Mohon tunggu...
Suci Maitra Maharani
Suci Maitra Maharani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak suka kopi

Quarter of Century

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Bukan) Dongeng Ironi

13 Oktober 2016   12:21 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:25 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : glasshouse images

Tak habis-habis ia menyesali keteledoran, kebiasaan menjadi pelupa. Melihat wajah anak itu selalu saja rasa bersalah membayang hebat. Mengapa tak ada penjelasan? Mengapa lupa? Dan sederet tanya yang tentu tak menemukan jawab. Terlanjur semua sudah lewat, mau apa lagi.

***

Seketika usai jengger yang bergetar dari para kokok jantan pagi hari, saat itu pula lengan rentanya meraba Rahmat, minta dipapah ke kamar mandi.

“Subuh, Le*. Bapak mau wudhu.”

Dan oleh setia yang mutlak, bocah sepuluh tahun itu menyibak sarung lalu bangkit, menarik tubuh kurus lemah bapaknya untuk segera dibawa ke sumur. Begitulah rasa memilikinya, tidak perlu menunggu nanti ketika matahari agak lebih tinggi, atau sejenak duduk hingga hilang kantuk.

Setelah usai segala wirid dan do’a-do’a, tua itu berganti minta. Kali ini halaman belakang rumah.

“Le, apa sudah pagi? Ayo anter Bapak ke belakang. Mau lihat langit.” hingga matahari terasa hangat nanti ia masih akan betah duduk menikmati.

Rahmat tetap siaga, dengan senang hati melakukan apapun yang Bapaknya inginkan, meski sesekali sempat ia merasa nelangsa. Apa yang dimaksud Bapak dengan melihat langit?

Sudahlah, mereka hanya makhluk makhluk sederhana dengan standard bahagia yang juga amat sangat sederhana.

Sesederhana pekerjaan dari seorang bocah yang belum genap balighnya, turut menyusuri rumah demi rumah asal dapat barang sebongkah besi tak layak pakai dan menukarnya dengan uang pada pengumpul rongsok. Dan uang itu, kemana lagi jika bukan dibawa pulang dalam kerat tahu atau tempe juga olahan lain kedele semisal kecap, sebagai lauk nasi raskin yang rasa manis gurihnya lesap disesap status ‘miskin’.

“Makan dulu ya, Pak. Terus minum obat.” begitu Rahmat tak kunjung bosan mengganti waktu, tentu saja dengan harapan kesembuhan dari satu-satunya di bumi yang ia sebut keluarga.

***

“Mat, tadi tak belikan sirup obat buat Bapakmu. Di meja belakang ya. Seperti biasa, minumnya habis makan.”

Inggih, Mas. Terimakasih.”

Tetangga limapuluh meter terdekatnya itu barangkali keluarga juga buat Rahmat. Sebab siapa perduli pada buta yang diderita lelaki tua tanpa sanak sebelah rumah itu jika bukan dia. Tak sekolah dan tak bisa baca sudah cukup membuatnya iba pada Rahmat kecil yang dipaksa hidup agar menghidupi Bapaknya, biarlah penghasilannya yang tak seberapa juga dinikmati mereka meski sedikit juga.

Asal Bapak bisa sembuh, aku akan coba apapun.Logika sederhana dari bocah yang tak pernah mengenal Ibunya itu, yang entah pula mengenal masadepannya, hingga tetap mampu bangun dinihari untuk menenangkan lelaki tua yang belakangan batuk menahunnya divonis tuberculose oleh mantri desa.

Selalu indah, selalu manis dalam semesta jiwa Ramat malam-malam bersama Bapak yang diselimuti kidung sahaja semenjak kecilnya. Sekedar memeluk Rahmat dalam lubang sarung yang sama, lalu bibir tuanya melantun syahdu.

Lir…ilir… lir…ilir… tandure wong sumilir..”*

Hingga Rahmat lelap pada lirih bisik yang mengekal dalam alam bawah sadarnya.

Dan malam hari dinanti akhirnya tibalah, saatnya merapat pada tubuh Bapak dan mulai mendengarkan kidungnya sampai sempurna tidur. Rahmat mengambil obat baru, menuang ke sendok dan menyuap Bapak setelah makan dan sebelum tidur.

“Semoga batuknya cepat sembuh ya, Pak.” lalu tubuh kecilnya diberoboskan pada sarung yang sama membalut tubuh Bapak.

Sayangnya tak ada kidung malam ini, tak ada lirih pengantar tidur hari ini. Mungkin Bapak butuh istirahat lebih, sebab batuknya terdengar kian berat sejak tadi. Apa Rahmat bisa kata? Hanya pelukan di bawah temaram lampu minyak menghangatkannya dari lelah yang mendera.

***

Rahmat sigap duduk, ia khawatir bapak merabanya dan ia tak terasa. Dari lubang geribik rumah mereka tampak samar di luar sudah terang.

“Pak, kok ndak bangunin Rahmat?”

Bapaknya tak menjawab. Marahkah?

“Pak?”

Tak menjawab.

“Pa-ak..” Rahmat mengguncang bahu yang diam.

“Mas Sapri… Mas, tolong.” gusar Rahmat mengetuk pintu rumah tetangga limapuluh meternya setelah spontan lari. Ia tahu, Bapaknya butuh tindakan lebih.

Pintu terkuak dan lahirlah Sapri yang masih bersarung sejak usai Subuhnya tadi. Ia tahu apa yang tengah genting dan tanpa menunggu aba berlarilah ia diikuti Rahmat di belakang sambil khawatir dan tersengal.

“Sudah mbok minumi obat kan, Mat?” Tanya Sapri sembari memeriksa sosok tua yang belum berubah posisi tidurnya di atas dipan beralas tikar.

Sapri berjingkat menuju meja belakang, meneliti kemasan obat juga tanggal kadaluarsa pada tutupnya. Semuanya baik-baik saja. Mengapa seperti ada busa halus dari mulut tetangga tuanya?

“Sebetulnya masih jauh tanggal kadaluarsanya.” Sapri menggumam sambil kembali meneliti botol obat.

“Mas, bukan obat yang itu yang buat Bapak.”

“Lho yang mana, Mat? Obat yang lama kan sudah habis.”

“Yang botol hijau.”

Deg!

Tak percaya pada matanya sendiri, dibawa Sapri botol itu keluar dari rumah demi penerangan paripurna.

“Ya Allah.. Rahmat..” nyaris tak terdengar suaranya kala ia menyadari itulah botol yang beberapa hari lalu tak ditemukannya di rumah, lupa dimana meletakkan.

Dipelototi sekali lagi sambil hati begitu kecut, tetap tiada mungkin berubah tulisan merk botol itu.

Insecticida Refill.

[-]

Le (jawa)  :  panggilan untuk anak laki-laki 

Lir…ilir… lir…ilir… tandure wong sumilir.."   :   tembang nasihat oleh Sunan Kali Jaga 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun