Prinsipnya adalah apabila pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya bukan karena kesalahannya maka upah tetap harus dibayar. Hal ini wajar karena peraturan perundangan harus menempatkan pekerja sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, sebagai makhluk sosial yang tetap harus hidup dan menghidupi keluarga dan mendidik anak-anaknya. Apabila upah yang menjadi sumber penghidupan pekerja tidak dibayar bukan karena kesalahan pekerja maka pekerja tidak dapat menghidupi keluarga dan mendidik anak-anaknya dengan semestinya.
Persoalan yang dihadapi sekarang adalah tidak adanya kemampuan (mungkin juga kemauan) pengusaha untuk membayar upah pekerja yang dirumahkan karena adanya PSBB sebagai dampak mewabahnya covid-19. Apakah dengan alasan PSBB atau force majeur tersebut pengusaha boleh mengurangi upah atau bahkan tidak membayar upah yang seharusnya dibayar kepada pekerja ?
Pasal 20 PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan mengharuskan upah pekerja dibayar seluruhnya pada setiap jatuh tempo pembayaran upah, tidak boleh dikurangi dan tidak boleh terlambat. Jika upah tidak dibayar tepat waktu maka menurut pasal 55 PP Pengupahan tersebut, terhadap kelambatan dimaksud bisa dikenakan denda kelambatan yang dendanya dihitung per hari kelambatan setelah hari ke-empat dari kelambatan dan bisa bersifat progresif.Â
Upah yang belum dibayar atau kurang bayar bisa dituntut kapan saja setelah jatuh tempo, bisa sebulan atau sepuluh tahun kemudian, suka-sukanya pihak yang nuntut mengingat Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor : 100/PUU-X/2012 telah menyatakan bahwa upah adalah hak pekerja/buruh yang penuntutannya tidak mengenal daluwarsa. Â
Untuk menutup peluang adanya tuntutan dikemudian hari, perlu dirundingkan antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja untuk mencari solusi yang terbaik bagi semua pihak. Kelangsungan hidup perusahaan harus diutamakan karena merupakan tempat bagi pengusaha dan pekerja mencari nafkah sebagai sumber kehidupan. Beban perusahaan pada saat tidak ada cash flow masuk selama ada pandemi harus dikurangi agar tidak membuat perusahaan bangkrut yang merugikan semua pihak. Disisi lain pekerja juga harus diberi hak-haknya agar masih bisa menghidupi diri dan keluarganya disaat pandemi ini.
Pemerintah dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja pada tanggal 17 Maret 2020, telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tentang Perlindungan pekerja/ buruh dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan covid-19. Dalam angka II (Romawi) 4 surat edaran tersebut dinyatakan bahwa bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan covid-19 sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/ buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/ buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/ buruh.
Surat edaran tersebut bisa menjadi dasar hukum bagi penguaha yang akan mengurangi upah pekerja atau tidak membayar upah selama dirumahkan atau selama perusahaan belum bisa beroperasi normal yang mengakibatkan pemasukan usaha mengalami pengurangan akibat pandemic covid-19. Kuncinya adalah harus dirundingkan bersama dulu dan dituangkan dalam perjanjian bersama yang ditandatangani kedua pihak yaitu antara pengusaha dengan pekerja/ buruh atau dengan serikat pekerja/ serikat buruh, agar tidak menimbulkan peluang tuntutan dikemudian hari dari pihak yang merasa dirugikan.
#PHK
#Pesangon
#Dirumahkan
#pandemi