Mohon tunggu...
Money

Konsumen Penerus Generasi Islam

28 Februari 2019   01:39 Diperbarui: 28 Februari 2019   08:51 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Konsumen adalah orang yang menggunakan barang atau jasa untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain. Kita sebagai penerus islam, sudah tahukah anda bagaimana menjadi konsumen yang sesuai ajaran islam serta mengetahui konsumsi islam itu seperti apa?

 Ilmu ekonomi menyebutkan, konsumsi diartikan menggunakan suatu barang maupun jasa untuk memuaskan kebutuhan manusiawi (the use of goods and services in the satisfaction of human wants). Konsumsi merupakan tujuan yang esensial dari produksi dengan kata lain, produksi merupakan alat bagi konsumsi.

Nur Rianto  (2017:23) Kebijakan dasar menjadi acuan dalam pelaksanaan sistem ekonomi islam menurut Choundhury (1986) yaitu pelarangan atas konsumsi yang berlebihan atau dengan kata lain mubazir. Dalam ekonomi islam, konsumsi yang dilakukan harus berdasarkan kebutuhan real dan bukan keinginan yang dapat mengakibatkan kemubaziran dalam pola konsumsi.

Kebutuhan seluruh manusia pada  kebutuhan fisik dasar makanan, pakaian, keamanan, kebutuhan sosial, serta kebutuhan individu terhadap pengetahuan dan suatu keinginan untuk mengekspresikan diri. Sementara keinginan merupakan bentuk kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh budaya dan kepribadian individual. Manusia mempunyai keinginan yang hampir tanpa batas, tetapi sumber dayanya terbatas.

Pandangan manusia yang berkitan dengan  kebutuhan dan persyaratan yang dibutuhkan untuk memenuhinya akan berlanjut pada kelangkaan relatif atas pemenuhan kebutuhan dalam rangka pencapaian nilai yang lebih tinggi dan pencapaian tujuan tertentu.  

Suherman Rosyidi (2012:49) Terkait pembahasan diatas, kebutuhan manusia bermacam-macam banyaknya baik dari segi kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis, baik keinginan yang baik maupun keinginan yang jahat. 

Kebutuhan ini terbagi menjadi beberapa tingkatan. Pada tingkatan satu (atas), primary needs (kebutuhan primer) yaitu orang membutuhkan sandang (pakaian), pangan (makanan dan minuman), dan papan (tempat tinggal). 

Apabila kebutuhan primer ini terpenuhi, maka muncullah di dalam pikiran manusia terhadap pemenuhan secondary needs (kebutuhan tingkat kedua) yang merupakan kebutuhan akan barang-barang perlu, yang antara lain berisi kebutuhan akan sepatu, sepeda, pendidikan dan sebagainya. Jika keadaan memungkinkan (misalnya bertambah kaya), muncul keinginan untuk memenuhi keinginan tingkat ketiga atau tertiary needs yang berkaitan erat dengan kebutuhan akan barang mewah(tersier). 

Lalu kebutuhan tingkat keempat atau quartiary needs yang berhubungan  akan  kebutuhan akan barang yang benar-benar mubazir (yang sebenarnya tidak diperlukan sama sekali), dan seterusnya. Sesuai hadis ekonomi riwayat Nasa'i, hadist ke 2571 berikut:

Yang artinya: dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkat, Rasul SAW bersabda: "makanlah dan minumlah, bersedekahlah serta berpakaianlah dengan tidak berlebihan dan tidak sombong". (HR. Nasai)

Konsumsi yang berlebihan (tidak sesuai tempatnya atau porsinya), yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam islam dan disebut dengan israf ( boros) atau tabzir (membuang harta tanpa guna). Tabzir yaitu  harta miliki seseorang digunakan dengan cara yang salah, dengan kata lain penggunaan ini  menuju tujuan-tujuan yang terlarang, seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau cara yang tanpa aturan. Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, atau sedekah.

Ajaran islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yaitu pola yang terletak di antara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi di atas dan melampaui tingkat mederat (wajar) dianggap israf dan tidak disenangi islam.

Salah satu ciri penting dalam islam adalah bahwa ia tidak mengubah nila-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat, tetapi juga menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas islam juga memiliki daya aplikatifnya terhadap orang yang terlibat dalam pemborosan atau  tabzir.

Menurut Naqvi, (1985) etika islam dalam hal konsumsi adalah sebagai berikut:

1. Tauhid (unity atau kesatuan)

Dalam perspektif islam, kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Adapun dalam pandangan kapitalistik, konsumsi merupakan fungsi keinginan dari keinginan, nafsu, harga barang, pendapatan, dan lain-lain tanpa memperdulikan dimensi spiritual, kepentingan orang lain dan tanggung jawab atas segala perilakunya.

2. Adil (equilibrum)

Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati berbagai karunia kehidupan dunia yang disediakan Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 168.

Yang artinya: "wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 168)

Akan tetapi, pemanfaatan atas karunia Allah tersebut harus dilakukan secara adil sesuai dengan syariat sehingga selain mendapat keuntungan material, ia juga merasakan kepuasan spiritual.

3. Kehendak bebas (free will)

Alam semesta adalah milik Allah SWT, manusia diberikan kekuasaan untuk mengambil keuntungan dan memanfaatkan sebanyak-banyaknya dengan baik dan  sesuai dengan kemampuannya atas barang-barang ciptaan Allah SWT.

4. Amanah (responsibility)

Dalam hal konsumsi, manusia dapat berkehendak bebas, tetapi ia harus mempertanggung jawabkan atas kebebasan tersebut, baik terhadap keseimbangan alam, masyarakat, diri sendiri, maupun di akhirat kelak.

5. Halal

Dalam kerangka acuan islam, barang-barang yang dapat dikonsumsi hanyalah barang-barang yang menunjukkan nila-nilai kebaikan, kesucian, keindahan, dan menimbulkan kemaslahatan untuk umat, baik secara material maupun spiritual. Sebaliknya benda-benda tang buruk, tidak suci (najis), tidak bernilai, tidak dapat digunakan dan tidak dapat dianggap sebagai barang-barang konsumsi dalam islam yang dapat menimbulkan kemudharatan apabila di konsumsi akan dilarang. Sesuai Q.S. Al-baqarah [2]: 173.

Yang artinya: "sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha penyanyang." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 173)

6. Sederhana

Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui batas (israf), termasuk pemborosan dan berlebih-lebihan yaitu menbuang-buang harta dan menghambur-hamburkannya tanpa faedah serta manfaat dan hanya memperturutkan nafsu. Sesuai Q.S. Al-Isra' [17]: 26-27.

Yang artinya: "dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya." (Q.S. Al-Isra' [17]: 26-27). 

Sedangkan menurut Kafh (1995) sasaran konsumsi bagi konsumen muslim adalah:

1. Kosnsumsi untuk diri sendiri atau keluarga

Tidak dibenarkan konsumsi yang dilakukan oleh seorang yang berakibat pada kesengsaraan diri maupun keluarga karena kekikirannya, Allah melarang perbuatan kikir. Sesuai Q.S. At-Talaq [65]: 7.

 Yang artinya: “hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” Q.S. At-Talaq [65]:7

2. Tabungan

Manusia harus menyiapkan masa depannya karena masa depan merupakan masa yang tidak diketahui keadaannya. Dalam ekonomi penyiapan masa depan dapat dilakukan melalui tabungan.

3. Konsumsi sebagai tanggung jawab sosial

Konsumsi yang dimaksud adalah kewajiban mengeluarkan zakat. Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan ekonomi. Islam sangat melarang penumpuka harta, yang akan berakibat terhentinya arus peredaran harta, merintangi efisiensi usaha, dan pertukaran komoditas produksi dalam perekonomian

Rozalinda (2017:107) Islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya. Selama hal itu mendatangkan maslahah dan tidak mendatangkan mafsadah. Konsep keperluan dasar dalam islam sifatnya tidak statis, artinya keperluan dasar bagi pelaku ekonomi bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Dapat saja pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang dikonsumsi karena motivasi keinginan. Pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut menjadi kebutuhan.

Dalam islam, pemenuhan kebutuhan hidup manusia sama dengan teori Moslow yang diawali dari kebutuhan pokok atau dasar. Menurut teori yang menganut pola ekonomi invidualistik-materialistik ini, keperluan hidup berawal dari pemenuhan keperluan hidup yang bersifat dasar (basic need).

Kebutuhan harus dipenuhi agar sesuatu berfungsi secara sempurna. Dalam perspektif ekonomi islam, semua barang dan jasa yang membawa pengaruh pada kemaslahatan disebut kebutuhan manusia. Misalnya, seorang muslim sudah mempunyai makanan yang banyak namun, pakaiannnya masih sedikit. Agar mendapatkan kepuaasan yang sama diperlukan pengurangan konsumsi makanan sehingga, memperoleh satu tambahan unit pakaian.

Jadi, kita sebagai penerus islam harus menjadi seorang konsumen sesuai ajaran islam, serta harus mengetahui konsumsi dalam ajaran islam mana yang dilarang dan mana yang dianjurkan. Sehingga, kita dapat menjadi konsumen generasi generasi penerus islam yang baik.

GOMAWO

DAFTAR PUSTAKA

  • Rosyidi, Suherman.2012. Pengantar Teori Ekonomi. Jakarta: Rajawali Pers
  • Rozalinda.2017. Ekonomi Islam. Depok: Rajawali Pers
  • Nur Rianto Al Alif, M.2017. Pengantar Ekonomi Islam. Bandung: Pustaka Setia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun