Mohon tunggu...
Maimai Bee
Maimai Bee Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Hai. Saya Maimai Bee, senang bisa bergabung di Kompasiana. Saya seorang ibu rumah tangga yang mempunyai tiga orang putra. Di sela waktu luang, saya senang membaca dan menulis. Salam kenal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mati Suri (Bagian 4)

3 November 2022   13:09 Diperbarui: 3 November 2022   13:15 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image pexels-tú-nguyễn

Aku memeluknya erat hingga takut mematahkan tulang belulangnya. "Aku juga menyayangimu, Finn," ujarku dengan suara bergetar. "Kita harus segera sampai di pintu penghakiman. Aku akan memohon pada Tuan Hakim."

Aku menarik tangan pria itu dan membimbingnya berjalan. "Apakah masih jauh?" tanyaku sambil terus melangkah.

"Tinggal beberapa kilometer lagi," jawab Finn terengah.

"Sebaiknya kita naik kuda. Mungkin dia sudah bisa ditunggangi sekarang," usulku. 

Pria itu mengangguk dan membantuku naik ke atas kuda. Kami terus berjalan hingga tubuhku mulai merasa lelah. Finn pun seperti sudah tak bertenaga. Ia bersandar pada punggungku, aku menyuruhnya berpegangan erat. Lalu tampak sebuah puri bermenara tinggi dikelilingi parit yang lebar. Ada sebuah jembatan sempit menghubungkannya ke tempat kami berdiri.

"Aku harus turun sekarang," gumam Finn dari belakangku.

"Tidak perlu. Kita bisa berkuda ke sana," jawabku ringan.

Finn menggeleng. "Tidak boleh dua orang di atas kuda melewati jembatan itu. Hanya satu reaper dan tawanan yang diseret dalam karung."

"Kalau begitu, biar aku saja," sahutku melompat turun. Finn sedikit terhempas ke depan karena kehilangan tumpuan. Aku segera menahannya agar tak terjatuh.

"Kau sudah lelah, Zoya. Biar aku yang berjalan, tinggal sedikit lagi. Jangan sampai semua sia-sia," kata pria itu.

Aku tak menggubrisnya dan menuntun kuda itu menyusuri jembatan sempit. Perhatianku tertuju pada Finn. Pria itu semakin lemah. Aku menyuruhnya merunduk memeluk punggung kuda. Kutahan tubuhnya dengan tangan kanan.

Semakin dekat ke puri, hawa dingin berkurang. Tampak dua penjaga berbaju zirah berkilau menghadangku. Mereka menatap jubah hitamku sekilas. "Namamu tidak ada dalam daftar," kata penjaga sebelah kanan.

"Ya, tapi aku sudah berada di sini sekarang," jawabku menguatkan diri. "Aku ingin bertemu Tuan Hakim."

Penjaga sebelah kiri menggeleng. "Seharusnya kau kembali ke dunia. Waktumu belum tiba."

"Dia menyingkap tudungku dan melihat wajahku. Dia tidak bisa pulang tanpa restu Tuan Hakim," ujar Finn tersengal-sengal dari atas kuda, sepertinya berbicara menguras banyak tenaga. Kugenggam tangannya, sinar matanya kian meredup.

"Tolonglah, Tuan. Aku harus bertemu Tuan Hakim," desakku tak sabar. Aku sungguh takut Finn akan menghilang dan tak tertolong. Pria itu sudah semakin lemah.

Penjaga itu saling pandang. Lalu salah satu mengangguk. "Sepertinya Finn sudah banyak mengorbankan jiwanya untuk menolongmu," ujarnya sambil membuka gerbang tinggi. Temannya menahan tali kekang kuda Finn.

"Tidak, aku harus pergi bersamanya!" seruku merampas tali itu dari tangan penjaga.

"Dia tidak boleh pergi dengan kuda," jawab sang penjaga.

"Aku akan memapahnya," jawabku tegas berusaha menurunkan Finn dari punggung kuda.

Setelah beberapa saat, kedua penjaga itu membantuku. Aku berjalan tertatih-tatih memapah Finn. Tubuhnya yang tinggi besar bersandar padaku. Pria itu tidak terlalu berat, karena hanya rangka tengkorak tanpa otot dan lemak.

Kami tiba di sebuah ruangan putih yang luas, awan seputih kapas melapisi permukaan lantainya. Tampak sosok yang diliputi cahaya putih menyilaukan duduk di atas singgasana yang berkilauan. Aku menunduk tak sanggup memandangnya.

"Kembalilah ke dunia, Anakku. Waktumu belum tiba," ucap sosok itu penuh wibawa.

Aku mengangkat kepala. "Tolong Finn, Tuan Hakim. Aku tak ingin dia hancur dan menghilang karenaku. Tolonglah, Tuan Hakim. Dia sudah sangat lemah. Aku rela menggantikannya, asalkan dia selamat, Tuan---," pintaku terbata-bata.

Sosok itu berdiri. "Waktunya hampir habis. Sudah tidak ada harapan."

"Tidak, Tuan. Tolonglah, aku mencintainya!" tangisku pedih.

Aku meletakkan Finn pada lantai yang hangat. Kupeluk tubuhnya erat, matanya sudah tidak berpendar. "Finn, selalu ada harapan. Tuhan, tolong aku---tolong kami!" seruku histeris. Aku berdoa dan menangis bersamaan.

Bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun