketahui dari seorang El sepertimu?”

Aku menatap kulit pucat wajahnya, begitu kontras dengan alis tebal yang nyaris bertaut menaungi sepasang bola mata hijau redup tapi bercahaya, tengah menatap wajahku.

“Lalu kau sendiri, siapa?”

“Panggil aku De.”

“De for?”

Ia tak menjawab apa yang kutanya, hanya kembali memamerkan senyum indah yang telah mengubah hari-hariku sejak bilangan gerhana berlalu.

“Dari negeri yang tak pernah dikenal oleh penjuru mata angin,” ia berkata lagi,

“Aku datang untuk memenuhi janji, El.”

***

Negeri kami adalah daratan yang tegak tepat di tengah samudra. Rumah penduduk berdiri di atas panggung tebing dengan ketinggian jauh di atas air laut, dan kami hidup berkelompok berdasarkan pavverre- kasta yang terbagi menurut garis keturunan dari nenek moyang, semuanya berdampingan dan berjalan harmonis.

Nogalt atau panggung tebing yang dihuni oleh penduduk lazimnya berdekatan dan dihubungkan oleh jembatan, sehingga para penduduk dapat saling mengunjungi dengan mudah. Sebab Quisse yang tumbuh dari tulang belikat di punggung kami hanya efektif digunakan dalam rentang usia duapuluh hingga empat puluh tahun. Selebihnya segala aktifitas tetap bergerak di atas kaki.

Di tepi timur yang agak jauh dari negeri kami terdapat satu tebing tertinggi yang menghujankan air terjun ke laut. Kemudian dari air yang berjatuhan di atas laut kami dapat melihat percik pelangi yang terus berkelap kelip setiap hari tanpa mengenal musim. Di puncak tebing dengan panggung terluas itu terdapat bukit yang ditumbuhi pepohonan hijau. Konon bunga bunga yang tumbuh di sana adalah lambang kedamaian yang akan terus menjaga negeri kami. Dan itulah Nan-gan, tebing yang terlarang dikunjungi sendirian sekalipun bagi mereka yang Quissenya tidak lagi terbentuk dari tulang rawan.

Entah mengapa aku justru semakin ingin tahu tentang Nan-gan. Ada apa sebenarnya di sana? Jika memang Nan-gan adalah tebing terindah yang ada, mengapa penduduk tak boleh mengunjunginya? Sekali waktu pernah aku mendesak Ayah untuk mengantarku ke Nan-gan, aku hanya ingin melihat dari tepi. Tentu saja ke sana dengan mengepakkan Quisse, sebab tak ada satupun jembatan yang menghubungkan Nan-gan dengan Nogalt. Tapi Ayah justru marah, lalu menghukumku dengan melarang keluar rumah selama satu kali putaran bulan.

Hari itu ketika usiaku tepat duapuluh satu musim, aku memberanikan diri terbang menuju Nan-gan, tanpa sepengetahuan Ayah. Penasaranku sungguh meluap ketika memandang butir-butir pelangi yang melahirkan gemuruh dari air terjun jatuh. Hatiku bergolak tak sabar akan gerangan yang selama ini dilindungi larangan. Dan ketika kakiku menapak daratannya, aku sontak ternganga dengan keindahan dan wangi harum yang terhembus dari setiap sisi Nan-gan. Mengapa tempat seindah ini tak boleh dikunjungi?

Benar-benar bukit hijau dengan pagar bunga warna-warni yang sesekali dijeda pohon rimbun teduh. Aku berjalan mendekat, dan mendapati pagar bunga itu membentuk labirin setinggi lutut, beberapa setinggi pinggang. Di tepiannya serupa penari musim bersayap putih, ilalang berbaris rapi dan indah meliuk-liuk gemulai sempurna. Ini kah simbol kedamaian negeri kami itu? Amat indah, semuanya tumbuh liar tapi tampak begitu terawat. Angin berhembus lembut di sini, membelai secukupnya seolah tak ingin menjauhkan daun kering yang terpisah dari dahannya.

Nan-gan tak selesai kujelajahi hanya dalam satu hari. Tempat ini terlalu indah dan luas untuk dilihat sekilas saja, sedang matahari telah menjatuhkan setiap bayangan memanjang ke sisi timur. Ayah akan mengurungku lagi jika ia tahu aku pergi terlalu jauh dari rumah. Nan-gan, aku pasti kembali ke sini.

Semakin sering aku mengunjungi Nan-gan, semakin sulit aku menahan diri untuk tetap tinggal di rumah. Nan-gan menjadi kesibukanku yang baru. Setip saat dalam aktivitasku selalu memikirkan Nan-gan. Menduga dan menerka apa lagi yang akan kutemukan di sana. Dalam hati juga aku semakin ingin tahu, seperti apa Nan-gan saat malam hari? Apakah gelap karena tak ada lampu yang menerangi layaknya di Nogalt? Atau justru terang benderang karena sungai pelangi yang mengalir di sepanjang daratannya? Tapi tidak mungkin aku mencuri kesempatan pergi pada malam hari, Ayah pasti akan mengetahui. Rasa penasaran itu masih kutahan terus di dalam hati.

***

Ia berdiri di tepi rumpun pagar bunga reoussa, kabarnya negeri lain menyebut bunga ini dengan nama rose atau mawar. Aku mengamatinya dengan teliti, sebab ia berbeda dengan siapapun yang ada di negeri kami. Kulitnya sama putih, tapi postur tubuhnya lebih tinggi. Bola matanya hijau redup, berbeda dengan bola mata orang-orang di Nogalt yang kesemuanya berwarna emas pudar. Quissenya kokoh panjang dan berbulu mengkilat, berbeda dengan kami yang cenderung lebih kecil. Dan, untuk deskripsi lainnya aku hanya ingin menyebut laki-laki ini dengan satu kata, tampan.

Kami memulai semuanya tanpa apapun, hanya sebuah cerita. Ia tiba-tiba menyampaikan berbagai macam kisah padaku yang setia mendengarkan, dan semua terasa semakin tak mudah. Aku secara otomatis selalu menunggu dirinya di sekitar rumpun reoussa. Menanti saat-saat menegakkan cuping kuping atasnya yang pandai mengulas banyak cerita, terutama tentang nenek moyang. Juga bunga, pohon, rumput dan angin yang berhembus, ia seperti mengetahui segala asal usulnya. Berkali aku berdecak mendengar kisah yang mengalir darinya. Hingga Nan-gan dan dirinya membuat aku betah, kadang lupa untuk pulang ke rumah.

“Apakah malam hari di sini terang?” tanyaku.

“Kau belum tahu?”

Aku menggeleng.

“Kau ingin tahu?”

Aku mengangguk.

“Bulan kesepuluh, setelah delapan gerhana.” katanya, dan aku harus pulang.

[...]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun