"Maaf, bisa bergeser sedikit? Saya mau mengambil buku itu, " ujarku pada seorang pria yang berdiri di depanku.
Pria itu menoleh kepadaku sejenak kemudian bergeser ke kanan.
Aku memandangnya terkesan. Pria itu berpostur tinggi dan bahu yang lebar, raut wajahnya maskulin dengan rahang yang tampak kokoh. Pandangan pertama, sungguh menggoda. Tiba-tiba dadaku berdebar berdiri di sampingnya. Aku merasa sangat konyol.
Aku menarik napas dalam dan berjinjit berusaha meraih buku yang sudah kuincar. Namun, rak itu ternyata cukup tinggi. Aku mundur dan melihat ke sekeliling, mencari pramuniaga toko buku.
"Ada yang bisa kubantu?"
Aku terlompat kaget mendengar suara pria itu yang tiba-tiba memecah kesunyian.
"Oh---eh," gumamku gugup.
"Maaf, sudah membuatmu terkejut," ujarnya sambil tertawa kecil.
Â
Aku terpana, ternyata bukan cuma wajahnya yang sedap dipandang mata, tapi suara tawanya, pun, terasa sangat empuk di telinga.
"Tidak---eh, iya. Maksud saya, bisa tolong ambilkan buku yang bersampul kuning itu?" ucapku terbata-bata.
Ia tertawa lagi. "Yang ini?" tunjuknya pada sebuah buku yang juga berwarna kuning.
Aku menggeleng. "Bukan, yang di sebelahnya," jawabku.
Pria itu menariknya dari rak dan memberikan padaku. "Ini?"
"Eh, iya. Terima kasih, Pak," ucapku sopan.
"Hei, apakah aku tampak setua itu? Apa karena kacamata ini?" ujarnya, membuka kacamata sambil tersenyum, "Ini kacamata baca."
Aku membelalak. "Maksudnya?" tanyaku bingung.
"Kamu menyebutku 'Pak'. Padahal usiaku baru dua puluh delapan tahun, loh. Belum punya anak, bahkan sekarang lagi jomlo alias enggak punya pacar." Pria itu kembali tersenyum sambil mengantongi kacamatanya.
'Astaga, tolong jangan tersenyum terus! Aku bisa pingsan,' rapalku dalam hati.
Aku merona malu. Barangkali saat itu, wajahku yang putih sudah berubah merah seperti tomat matang. "Maaf, saya tidak tahu. Saya hanya bersikap sopan," kataku gelagapan.
Pria itu mengangguk. "Boleh berkenalan? Aku Parlin Arturo," katanya mengulurkan tangan.
"Saya Chicago Amberwati," sahutku menjabat tangannya. Ia menahan tanganku cukup lama hingga aku kembali merasa jengah.
"Kalau boleh kutebak, kamu pasti lahir di Chicago."
Aku tertawa kecil. "Salah besar. Ayahku penggemar grup musik Chicago. Ia menamaiku sesuai kesukaannya."
"Wah, betapa sebuah nama bisa sangat menyesatkan, ya," ucapnya, "seperti aku, diberi nama Parlin yang berasal dari kata Parlindungan. Ternyata aku enggak jadi polisi atau pelindung masyarakat, tapi malah jadi dokter."
"Kamu seorang dokter?" tanyaku. Aku semakin terkesan dibuatnya. Dengan tubuh seperti itu, dia bisa saja menjadi seorang model.
"Yep. Kamu?"
"Aku pialang saham," jawabku ringan.
Ia membelalak. "Pilihan profesi yang tidak biasa. Aku malah mendapat kesan, kamu pegawai bank."
Aku meringis. "Banyak yang menduga begitu. Mungkin karena penampilanku yang rapi."
Parlin menggeleng. "Karena kamu cantik dan percaya diri," ucapnya menatapku dalam, "boleh aku berkonsultasi denganmu?"
Aku mengangguk. "Silakan saja," jawabku mengambil kartu nama dari dompet dan menyerahkannya.
Ia membaca sekilas lalu menyimpan ke dalam saku kemejanya.
"Mau tanam saham apa rencananya?" tanyaku sambil beranjak mengikutinya berjalan menuju kasir.
Parlin berhenti lalu memandangku serius. "Aku ingin menanam saham di hatimu. Boleh?"
Deg. Jantungku seolah berhenti berdenyut. Aku menunduk, tak mampu membalas tatapan hangat di matanya.
"Chica, boleh, kah?" ujarnya lembut.
Aku mengangguk malu.
Ia menggapai bahuku dan menatapku lurus. "Kita jalani saja dulu. Bagaimana?" ucapnya.
Aku kembali mengangguk.
***
Lima belas tahun kemudian, aku kembali ke Matraman Raya ini. Bersama dua orang anakku yang mulai beranjak remaja. Mereka gagah seperti ayahnya. Kupandangi toko buku itu. Biasanya kami kembali kemari setiap tanggal lima belas Juli, tanggal perkenalan kami di toko buku ini.
Namun, mulai tahun ini suamiku, Parlin, tidak lagi bisa bersama kami. Ia kalah melawan Covid-19 yang telah menghancurkan impian masa depan kami. 'Tuhan lebih sayang papa,' begitu selalu yang kukatakan untuk menghibur anak-anak kami.
Mataku terasa panas. Aku mengerjap menahan air mata yang hendak bergulir turun. Kutarik nafas dalam lalu kurangkul kedua anakku erat, di kiri dan kanan. "Ayo, kita masuk," ujarku lirih.
Kotabaru, 19 Juli 2022
Catatan: Cerpen ini pernah ditayangkan di wall FB Maimai Bee, grup literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H