Timo menyerahkan uang. Mamang mengambilnya lalu memberikan uang kembalian. Timo segera memasukkannya ke dalam saku celana.
Ia berjalan ke bangku taman di pinggir sekolah untuk makan. Diletakkannya tas di atas bangku kayu. Setelah habis cirengnya, ia mengeluarkan sisa uang dari saku. Akan ditabungnya untuk membeli bola kaki.
Namun, ia terkejut melihat uangnya menjadi dua puluh satu ribu rupiah. Seharusnya uangnya, kan, tinggal tiga ribu. Apakah Mamang salah memberikan uang kembalian? Uang dua puluh ribu itu warnanya memang mirip dengan uang dua ribu rupiah
Jantung Timo berdebar kencang. Jika ia mengambil uang itu, celengannya akan cepat penuh. Dan ia juga bisa jajan cireng lebih banyak. Akan tetapi, ia merasa bersalah. Dilihatnya lagi Mamang yang sedang melayani teman-teman sekolah. Mamang itu sudah tua dan kelihatan lelah. Tentunya susah mendapatkan banyak uang dari berjualan cireng.
Ia jadi teringat dengan ucapan ibu, "Nak, kita harus jujur. Karena anak jujur disayang Tuhan. Ada banyak berkat yang akan didapatkan."
Timo mengambil tasnya dan berdiri. Ia mendekati Mamang penjual cireng.
"Mang, tadi kembaliannya kebanyakan. Mamang salah ngasih uang," katanya pada Mamang yang sedang menggoreng. Diulurkannya uang dua puluh ribu itu.
Mamang mengangkat kepala. "Tadi uang adek berapa?" Ia menatap Timo bingung.
"Lima ribu, Mang. Aku beli cireng satu. Seharusnya kembali tiga ribu, tapi Mamang kasih dua puluh satu ribu."
"Astaga, Mamang khilaf, Dek," kata Mamang sambil menerima uluran tangan Timo.
Diambilnya uang itu dan dimasukkan ke laci gerobak. Sebagai ganti diberinya selembar uang dua ribu rupiah. "Ini, Dek. Terima kasih banyak."