Bel pulang sekolah berbunyi. Timo dan teman-teman kelas IVB SD Negeri 131 bergegas keluar kelas.
"Tim, kamu dijemput, ya?" tanya Janu dari belakangnya.
"Enggak, Jan, aku jalan kaki. Ibu repot memasak dan menjaga adik di rumah," jawab Timo. Ia berhenti untuk menunggu Janu lalu mereka berjalan bersama.
"Aku dijemput kakakku. Kamu mau numpang?" tanya Janu lagi.
Timo menggeleng. "Nggak usah, Jan, terima kasih. Rumahku dekat, kok. Lagipula rumah kita lain arah."
"Baiklah. Kalau begitu, aku duluan, ya. Sampai bertemu besok." Janu melambai dan berjalan cepat menuju motor merah yang parkir di samping pagar sekolah. Kakaknya sudah menunggu.
"Oke." Timo mengangguk, sambil terus melangkah.
Ia  dan abangnya, Rendi, yang kelas satu SMP sudah terbiasa berjalan kaki ke sekolah. Kata ayah, mereka sengaja disekolahkan dekat rumah karena sesuai dengan sistem zonasi dari pemerintah. Kadang mereka berdua diantar ayah bila hari hujan.
Timo melihat ada mamang penjual cireng berjualan di depan sekolah. Ia ingin jajan sebelum pulang. Dikeluarkannya uang lima ribu pemberian ayah.
"Mang, beli cireng isi ayam satu," katanya pada Mamang penjual cireng.
"Iya, Dek," jawab Mamang sambil membungkus dengan kertas.
Timo menyerahkan uang. Mamang mengambilnya lalu memberikan uang kembalian. Timo segera memasukkannya ke dalam saku celana.
Ia berjalan ke bangku taman di pinggir sekolah untuk makan. Diletakkannya tas di atas bangku kayu. Setelah habis cirengnya, ia mengeluarkan sisa uang dari saku. Akan ditabungnya untuk membeli bola kaki.
Namun, ia terkejut melihat uangnya menjadi dua puluh satu ribu rupiah. Seharusnya uangnya, kan, tinggal tiga ribu. Apakah Mamang salah memberikan uang kembalian? Uang dua puluh ribu itu warnanya memang mirip dengan uang dua ribu rupiah
Jantung Timo berdebar kencang. Jika ia mengambil uang itu, celengannya akan cepat penuh. Dan ia juga bisa jajan cireng lebih banyak. Akan tetapi, ia merasa bersalah. Dilihatnya lagi Mamang yang sedang melayani teman-teman sekolah. Mamang itu sudah tua dan kelihatan lelah. Tentunya susah mendapatkan banyak uang dari berjualan cireng.
Ia jadi teringat dengan ucapan ibu, "Nak, kita harus jujur. Karena anak jujur disayang Tuhan. Ada banyak berkat yang akan didapatkan."
Timo mengambil tasnya dan berdiri. Ia mendekati Mamang penjual cireng.
"Mang, tadi kembaliannya kebanyakan. Mamang salah ngasih uang," katanya pada Mamang yang sedang menggoreng. Diulurkannya uang dua puluh ribu itu.
Mamang mengangkat kepala. "Tadi uang adek berapa?" Ia menatap Timo bingung.
"Lima ribu, Mang. Aku beli cireng satu. Seharusnya kembali tiga ribu, tapi Mamang kasih dua puluh satu ribu."
"Astaga, Mamang khilaf, Dek," kata Mamang sambil menerima uluran tangan Timo.
Diambilnya uang itu dan dimasukkan ke laci gerobak. Sebagai ganti diberinya selembar uang dua ribu rupiah. "Ini, Dek. Terima kasih banyak."
Timo mengangguk dan memasukkan uang itu ke dalam saku. Ia berbalik hendak pergi.
Â
"Dek, tunggu dulu," panggil Mamang lagi.
"Ya, Mang?"
"Ini bonus cireng untuk Adek, karena sudah berbuat jujur," kata Mamang sambil membungkus tiga buah cireng. Diberikannya pada Timo.
"Wah, terima kasih, Mang," kata Timo senang.
Mamang tersenyum. "Sama-sama, Dek. Hampir saja Mamang nggak dapat untung karena ceroboh. Syukurnya ada anak yang baik seperti kamu."
Timo tersipu. "Saya pamit pulang, Mang," katanya ringan.
"Iya, Dek. Hati-hati di jalan."
Timo mengangguk. Ia berjalan pulang ke rumah dengan hati gembira. Nanti akan dibaginya cireng satu untuk Gina, adiknya. Ternyata berbuat jujur sangat menyenangkan.
Kotabaru, 16 November 2022
Catatan. Cerita anak ini sudah pernah tayang di akun penulis pada grup facebook literasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H