Ia sudah berada di sana, duduk di tepi Nan-gan dengan kakinya berayun mengibas udara. Aku mengira ia tak akan datang. Bulan kesepuluh terlalu lama sejak pertemuan terakhir kami.
“Hai, El.” ia menolehkan kepala dan tersenyum seolah mengetahui aku telah tiba. Telapak tangannya menepuk tanah tepat di sisi tempatnya duduk. Seperti sihir yang datang terlalu pagi, aku bergerak pada isyaratnya dan duduk dengan tenang di sana.
“Kau semakin cantik.” katanya.
Aku menatap kaki jurang yang berkelip jauh di bawah sana sementara angin menjatuhkan rambutku yang keperakan hingga sedikit menutupi wajah. Jarak kami dekat sekali, sejumlah jarak yang tak pernah kumiliki dengan orang lain. Baru padanya.
“Darimana kau tau namaku?” aku mencoba bicara.
“Apa yang tak kuketahui dari seorang El sepertimu?”
Aku menatap kulit pucat wajahnya, begitu kontras dengan alis tebal yang nyaris bertaut menaungi sepasang bola mata hijau redup tapi bercahaya, tengah menatap wajahku.
“Lalu kau sendiri, siapa?”
“Panggil aku De.”
“De for?”
Ia tak menjawab apa yang kutanya, hanya kembali memamerkan senyum indah yang telah mengubah hari-hariku sejak bilangan gerhana berlalu.