penghakiman. Aku akan memohon pada Tuan Hakim."
Aku memeluknya erat hingga takut mematahkan tulang belulangnya. "Aku juga menyayangimu, Finn," ujarku dengan suara bergetar. "Kita harus segera sampai di pintuAku menarik tangan pria itu dan membimbingnya berjalan. "Apakah masih jauh?" tanyaku sambil terus melangkah.
"Tinggal beberapa kilometer lagi," jawab Finn terengah.
"Sebaiknya kita naik kuda. Mungkin dia sudah bisa ditunggangi sekarang," usulku.Â
Pria itu mengangguk dan membantuku naik ke atas kuda. Kami terus berjalan hingga tubuhku mulai merasa lelah. Finn pun seperti sudah tak bertenaga. Ia bersandar pada punggungku, aku menyuruhnya berpegangan erat. Lalu tampak sebuah puri bermenara tinggi dikelilingi parit yang lebar. Ada sebuah jembatan sempit menghubungkannya ke tempat kami berdiri.
"Aku harus turun sekarang," gumam Finn dari belakangku.
"Tidak perlu. Kita bisa berkuda ke sana," jawabku ringan.
Finn menggeleng. "Tidak boleh dua orang di atas kuda melewati jembatan itu. Hanya satu reaper dan tawanan yang diseret dalam karung."
"Kalau begitu, biar aku saja," sahutku melompat turun. Finn sedikit terhempas ke depan karena kehilangan tumpuan. Aku segera menahannya agar tak terjatuh.
"Kau sudah lelah, Zoya. Biar aku yang berjalan, tinggal sedikit lagi. Jangan sampai semua sia-sia," kata pria itu.
Aku tak menggubrisnya dan menuntun kuda itu menyusuri jembatan sempit. Perhatianku tertuju pada Finn. Pria itu semakin lemah. Aku menyuruhnya merunduk memeluk punggung kuda. Kutahan tubuhnya dengan tangan kanan.