***
“Mat, tadi tak belikan sirup obat buat Bapakmu. Di meja belakang ya. Seperti biasa, minumnya habis makan.”
“Inggih, Mas. Terimakasih.”
Tetangga limapuluh meter terdekatnya itu barangkali keluarga juga buat Rahmat. Sebab siapa perduli pada buta yang diderita lelaki tua tanpa sanak sebelah rumah itu jika bukan dia. Tak sekolah dan tak bisa baca sudah cukup membuatnya iba pada Rahmat kecil yang dipaksa hidup agar menghidupi Bapaknya, biarlah penghasilannya yang tak seberapa juga dinikmati mereka meski sedikit juga.
Asal Bapak bisa sembuh, aku akan coba apapun.Logika sederhana dari bocah yang tak pernah mengenal Ibunya itu, yang entah pula mengenal masadepannya, hingga tetap mampu bangun dinihari untuk menenangkan lelaki tua yang belakangan batuk menahunnya divonis tuberculose oleh mantri desa.
Selalu indah, selalu manis dalam semesta jiwa Ramat malam-malam bersama Bapak yang diselimuti kidung sahaja semenjak kecilnya. Sekedar memeluk Rahmat dalam lubang sarung yang sama, lalu bibir tuanya melantun syahdu.
“Lir…ilir… lir…ilir… tandure wong sumilir..”*
Hingga Rahmat lelap pada lirih bisik yang mengekal dalam alam bawah sadarnya.
Dan malam hari dinanti akhirnya tibalah, saatnya merapat pada tubuh Bapak dan mulai mendengarkan kidungnya sampai sempurna tidur. Rahmat mengambil obat baru, menuang ke sendok dan menyuap Bapak setelah makan dan sebelum tidur.
“Semoga batuknya cepat sembuh ya, Pak.” lalu tubuh kecilnya diberoboskan pada sarung yang sama membalut tubuh Bapak.
Sayangnya tak ada kidung malam ini, tak ada lirih pengantar tidur hari ini. Mungkin Bapak butuh istirahat lebih, sebab batuknya terdengar kian berat sejak tadi. Apa Rahmat bisa kata? Hanya pelukan di bawah temaram lampu minyak menghangatkannya dari lelah yang mendera.