Hiroko mengikat tali sepatu lalu menatap Rio di sebelahnya. "Apa katamu? Harumi bunuh diri? Bagaimana mungkin, aku baru bertemu dengannya tadi pagi!""Mungkin setelah itu dia langsung naik ke puncak gedung kampus," ujar pria berambut ikal itu."Tapi kenapa? Dia tampak baik-baik saja tadi."
Sahabatnya itu mengangkat bahu. "Sepertinya kedekatan kalian membuat Megumi tak senang."
"Ah, yang benar saja! Aku dan Megumi hanya teman biasa," tukas Hiroko sambil memasukkan sepatu futsal ke dalam tas gymsack. Mereka baru saja berlatih untuk persiapan liga kampus bulan depan.
"Itu sangkaanmu, Hiro. Megumi sudah mengejarmu dari semester satu. Kau saja yang tidak pernah menanggapi."
Pria gagah itu mengedik. "Kami memang bersahabat, dan dia bukan tipeku. Meg terlalu posesif. Aku hanya telinga baginya. Dia sering curhat padaku, karena tidak punya tempat untuk mengadu. Kedua orangtuanya sudah berpisah, tidak ada yang memedulikan perasaannya."
Rio menarik tasnya dan menatap tajam. "Aku tidak menuduh. Namun, beberapa gadis yang dekat denganmu semua berakhir tragis."
Hiroko tersentak. "Maksudmu, Megumi membunuhnya?"
"Sudah kubilang, aku tidak bermaksud begitu. Hanya saja, aku jadi kepikiran."
"Ah, kau mengada-ada. Megumi terlalu gemulai untuk melakukan itu. Bahkan memu'kul nyamuk pun, ia tak tega," ujar Hiroko tertawa kecil.
Sahabatnya menggeleng. "Entahlah, tapi kalau memang dia posesif , dia bisa saja melakukan sesuatu yang mustahil."
Hiroko semakin tergelak. "Kau kebanyakan nonton film horor, Rio. Otakmu jadi penuh dengan khayalan." Ia berdiri dan menyandang tas. "Ayo, kita pergi."