***
Rahmat sigap duduk, ia khawatir bapak merabanya dan ia tak terasa. Dari lubang geribik rumah mereka tampak samar di luar sudah terang.
“Pak, kok ndak bangunin Rahmat?”
Bapaknya tak menjawab. Marahkah?
“Pak?”
Tak menjawab.
“Pa-ak..” Rahmat mengguncang bahu yang diam.
“Mas Sapri… Mas, tolong.” gusar Rahmat mengetuk pintu rumah tetangga limapuluh meternya setelah spontan lari. Ia tahu, Bapaknya butuh tindakan lebih.
Pintu terkuak dan lahirlah Sapri yang masih bersarung sejak usai Subuhnya tadi. Ia tahu apa yang tengah genting dan tanpa menunggu aba berlarilah ia diikuti Rahmat di belakang sambil khawatir dan tersengal.
“Sudah mbok minumi obat kan, Mat?” Tanya Sapri sembari memeriksa sosok tua yang belum berubah posisi tidurnya di atas dipan beralas tikar.
Sapri berjingkat menuju meja belakang, meneliti kemasan obat juga tanggal kadaluarsa pada tutupnya. Semuanya baik-baik saja. Mengapa seperti ada busa halus dari mulut tetangga tuanya?